top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Akibat Surplus Jenderal

Di awal revolusi, Angkatan Perang Republik Indonesia berisi lebih dari 60 jenderal yang tak memiliki kejelasan kerja secara profesional.

Oleh :
8 Jun 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Para pimpinan TKR. (IPPHOS)

MASIH ingat Nagabonar? Tukang copet asal Medan di era revolusi yang mengangkat dirinya menjadi jenderal. Rupanya kisah konyol itu bukan rekaan penulis Asrul Sani semata, namun memang fenomena yang kerap terjadi  dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949). Menurut Salim Said, begitu banalnya organisasi kemiliteran zaman tersebut, hingga siapa pun yang merasa kuat dan memiliki anak buah merasa berhak mengangkat dirinya menjadi jenderal.


“Dalam revolusi kita, ada cerita seorang jagoan yang berhasil merampas jip tentara Belanda langsung mengangkat dirinya sendiri menjadi jenderal,”ujar sejarawan militer Indonesia itu.


Memang tak ada yang tak mungkin dalam suasana revolusi. Ketika menjadi kaum pemanggul senjata dianggap sebagai puncak dari pengabdian terhadap nusa dan bangsa, maka para pentolan grup-grup pemuda berlomba untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai “yang terhebat”, termasuk dalam soal kepangkatan.


“Sesudah proklamasi, negara yang tak bermatapencaharian (kecuali dengan terus mencetak uang), memelihara lebih dari setengah juta tentara dan lasykar serta 60 jenderal,”ungkap A.H. Nasution dalam TNI: Tentara Nasional Indonesia Jilid 1.


Di Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara di Yogyakarta saja ditempatkan sekitar selusin jenderal ditambah setengah lusin jenderal politik dari Pepolit (Pendidikan Politik Tentara, bentukan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin) seperti Jenderal Mayor Sukono Dojopratiknjo, Jenderal Mayor Wiyono, Jenderal Mayor Anwar Tjokroaminito serta jenderal-jenderal Angkatan Laut dan Angkatan Udara seperti Laksamana Nazir, Laksamana Atmadji, Laksamana Pardi, Komodor Suryadarma dan Komodor Zulkarnaen.


Surplusnya militer Indonesia kala itu dengan para jenderal menyebabkan banyaknya dari petinggi-petinggi tentara itu yang tak memiliki pekerjaan secara professional. Karena itu sebagai upaya untuk menjadikan mereka “sibuk” maka sebagain besar para jenderal tersebut dikaryakan  ke dalam “tugas-tugas istimewa” seperti mengurus beras, mengurus kina, menangani opium, mengurus tawanan perang, mengurus kereta api dan mengurus istana negara.


Di tingkat bawah, surplus jenderal itu juga menumbuhkan kebingungan dan justru rasa tidak hormat. Terjadi gap antara atasan dan bawahan. Para komandan dari kesatuan-kesatuan kecil yang langsung berhadapan dengan musuh di garis depan menjadi kecewa dan kesal dengan situasi tersebut. Terlebih para jenderal itu bisa dengan seenaknya mengangkat  pangkat seseorang yang dia sukai.


A.H, Nasution membuat suatu contoh kasus ketika seorang sersan mayor menyumbangkan beberapa ban mobil (yang sangat sukar didapat kala itu) kepada seorang jenderal. Karena merasa suka, sang jenderal lalu menaikan pangkat si sersan mayor menjadi mayor. Suatu loncatan kenaikan pangkat yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi di zaman sekarang.


“Orang-orang yang kemarin sore dikenal sebagai anggota tentara yang memiliki tugas “kurang berarti”, sekonyong-konyong  muncul di Yogyakarta selaku letnan kolonel atau kolonel,” ujar Nasution.


Dengan kondisi seperti itu adalah wajar kalau para prajurit di bawah tidak lagi memiliki rasa hormat dan kepercayaan kepada “para pemilik bintang gemeralapan” itu. Jika berpapasan di jalan, alih-alih memberikan salut secara militer, para prajurit lebih memilih untuk pura-pura tidak melihat atau melengos begitu saja.


“Karena kami tahu mereka tidak berjuang seperti kami yang mempertaruhkan nyawa di front pertempuran,” ujar Soedarja (95), salah seorang eks prajurit dari seksi intelijejen Divisi Siliwangi.


Kebiasaan “berlomba-lomba tampil sebagai jenderal”  di dinas ketentaraan resmi, ternyata diikuti pula oleh rekan-rekan mereka di kelasykaran. Bahkan obral pangkat dibuat lebih murah lagi oleh mereka. Seorang jago atau jawara yang memimpin puluhan orang dalam satu badan lasykar, maka dengan semena-mena akan menyatakan diri sebagai “komandan resimen A” atau “komandan divisi B”. Di kalangan lasykar proses pengangkatan perwira dan jenderal malah cenderung lebih “kacau” lagi. Ya laiknya dalam film Nagabonar.


Tidaklah aneh, kata Nasution, jika saat itu ada ejekan yang beredar di kalangan masyarakat: “Sudah dipastikan kita akan menang melawan Belanda, karena jumlah jenderal kita jauh sepuluh kali lipat banyaknya dari jumlah jenderal mereka.”


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page