KOLONEL TB Simatupang hanya bisa merenung. Di sebuah gardu di Dusun Minggir di tepi Kali Progo, Yogyakarta, dia tak menyangka keadaan bisa berubah drastis dari waktu ke waktu tanpa bisa diprediksi. Sim, panggilan akrab Simatupang, tak pernah membayangkan tanggal 19 Desember 1948 kehidupannya berbeda jauh dari tanggal-tanggal sebelumnya di ibukota Yogyakarta akibat Agresi Militer Belanda.
“Kemarin tanggal 18 Desember saya masih mondar-mandir dalam mobil di Yogyakarta sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Sorenya, saya masih makan di Hotel Kaliurang sebagai ‘diplomat’ bersama-sama dengan anggota delegasi kita dan anggota KTN. Kemudian saya bertemu dengan Paduka Yang Mulia Wakil Presiden dari Republik Indonesia,” ujarnya dalam catatan harian yang dimuat dalam memoarnya, Laporan Dari Banaran.
Selepas bertemu Bung Hatta di Kaliurang, Sim pulang ke rumahnya di Jalan Merapi No. 8. Hari sudah larut. Karena lelah, dia langsung berbaring di atas ranjangnya dan tertidur tanpa sempat mengganti pakaian.
Langit sudah mulai terang ketika deru pesawat-pesawat Belanda membangunkan Sim dari tidurnya. Tanpa sempat mencuci muka, Sim langsung naik mobilnya menuju rumah atasannya, Komodor Suryadarma, yang terletak tak jauh dari rumahnya. Mereka mendiskusikan keadaan dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Baca juga: Jangan Tembak, Oom!
Setelah tak berhasil mengajak Suryadarma ke Istana saat itu juga, Sim langsung menuju Markas Besar Komando Jawa (MBKD) dan tinggal sesaat untuk kemudian pergi lagi ke markas Komando Militer Kota (KMK). Lantaran para personil KMK sedang sibuk, Sim bertolak ke kantor Jawatan Sandi. Di sana dia memerintahkan Dr. Rubiono agar hubungan komunikasi dengan Bukittinggi terus dijaga mengingat situasi genting dan tak pasti.
Sim akhirnya ke Istana. Masih terlalu pagi. Dia bisa menikmati kesempatan santai dengan menyantap suguhan nasi goreng dan segelas kopi. “Siapa tahu kapan kita akan sempat makan lagi hari ini, pikir saya,” kata Sim.
Dugaan Sim tak meleset. Beberapa jam kemudian, situasi bergonta-ganti dengan cepat seiring makin gencarnya serangan dari pasukan Belanda. Setelah gagal menemui Panglima Besar Soedirman di rumahnya yang telah kosong, Sim pulang untuk mengambil ransel berisi pakaian ganti dan peralatan mandinya. Dia melanjutkan perjalanannya ke Kutu di pertengahan Yogyakarta-Magelang, tempat MBKD darurat berada.
Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
“Akan tetapi beberapa meter sebelum mobil tiba di jembatan Gondolayu, maka salah satu pesawat terbang yang berputar-putar di atas menembak mobil itu dan tepat mengenai bagian belakangnya dengan peluru mitralyur,” sambung Sim.
Kendati berhasil menyelamatkan diri, ransel Sim ikut terbakar bersama mobilnya. Tinggal badan dan satu setel pakaian yang dikenakannya dari kemarin yang dimiliki Sim kala itu. Pakaian yang oleh rekan-rekan Sim sering dibilang “pakaian diplomat” itu merupakan pakaian kesukaan Sim. “Kemeja buatan luar negeri dan celana wol abu-abu ini hanya saya pakai kalau saya pergi ke Jakarta atau ke Kaliurang untuk berunding,” kata Sim.
"Pakaian diplomat” itu menjadi satu-satunya "teman" setia yang mengiringi Sim di masa tak menentu kala menyingkir ke luar kota pasca-Agresi Belanda. “Beberapa minggu kemudian, waktu keadaan telah mulai teratur dan kami mulai dapat ketawa kembali, maka seringlah saya diejek dengan kata-kata ‘diplomat kesasar,’ sebab sering berjalan kaki dari desa ke desa dalam perang rakyat ini dengan memakai celana wol abu-abu dan kemeja buatan luar negeri, yang dahulu hanya saya pakai untuk berunding dengan Belanda dan KTN,” kata Sim.