Akhir tahun 2021 tim riset Belanda tentang sejarah kekerasan yang terjadi pada masa revolusi Indonesia telah menyelesaikan tugasnya. Tim yang beranggotakan para sejarawan profesional dari empat lembaga riset di Belanda itu menghasilkan 14 buku. Buku-buku itu baru saja dirilis dan minggu ini tim peneliti mengumumkan kesimpulan penelitian itu dalam sebuah siaran pers.
Penelitian yang mengundang kontroversi di dalam masyarakat dan akademisi di Belanda maupun di Indonesia ini menyimpulkan bahwa selama periode revolusi kemerdekaan, yang dalam perspektif Belanda disebut sebagai periode “Bersiap” itu, telah terjadi kekerasan masif yang dilakukan oleh militer Belanda terhadap rakyat sipil Indonesia. Di lain pihak kekerasan juga dialami oleh kelompok masyarakat Belanda khususnya Indo-Eropa, etnis Tionghoa, dan elite Indonesia yang dianggap pro-Belanda.
Baca juga: Mempertanyakan Peran Indonesia dalam Penelitian Belanda
Sebenarnya tidak ada hal yang baru yang dihasilkan dari riset ini karena kesimpulan serupa sudah dikemukakan oleh para sejarawan yang telah melakukan penelitian tentang topik yang sama sebelumnya. Sekalipun demikian, kesimpulan tim Belanda ini memiliki implikasi yang berbeda karena penelitian ini merupakan state-sponsorship dan mengatasnamakan negara. Sementara itu penelitian-penelitian sebelumnya lebih bersifat individual.
Tidak lama setelah kesimpulan itu disiarkan ke publik, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte merespons kesimpulan riset itu dengan menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat dan bangsa Indonesia atas kekerasan yang dilakukan oleh militer Belanda terhadap rakyat sipil selama periode revolusi itu. Apa sebenarnya konsekuensi dari kesimpulan riset tim Belanda itu bagi Indonesia? Dan apa langkah-langkah yang harus dilakukan Indonesia untuk mengantisipasi konsekuensi itu?
Setidaknya ada dua konsekuensi penting bagi Indonesia atas kesimpulan tim riset Belanda itu, yaitu konsekuensi historiografis dan politis.
Konsekuensi Historiografis
Sejak awal rencana penelitian itu diumumkan oleh Belanda, publik di Indonesia terutama, memberikan reaksi yang keras khususnya para sejarawan Indonesia. Sebagian besar berpendapat bahwa riset itu hanya dijadikan sebagai legitimasi akademis bagi pemerintah Belanda untuk menutupi atau membela diri atas kekerasan yang dilakukan oleh militer Belanda pada masa revolusi. Bahkan keterlibatan sejarawan Indonesia dalam penelitian ini dianggap sebagai kesalahan bahkan pengkhianatan.
Kini publik mengetahuinya bahwa pada kenyataanya justru hasil riset itu digunakan sebagai dasar akademis untuk mengakui dan meminta maaf kepada Indonesia. Apakah dengan demikian Indonesia menjadi lega karenanya? Nanti dulu!
Baca juga: Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia
Sebenarnya keseluruhan riset yang menghasilkan 14 buku ini adalah upaya Belanda untuk bersifat blak-blakan. Karena di kalangan masyarakat Belanda sendiri muncul banyak desakan agar isu-isu kekerasan masa lalu ini tidak ditutup-tutupi. Sehingga apa yang ditugaskan negara kepada para sejarawan Belanda ini menjadi tantangan moralitas dan profesionalisme mereka. Dari kesimpulan riset ini menunjukkan bahwa para sejarawan Belanda berani memercikan limbah di muka sendiri.
Lantas bagaimana dengan sejarawan Indonesia yang sejak awal meragukannya? Hari Kamis lalu salah satu koran populer di Belanda, de Volkskrant (17 Februari 2022), memuat artikel yang mempertanyakan mengapa tidak ada respons balik dari Indonesia tentang kesimpulan tim riset Belanda seperti pada saat rencana penelitian ini akan dilakukan.
Baca juga: Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia
Sebagai sejarawan Indonesia, saya memandang hasil riset tim Belanda itu sebagai tantangan yang sama, yaitu tantangan terhadap moralitas dan profesionalisme. Jika sejarawan Belanda berani menyampaikan fakta-fakta tentang kekerasan yang dilakukan Belanda di masa lalu, apakah sejarawan Indonesia juga memiliki keberanian dan profesionalisme yang sama untuk mengungkap kekerasan yang dilakukan oleh pihak Indonesia terhadap kelompok sipil Belanda, khususnya orang Indo, warga Tionghoa, dan elite-elite Indonesia sendiri yang diasosiasikan dengan Belanda itu?
Apakah arah historiografi Indonesia ke depan memiliki keberpihakan dalam mengungkap persoalan-persoalan moral negara seperti ini? Seorang jurnalis yang diwawancarai oleh de Volkskrant bahkan mensinyalir bahwa kekerasan terhadap kelompok dan etnis tertentu di Indonesia di masa revolusi itu tidaklah eksklusif zaman itu tetapi merupakan precedence yang terus berlanjut hingga periode-periode berikutnya, bahkan sampai saat ini.
Konsekuensi Politis
Lebih dari itu jika secara historis fakta-fakta kekerasan itu terbuki secara akademis apakah pemerintah Indonesia juga akan meminta maaf? Seorang jurnalis Belanda, Mischel Maas, mengungkapkan bahwa di Belanda pengakuan terhadap tindakan kekerasan itu adalah “all about money”. Artinya pemerintah berisiko menghadapi tuntutan-tuntutan ganti rugi finansial seperti yang terjadi pada kasus Rawagede.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia tuntutan itu tidak berhenti pada permintaan maaf tetapi hendaknya Belanda juga mengkui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Seperti diketahui hingga saat ini Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 27 Desember 1949. Namun perlu dicatat jika Belanda memenuhi tuntutan ini dan mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 maka pengakuan ini memiliki implikasi politik penting yang bisa menyulitkan Indonesia. Pengakuan itu dapat dijadikan legitimasi politik untuk melakukan tututan terhadap Indonesia atas kekerasan yang serupa yang dilakukan oleh pihak Indonesia terhadap rakyat sipil Hindia Belanda pada masa itu.
Baca juga: Penelitian Dekolonisasi Belanda Membuka Perdebatan Baru
Selama ini dalih Belanda mengirimkan pasukan militer ke Indonesia, yang mereka sebut sebagai “Aksi Polisionil” itu, adalah dalam rangka menyelamatkan warganya dari aksi kekerasan itu dan mengamankan aset-aset Belanda dari aksi bumi hangus kaum Republikan. Mereka menyebut aksi kekerasan dan bumi hangus ini sebagai aksi ekstremisme dan menyebut kaum Republikan pelaku kekerasan itu sebagai kaum ekstremis atau instrumen-instrumen di luar negara.
Namun, jika Belanda mengubah pendiriannya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 maka pengakuan itu juga atas eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat dengan segenap instrumen politiknya termasuk TNI dan para Republikan lain yang dituduh melakukan kekerasan terhadap rakyat sipil Belanda, Indo-Eropa dan Tionghoa itu. Dengan kata lain kekerasan dan aksi bumi hangus itu dilakukan oleh instrumen negara dan oleh karena itu negara harus bertanggung jawab.
Baca juga: Mengungkap Kekerasan Militer Belanda di Indonesia
Jika hal itu benar dilakukan maka Belanda dan rakyat sipil korban kekerasan kaum Republik itu juga berhak melakukan tuntutan yang sama, yaitu permintaan maaf dan ganti rugi atau tuntutan-tuntutan lain yang dipandang setara. Dengan demikian siapkah Indonesia menghadapi tuntutan-tuntutan itu?
Bagi Indonesia momentum ini penting untuk mempertanyakan lebih jauh sejauh mana negara (dan dalam hal ini para sejarawan yang dimilikinya) memiliki kepedulian moral dan intelektual terhadap upaya-upaya akademis mengungkapkan berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil oleh negara. Tidak saja terbatas pada peristiwa di masa revolusi itu tetapi juga terhadap peristiwa-peristiwa lainnya di periode yang berbeda.
Penulis adalah sejarawan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.