Ratusan parasut tampak mengembang di langit kota Medan. Sekira satu kompi pasukan yang diterjunkan dari Malaka mendarat di lapangan terbang Polonia. Bersama mereka didrop pula 180 pucuk senjata revolver.
“Pendropan itu kebetulan saya lihat langsung bersama teman-teman saya yang dahulu menjadi Gyugun lapangan terbang Polonia, Medan,” tutur Letkol (Purn) Burhanuddin kepada Edisaputra dalam Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan. “Sayangnya kami tidak tahu siapa yang mendarat itu, tapi pendropan senjata secara jelas kami ketahui karena petinya pecah sewaktu jatuh ke bumi.”
Sebagaimana tercatat dalam Medan Area Mengisi Proklamsi yang disusun tim Biro Sejarah Prima, pendaratan pasukan penerjun yang dikerahkan Sekutu itu berlangsung pada 14 September 1945. Komandan pasukan tersebut ialah Letnan Raymond Westerling. Kedatangan Westerling telah dinanti oleh Letnan Brondgeest, seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang memimpin Unit IV pasukan Anglo Dutch Country Section (ADCS). Mereka berkolaborasi menegakan kekuasaan Belanda di wilayah Sumatra Timur yang kaya akan hasil perkebunan.
Baca juga:
Lencana Merah Putih Dilucuti, Pejuang Medan Pasang Badan
Brondgeest bertugas mengurusi organisasi pemerintahan sedangkan Westerling menyusun pasukan. Dalam waktu singkat, Westerling dapat membentuk sepasukan polisi berkekuatan 200 orang. Mereka terdiri dari orang Belanda, Indo-Belanda, dan orang pribumi dari Ambon dan Manado jebolan tentara KNIL.
Di Medan, Westerling menjadi kepala dinas intelijen Belanda. Dari markasnya yang terletak di Hotel de Boer (kini Hotel Dharma Deli), Westerling memegang jaringan intelijen untuk setengah pulau Sumatra. Dalam menjalankan tugasnya, Westerling kerap kali bertindak bengis.
Seorang opsir Inggris pernah menulis tentang kekejaman Westerling yang di luar nalar. Ketika sedang asyik minum kopi di pemondokannya, Westerling memperlihatkan kepala seorang Indonesia dari dalam keranjang sampah. Dengan santai Westerling menceritakan kepala itu milik seorang "ekstrimis" Indonesia yang berhasil dibuntutinya.
Baca juga:
Westerling memburunya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan mengenakan topeng, dia menyusup ke rumah orang Indonesia yang dianggapnya sebagai pengacau tersebut. Di sudut kamar, Westerling bersembunyi dan menunggui buronannya tadi pulang. Setibanya masuk ke kamar, si pemilik rumah membeku ketakutan. Westerling meringkusnya dan menyampaikan bahwa malam itu adalah hari terakhirnya di dunia. Sebelum dieksekusi, Westerling sempat memberi makan dan mengurungnya di kamar mandi.
“Jam empat pagi aku masuk ke kamar mandi dan menyuruh pengacau itu berpusing. Sekali penggal dengan pedangku aku memisahkan kepala dari badannya,” kata Westerling kepada si opsir Inggris yang menuliskannya dalam surat kabar Singapura. Berita tersebut dikutip K’tut Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai.
Aksi berangasan Westerling lainnya dituturkan oleh Herman (nama belakang disamarkan), mantan anak buah Westerling dalam depot pasukan khusus (DST). Kepada Maarten Hidskes, editor televisi Belanda, Herman mengatakan Westerling lebih cenderung bekerja untuk Inggris ketimbang dinas intelijen Belanda. menurut Herman, Medan bukanlah tempat yang cocok bagi Westerling.
“Tentang orang ini (Westerling) saya mendengar bahwa dialah yang telah memenggal kepala seseorang dan menaruh kepala ini di trotoar masjid Sultan Deli,” tutur Herman kepada Maarten Hidskes dalam Thuis gelooft niemand mij: Zuid-Celebes 1946---1947 (dialihbahasakan berjudul Di Belanda tak seorang pun mempercayai saya: Korban metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946--1947).
Baca juga:
Westerling Melarikan Diri ke Malaya
Anak buah Westerling juga tidak kurang brutalnya. Pada suatu hari dibawalah masuk seorang Cina yang dituduh memetakan pertahanan kamp tentara Inggris. Selama tiga hari orang Cina itu berkali-kali dibuat stres dan dihajar dengan keras, antara lain dengan tendangan di bawah lambungnya. Dokter mendiagnosis si cina malang itu dengan sejumlah luka parah.
“Letnan Westerling bertanggung jawab atas pelaksanaan interogasi laki-laki cina itu dan menugaskan pelaksanaan itu ke orang-orang Inggris bawahannya,” ujar Herman. Orang-orang Inggris yang melakukan interogasi itu akhirnya dikenakan tahanan rumah. Sementara itu, Westerling dilarang memakai seragam tentara Inggris.
Pada 23 Juli 1946, Westerling dipindahkan dari seksi intelijen ke satuan pasukan komando. Pemindahan itu sekaligus mengakhiri masa penugasannya di Medan. Sitor Situmorang yang memulai karir jurnalis di harian Waspada Medan dalam otobiografinya Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba mengenang Westerling sebagai sosok algojo yang melakukan teror pembunuhan di sekitar Medan.
Baca juga: