Masuk Daftar
My Getplus

Samudera Pasai dan Dinasti Abbasiyah

Tentang masuknya Islam ke Samudera Pasai yang katanya berbaiat kepada Kekhalifahan Abbasiyah.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 25 Agt 2020
Ilustrasi: Umat muslim beribadah di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. (Riza Azhari/123rf.com).

Seluruh sultan di dunia Islam menyatakan baiat kepada Khilafah Abbasiyah semenjak gelombang badai Mongol dihentikan oleh Dinasti Mamluk. Pusat Dinasti Abbasiyah pun pindah ke Mesir dan menjadi magnet kaum muslimin global.

"Dari pusat khilafah inilah dakwah Islam mulai bangkit kembali dan mengencangkan aktivitasnya dengan mengirim juru dakwah ke seluruh penjuru alam," kata Nicko Pandawa, sejarawan Komunitas Literasi Islam sekaligus director film dokumenter "Jejak Khilafah di Nusantara" yang tayang di Youtube.

Dalam film itu, Nicko mengatakan ketika Mongol menyerang Baghdad banyak dari keluarga Dinasti Abbasiyah yang selamat. Mereka kemudian berdiaspora, seperti ke Hijaz dan Mesir. Ada satu keturunannya yang mengungsi sampai ke Aceh, di mana kerajaan yang berkuasa kala itu adalah Samudera Pasai.

Advertising
Advertising

Baca juga: Catatan tentang Islamisasi di Sumatra

Nicko menunjuk kompleks makam di Lhokseumawe sebagai bukti, yaitu makam keturunan Khalifah Abbasiyah, Shadrul Akabir Abdullah bin Muhammad bin Abdul Qadir bin Yusuf bin Abdul Aziz Abi Jafar al-Mustanshir Billah al-‘Abbasi. Di sana juga terdapat makam istri dan anaknya. Predikat Shadrul Akabir berarti pengawal para pembesar yang derajatnya setingkat dengan perdana menteri.

"Samudera Pasai yang mendaulat dirinya sebagai Darul Islam yang berbaiat kepada khalifah, Samudera Pasai mengemban tugas untuk mengubah seluruh Asia Tenggara dari Darul Kufri menjadi Darul Islam," kata narasi di film itu.  

Baik keterangan di dalam film maupun pada gelar wicara yang lebih dulu disiarkan lewat Youtube, banyak mendapat perhatian dari masyarakat. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak.

Terlepas dari perdebatan yang ramai, menarik untuk menelusuri bagaimana Islam hadir di Samudera Pasai yang memang ada hubungannya dengan kondisi politik Dinasti Abbasiyah.

Ahli Agama di Samudera Pasai

Uka Tjandrasasmita (1930–2010), sejarawan dan ahli arkeologi Islam Nusantara, menyinggung sekilas makam yang ditunjuk sebagai bukti jejak khilafah di Samudera Pasai, dalam "Pasai dalam Dunia Perdagangan" yang terbit dalam Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi.

Di nisan bernama Abdullah bin Muhammad bin Ab’dal Qadir bin Ab’dal Aziz bin Mansyur Abu Ja’far Abbas al-Muntasir Billah itu tertera tahun 1407. Berdasarkan tahun di nisan itu, Samudera Pasai kemungkinan sudah berhubungan dengan Baghdad, atau wilayah Irak sekarang, pada awal abad ke-15 atau sebelumya.

"Mungkin ini termasuk cicit Sultan al-Muntasir Billah yang pernah diangkat oleh Dinasti Hulaghu setelah Baghdad diserang Mongol pada 1258 karena khalifah lainnya melarikan diri dan bergabung dengan Dinasti Mamluk," tulis Uka.

Baca juga: Hulagu Khan Menaklukkan Baghdad

Penguasa Samudera Pasai sepertinya senantiasa dikelilingi para ahli agama Islam dari Timur Tengah, bahkan sebelum Abdullah bin Muhammad.

Uka menyebut ahli teologi Islam di Samudera Pasai yang berasal dari wilayah Persia (Iran), yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari Syiraz dan Taj-aldin dari Isfahan. Nama mereka muncul dalam Rihla Ibn Battuta, catatan perjalanan sang penjelajah Maroko yang singgah di Samudera Pasai pada 1345–46.

Ayang Utriza Yakin, visiting professor bidang Arabic & Islamic Studies (Middle East Studies) di Universiteit Gent, Belgia, menjelaskan dengan munculnya gelar qadi, artinya tokoh dari Syiraz itu mengambil peran di lembaga pengadilan Samudera Pasai. Karena asalnya dari Syiraz, artinya qadi itu telah memberikan sumbangsih bagi dominasi Mazhab Syafii di Samudera Pasai. Selain memang disebutkan oleh Ibnu Battuta bahwa Sultan Samudera Pasai, Malik al-Zahir, bermazhab Syafii.

"Syiraz merupakan salah satu kota yang mengikuti Mazhab Syafii," tulis Ayang dalam Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad ke-XIV-IX.

Baca juga: Ibnu Battuta Singgah di Samudra Pasai

Sementara itu, kata Ayang, Taj-aldin merupakan seorang fakih, yaitu orang yang memiliki pengetahuan mengenai hukum Islam. Wilayah asalnya, Isfahan, juga salah satu kota di mana Mazhab Syafii berkembang.

Dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jajat Burhanudin menjelaskan bahwa kehadiran ulama sebagai bagian dari elite kerajaan lebih memperlihatkan gejala kota. Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite kota dengan sejumlah keistimewaan karena pengetahuannya di bidang ilmu keislaman. 

"Para ulama senantiasa di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih menjadi muslim," tulis Jajat dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia.

Baca juga: Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara

Uka menghubungkan keberadaan ahli-ahli agama di Samudera Pasai dengan pelayaran dan perdagangan yang terjadi sejak lama, di mana para ahli agama dapat berlayar bersama para pedagang.

"Kita dapat menduga adanya peranan ahli teologi termasuk ahli sufi sejak abad ke-13 M dalam proses Islamisasi di Asia Tenggara," tulis Uka.

Uka menyebut bukti refleksi sufisme tampak pada tulisan di beberapa nisan kubur di antaranya nisan Malik as-Salih (1297). Unsur sufismenya terlihat dalam kalimat: "Sesungguhnya dunia ini fana, dunia ini tidaklah kekal, sesungguhnya dunia ini ibarat sarang yang penuh laba-laba".

Makam itu pun sekaligus bukti awal persentuhan penguasa Samudera Pasai dengan Islam. Berita yang lebih tua, yakni catatan pelaut Italia, Marcopolo (1292), hanya menyebutkan Ferlec (Perlak) sebagai wilayah yang penduduknya sudah menganut Islam.

"Pada 1292, Marcopolo melaporkan bahwa Basma dan Samara (Samudera, red.) masih dihuni oleh para penyembah berhala," tulis Ayang.

Sebatas Hubungan Tak Langsung

Islamisasi massal penduduk Nusantara baru terjadi pada abad ke-13. Kondisi ini didorong oleh peristiwa yang terjadi pada 1258, yaitu krisis politik di Timur Tengah. Dinasti Abbasiyah (750–1258) yang berkuasa di Baghdad hancur akibat serangan Mongol.

"Arus kedatangan kaum muslimin di Nusantara dapat dijelaskan sebagian akibat krisis politik di Timur Tengah," tulis Ayang.

Ayang menjelaskan kejatuhan Baghdad telah mengubah jalur perdagangan yang sebelumnya dari Teluk Persia melalui Baghdad lalu ke Pelabuhan Syiria dan Asia Kecil. Jalur yang baru melewati Aden dan Mocha di Yaman, Jeddah, Laut Merah via Iskandariah di Mesir sampai Eropa melalui Italia.

"Jalur itu menyatukan jalur ke timur menuju China melalui India dan Kepulauan Nusantara," tulis Ayang.

Baca juga: Serangan Pertama Mongol ke Kerajaan Islam

Setelah Baghdad jatuh, Mesir semakin menjadi pusat perdagangan sehingga memberi jalan bagi Dinasti Mamluk (1250–1517) memasuki masa jayanya.

"Bahkan sejak abad ke-10, pada masa Dinasti Fathimiyah (969–1174) Kairo sudah menjadi pusat perdagangan produk dari Timur," catat Ayang. "Jatuhnya Baghdad semakin memperkuat hak istimewa Kairo sebagai pusat perdagangan."

Bukan itu saja, jatuhnya Baghdad juga mendorong guru-guru agama, yakni para sufi mengembara ke berbagai belahan dunia. Para pengembara ini menjelajahi dunia yang telah mereka kenal sebelumnya dan secara sukarela hidup dalam kemiskinan.

Baca juga: Mempertanyakan Kembali Teori Islamisasi di Nusantara

Sejarawan Australian National University, A.H. Johns menyebut para sufi itu kemudian memainkan peran yang semakin penting dalam memelihara keutuhan dunia Islam.

"Mereka menangkal kecenderungan wilayah-wilayah kekhalifahan yang terpecah menjadi wilayah berbahasa Arab, Persia, dan Turki," tulis Johns dalam "Sufism as a Category in Indonesian Literature and History" yang terbit dalam Journal of Southeast Asian History.

Para sufi juga kemudian menyiarkan Islam di Nusantara. Artinya, menurut Johns, Islam tak dapat menancapkan akarnya di kalangan penduduk Nusantara atau mengislamkan para penguasa mereka sampai disiarkan para sufi. "Ini adalah gambaran dominan dalam perkembangan Islam di Nusantara hingga abad ke-13," tulis Johns.

Pernyataan itu, kata Johns, didukung oleh banyaknya sumber lokal yang mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan Nusantara dengan guru-guru pengembara berkarakteristik sufi yang kental. Seperti mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, menguasai ilmu magis, memiliki kekuatan penyembuh, dan siap memelihara kontinuitas dengan masa silam, seperti menggunakan istilah dan unsur budaya pra-Islam.

Baca juga: Asal-Usul Gelar Khalifatullah di Kesultanan Yogyakarta

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, menambahkan bahwa berkat hubungan para sufi dengan pedagang, mereka jadi punya sarana untuk melakukan perjalanan ke berbagai negara. Mereka membawa keimanan yang dengan begitu mempercepat proses ekspansi Islam.

"Peristiwa politik, dalam hal ini Kekhalifahan Abbasiyah, merefleksikan hanya secara tak langsung pertumbuhan massal masyarakat muslim," tulis Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII.

Berkat otoritas karismatik, sebagian dari para sufi dapat menikahi putri-putri bangsawan. Sehingga, anak-anak mereka memiliki darah bangsawan sekaligus keilaihan atau karisma keagamaan.

TAG

islamisasi aceh

ARTIKEL TERKAIT

Hans Christoffel Memburu Panglima Polem Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba Azab Pemburu Cut Meutia Jenderal Mata Satu “Berdarah” Bugis Jenderal-Jenderal Belanda yang Kehilangan Nyawa di Aceh Makam Dua Jenderal Belanda dan Putra Iskandar Muda Jenderal dari Cibitung Pejuang Tua dari Aceh dalam Perang Kemerdekaan Drama Raja Pedir Adu Hewan di Kesultanan Aceh