PADA 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat di tahanan pembuangan di Makassar. Keikhlasan dan kejujuran menjadi warna penting dalam episode akhir pemimpin utama Perang Jawa ini.
Sikap keikhlasan tergambar dalam pengakuan Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), opsir pengawal asal Jerman yang mendampingi Diponegoro selama pelayaran ke Manado. Knoerle dipilih karena bisa berbahasa Jawa. Selama perjalanan, menumpang korvet Pollux (4 Mei-12 Juni 1830), Diponegoro sering bercakap-cakap dengan Knoerle di atas tikar.
“Selama itu saya memanggilnya Kanjeng Tuwan Pangeran, dan ia memanggil saya dengan kowe. Saya tanya dia, dan ia mengatakan artinya keluar dari hati yang tulus (manah waras) dan saya harus menganggapnya sebagai rasa ungkapan persahabatan,” tulis Knoerle dalam jurnalnya, seperti dikutip Peter Carey dalam Kuasa Ramalan.
Baca juga: Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro
Kepada Knoerle, Diponegoro berbicara mengenai misteri hidup, ketika dihadapkan pada pergantian roda nasib. Dia bercerita, sebelum Perang Jawa, dia memiliki 60 tukang hanya untuk memotong rumput demi kuda-kudanya di Tegalrejo. Namun, ketika menjadi buronan, untuk menghindari pasukan gerak cepat Belanda, dia hanya ditemani dua pengiring setianya, Banteng Wareng dan Joyosuroto.
“Di sinilah orang yang dapat kehilangan seluruh dunia, tetapi tetap teguh mempertahankan kemanusiaannya,” tulis Peter Carey dalam catatan kuratorialnya untuk pameran “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa dari Raden Saleh hingga Kini” yang akan diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat, pada 6 Februari-8 Maret 2015.
Baca juga: Kajian Ilmuwan Jinakkan Diponegoro
Carey menilai perjalanan hidup Diponegoro sebagai pergerakan menciptakan dunia baru, yang dalam konteks Islam disebut hijrah. Diponegoro memulai hijrahnya pada sore hari dari Tegalrejo ke Selarong pada 20-21 Juli 1825. Hijrah kedua saat dia ditangkap Jenderal de Kock di Magelang, 28 Maret 1830, yang menandai awal masa seperempat abad menjadi tahanan dan buangan.
“Posisinya sebagai Ratu Adil ditukar dengan dua kamar yang menyedihkan dan membuat gerah di Fort Nieuw Amsterdam di Manado (1830-1833) dan kemudian di Fort Rotterdam Makassar (1833-1855),” tulis Carey.
Perjalanan hijrah Diponegoro berikutnya, lanjut Carey, yaitu “dari ranah badaniah perang ke ranah intelektual kepenulisan dan meditasi serta seni.” Kreativitasnya tumbuh dengan menghasilkan 1.150 halaman otobiografi (Babad Diponegoro) dan mengembangkan ketrampilan kaligrafi dalam gambar-gambar diagram mistis (da rah) serta menyalin Al-Qur'an. “Mereka yang mengamati dengan jeli transisi ini berbicara tentang ‘ketenangan, keikhlasan, atau kepatuhan Sang Pangeran yang tak tergoyahkan’, emosi-emosi yang Pangeran sendiri gambarkan secara lebih puitis seperti ‘emas yang dihanyutkan air’ (lir mas kintaring toyo).”
Baca juga: Babad Diponegoro Ditetapkan Jadi Warisan Ingatan Dunia
Membaca Babad Diponegoro, menurut Carey, terasa seolah-olah Sang Pangeran sedang duduk dan berbicara langsung kepada kita. Gaya ekspresinya bersemangat, lugas, dan jujur. Lihatlah pengakuannya saat menerima “penglihatan” dalam penampakan mistik Ratu Adil-nya bahwa dia tidak mampu berkelahi karena “tidak tahan melihat kematian”, atau kerelaannya memasukkan catatan mengenai kelemahannya yang “permanen” bila melihat perempuan.
Dalam menggenapi takdirnya, menurut Carey, Diponegoro menjalaninya seperti dalam tradisi samurai Jepang yang disebut “kemuliaan kegagalan” (the nobility of failure), yaitu kemampuan untuk tetap setia kepada sesuatu yang ideal. Dalam kasus Diponegoro, yaitu “menjunjung tinggi agama Islam di seluruh pulau Jawa” (mangun luhuripun agami Islam wonten ing Tanah Jawa sedaya), meskipun dia tahu tidak akan berhasil.
Sebagaimana telah diramalkan kakek buyutnya, Mangkubumi (bertakhta 1749-1792), ketika Diponegoro masih bayi (lahir 11 November 1785): “Ia akan menyebabkan kerusakan lebih dahsyat kepada Belanda daripada yang telah dia lakukan selama perang Giyanti (1749-1755) tetapi hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang tahu apa yang akan terjadi kelaknya.”*