MINGGU 28 Maret 1830, sehari setelah lebaran. Suasana Magelang, masih ramai. Ditambah lagi kedatangan panglima Perang Jawa, Diponegoro, ke Magelang untuk memenuhi undangan Hendrik Merkus Baron De Kock, panglima tentara Belanda dalam Perang Jawa. Diponegoro diringi pengikutnya dari Metesih ke tempat pertemuan di rumah residen Kedu.
Tiga hari sebelumnya, De Kock memberikan perintah rahasia kepada dua orang perwira infanteri seniornya, Louis du Perron dan A.V. Michiels, agar mempersiapkan pasukannya ketika Diponegoro datang.
Dengan demikian, menurut sejarawan Peter Carey, tentara harus tetap siaga di tangsi-tangsi mereka dan kuda kavaleri sudah dipasang pelana, sehingga begitu perintah pertama dikeluarkan, semua anggota tentara sudah dapat langsung berkumpul dengan senjata lengkap.
Baca juga: Kajian Ilmuwan Jinakkan Diponegoro
De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (seorang perwira de Kock), Mayor F.V.H.A. de Stuers dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Sementara Diponegoro didampingi tiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglimanya, Basah Mertanegara.
“Sebaiknya Tuan tidak usah kembali ke Metesih, tinggal disini saja bersama saya,” ucap de Kock membuka percakapan.
“Mengapa saya tidak diizinkan untuk kembali? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya hanya datang untuk beramah-tamah, seperti kebanyakan orang Jawa setelah akhir bulan puasa,” jawab Diponegoro, seperti ditulis Peter Carey dalam Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme.
De Kock mulai serius. “Saya akan menahanmu supaya masalah selama ini lekas selesai”.
Baca juga: Kekalahan Pasukan Diponegoro dalam Pertempuran Plered
Suasana mulai berubah. Semua yang hadir tegang. “Ada masalah apa Jenderal? Sesungguhnya, saya tidak merasa ada masalah, saya juga tidak menaruh benci kepada siapapun,” sahut Diponegoro.
Mertanegara menyela supaya masalah politik bisa diselesaikan lain waktu.
“Tidak! Terserah pangeran setuju atau tidak, saya akan menuntaskan masalah politik hari ini juga!” potong De Kock dengan nada tinggi.
“Heh Jenderal, kamu sangat jahat. Buru-buru memutuskan dan tidak dibicarakan selama bulan puasa. Hatimu busuk, jika tahu begini aku tidak akan membiarkan dua utusanmu (Clerens dan Ali Basah) ke Bagelen,” balas Diponegoro.
Diponegoro lalu menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki keinginan lain, kecuali kepala agama Islam di Jawa dan gelarnya sebagai sultan. Namun, De Kock meminta Roest untuk memerintahkan du Perron menyiapkan pasukan.
“Jika begini situasinya, ini karena sifat jahatmu. Saya tidak takut mati! Sekarang tidak ada lagi tersisa kecuali dibunuh. Saya tidak bermaksud menghindarinya,” ucap Diponegoro.
Baca juga: Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang
De Kock terhenyak mendengar ucapan Diponegoro. Wajahnya tertunduk. “Memang Tuan, saya tidak ada niatan membunuhmu. Tetapi tidak tepat memenuhi semua keinginanmu disini,” jawabnya lirih.
Diponegoro cepat mengendalikan diri. “Jadi Diponegoro pernah berdebat dalam diri sendiri apakah patut dia menghunus keris dan membunuh Jenderal De Kock tapi pada akhirnya merasa bahwa itu tidak patut dan layak bahwa seorang pangeran keraton Yogya merendahkan diri dan bertindak seperti orang pengamuk, jadi dia pasrah saja kepada takdir,” tulis Peter Carey dalam surelnya kepada Historia.
Diponegoro pun menghampiri beberapa pengikutnya. Semua tertunduk. Dia lalu mengambil secangkir teh, meminumnya, kemudian beranjak keluar. Kereta kuda residen yang telah dipersiapkan di depan rumah segera membawa Diponegoro menuju tanah pengasingan.*