OPERASI pengejaran Pangeran Diponegoro diteruskan ke wilayah Yogyakarta Utara. Mayor Jenderal Joseph van Geen mengerahkan kekuatan dua kolone. Masing-masing pasukan dipimpin oleh Kolonel Frans David Cochius dan Kolonel Bernard Sollewijn.
Kolonel Cochius, perwira zeni paling senior, mendapatkan informasi adanya pemusatan pasukan Diponegoro di Plered, bekas keraton Sunan Amangkurat I.
“Benteng Plered dengan tinggi lebih dari 20 kaki dan tembok tebal merupakan tempat pertahanan yang bagus. Benteng ini dipertahankan oleh 800-1000 orang yang dipimpin oleh Tumenggung Kerto Pengalasan,” tulis sejarawan Saleh Asʼad Djamhari dalam Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827–1830.
Baca juga: Kajian Ilmuwan Jinakkan Diponegoro
Sejarawan Peter Carey dalam Sisi Lain Diponegoro menerangkan bahwa menurut laporan Belanda yang dibuat selama berlangsung Perang Jawa, Kerto Pengalasan sebelum perang menjabat sebagai demang di Desa Tanjung Selatan, Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, dengan nama Kromowijoyo. Laporan Belanda yang lain menyatakan dia bertugas di Wates. Namun, nama Pengalasan memberikan petunjuk bahwa mungkin dia pernah memangku suatu jabatan resmi di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Pengalasan menikah dengan putri Pangeran Blitar I, salah seorang putra Sultan Pertama. Jadi, dia sudah punya kekerabatan dengan keluarga inti keraton. Ayah mertuanya adalah pangeran Keraton Yogyakarta yang bergabung paling awal dengan Diponegoro di Selarong pada 29 Juli 1825.
Carey mencatat bahwa Pengalasan memainkan peranan penting dalam pertahanan Selarong selama musim panas (Juli–Oktober) 1825. Ketika Diponegoro memerintahkan untuk mengosongkan dan meninggalkan Selarong, dia membentuk pasukan sayap belakang serta bertanggung jawab atas pasukan meriam (artileri berkuda).
Baca juga: Keris yang Dikubur Bersama Pangeran Diponegoro
Pengalasan juga melindungi satu sisi rombongan pasukan Diponegoro yang tengah mengundurkan diri melintasi bukit-bukit kapur Selarong. Dia bergabung kembali dengan Diponegoro di markas besarnya yang pertama di Kulon Progo di Banyumeneng. Dia kemudian bertempur mempertahankan markas kedua Diponegoro di Dekso (Kulon Progo) pada November 1825.
Setelah pertempuran itu, lanjut Carey, Pengalasan diangkat sebagai Basah dengan nama Ngabdullatip (Abdul Latif). Kepada Pengalasan diserahkan komando atas semua pasukan Diponegoro yang berada di sebelah barat Sungai Progo. Pada 1826, Pengalasan memainkan peranan penting dalam mempertahankan benteng Diponegoro di bekas keraton Sunan Amangkurat I di Plered (Mei–Juni 1826).
“Pada 9 Juni 1826, Kolonel Cochius dengan kekuatan 7.342 orang menyerbu Benteng Plered dari empat arah,” tulis Saleh. Sementara Carey mencatat jumlah pasukan Belanda berjumlah 4.200.
Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro
Sejarawan Sartono Kartodirdjo menambahkan, pasukan Belanda itu dibantu oleh prajurit Mangkunegaran. Jumlah pasukan Belanda besar sekali sehingga kekuatan tidak seimbang.
“Pasukan Diponegoro mundur dan dikejar terus oleh pasukan Belanda sampai di sebelah timur sungai Progo. Pasukan Diponegoro lalu bertahan di sebelah barat sungai Progo,” tulis Sartono dalam Sejarah Perlawanan-perlawanan terhadap Kolonialisme.
Menurut Saleh, setelah bertempur selama satu hari, Kerto Pengalasan, pemimpin pasukan Diponegoro, berhasil meloloskan diri menuju ke utara. Operasi pengejaran dilanjutkan ke Jekso (Dekso), markas besar Diponegoro yang baru. Kolonel Cochius diserahi tugas untuk memimpin penyerbuan.
“Pertempuran Plered merupakan pertempuran yang paling banyak memakan korban,” tulis Saleh.
Carey mencatat, dalam pembantaian itu hanya 40 dari 400 prajurit Diponegoro yang lolos, di antaranya Pengalasan. Pengalasan menderita luka parah. Dia dibawa oleh Haji Ngiso, teman akrabnya, ke Selarong untuk menyembuhkan diri serta memulihkan kekuatannya.
Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual
Setelah pulih, Pengalasan kembali memimpin pasukan dan setia di samping Diponegoro sampai kekalahan yang menentukan di Siluk, di utara bukit-bukit Selarong pada 17 September 1829. Setelah itu, dia menyerahkan diri pada 11 November 1829, tepat pada hari ulang tahun Diponegoro.
“Kendati demikian, terdapat kecurigaan bahwa penyerahan dirinya punya motif tersembunyi,” tulis Carey. “Pun, di sisi Belanda, ada yang menduga bahwa sebenarnya Pengalasan diutus sendiri oleh Diponegoro untuk membuka perundingan perdamaian.”
Menurut Carey, pada awal dasawarsa 1860-an, nama Pengalasan tersua dalam buku harian seorang syekh tarekat Naqsyabandiah di Pulau Pinang. Dia disebut menunaikan ibadah haji walaupun belum jelas apakah dia sampai ke Haramain. Waktu itu, dia dicatat pulang dengan gelar Haji Abdul Latif.
“Kalau memang sesungguhnya ke Makkah pada akhir hidupnya, Pengalasan dapat meraih sesuatu yang atasannya, Diponegoro, selalu mengidamkan namun tidak pernah diberi izin Belanda untuk melaksanakannya: ibadah haji,” tulis Carey.