KERIS Pangeran Diponegoro dikembalikan kepada Indonesia dan menjadi koleksi tetap Museum Nasional. Keris ini ditemukan melalui penelitian panjang (2017-2018 dan 2019). Para peneliti dari Nationaal Museum van Wereldculturen, Leiden, menyimpulkan bahwa keris bernomor register RV-360-8084 adalah keris Pangeran Diponegoro bernama Kiai Nogo Siluman.
Nama itu berdasarkan sumber pertama tentang keris itu, yaitu surat Sentot Alibasah Prawirodirdjo tanggal 27 Mei 1830. Panglima perang Diponegoro itu menyebut Kiai Nogo Siluman adalah keris Pangeran Diponegoro yang diberikan kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens, komandan pasukan Belanda. Pada bagian pinggir surat itu, pelukis Raden Saleh memberikan penjelasan mengenai arti Kiai Nogo Siluman, setelah diminta mengidentifikasi keris itu oleh S.R.P. van de Kasteele, Direktur Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik).
Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air
Cleerens berperan dalam mengakhiri Perang Jawa dengan cara membujuk Pangeran Diponegoro agar mau berunding yang ternyata jebakan. Diponegoro ditangkap Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock dalam perundingan di Karesidenan Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830.
Pada perundingan itu, menurut P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku, sebenarnya terlintas dalam pikiran Pangeran Diponegoro untuk membunuh Letnan Janderal De Kock dengan menusukkan keris ketika keduanya duduk bersanding di sofa di kediaman Residen Kedu.
“Pikiran ini segera dilenyapkan oleh Sang Pangeran, karena batinnya membisikkan, tidak akan baik akibatnya bertindak amuk-amukan. Ia akan kehilangan citra keagungannya sebagai raja. Lagi pula, ia toh sudah tidak mempunyai teman lagi di Tanah Jawa. Lebih baik ia bersandar atau menyerah kepada takdir,” tulis Swantoro yang mengutip Babad Dipanegara.
Keris Diponegoro Dijual
Sebelum melawan Diponegoro, pada 1821 De Kock memimpin ekspedisi militer untuk menaklukan Kesultanan Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin II dibuang ke Ternate. De Kock kemudian diangkat menjadi residen Palembang. Pada 1826, ia dipanggil untuk memimpin pasukan Belanda melawan Pangeran Diponegoro. Ia menangkap Sang Pangeran pada 28 Maret 1830.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, menyebut bahwa setelah pulang ke Belanda, akhir Oktober 1830, De Kock meminta pelukis ternama Nicolaas Pieneman untuk menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro di kediaman Residen Kedu, Magelang. Pangeran Diponegoro digambarkan berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Di belakangnya, Letnan Jenderal De Kock berdiri bertolak pinggang menunjuk ke kereta tahanan, seolah-olah memerintahkan penahanan Diponegoro.
“Sekumpulan tombak yang terhampar di tanah menunjukkan ketidakberdayaan. Demikian juga tidak tampak keris di pinggang Pangeran Diponegoro,” tulis Wardiman dalam Sejarah Singkat Diponegoro.
Baca juga: Raden Saleh Pelopor Seni Lukis Modern Indonesia
Raden Saleh merespons lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1835) karya Pieneman dengan lukisan “Penangkapan Diponegoro” (1857).
“Berbeda dari Pieneman, di lukisan Raden Saleh, Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya mengepal,” kata Werner Kraus, kurator asal Jerman. Dalam lukisan Raden Saleh, keris Diponegoro juga tak terselip di pinggangnya.
Setelah kembali ke Belanda, De Kock menerima gelar “baron” karena menang melawan Diponegoro. Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (1836–1841), Menteri Negara (1841–1845), dan anggota parlemen hingga kematiannya pada 12 April 1845.
Ternyata, bukan hanya Cleerens yang membawa keris Pangeran Diponegoro. Laporan hasil penelitian keris Pangeran Diponegoro yang dikeluarkan oleh Nationaal Museum van Wereldculturen pada 20 Januari 2020, mengungkapkan bahwa De Kock juga memiliki keris Pangeran Diponegoro.
Laporan menyebut bahwa keris itu dijual oleh pedagang barang seni Damme di Den Haag, Belanda, pada 1931. Menurut Damme, keris itu pernah menjadi milik keluarga Letnan Jenderal De Kock.
Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro
Menurut Caroline Drieënhuizen dalam “Koloniale collecties, Nederlands aanzien: de Europese elite van Nederlands-Indië belicht door haar verzamelingen, 1811-1957”, tesis di Universitas Amsterdam tahun 2012, sebelum di tangan Damme, keris itu dimiliki oleh kepala rumah perdagangan Pryce and Co., Herman Holle (saudara lelaki Karel Holle, pemilik perkebunan teh di Garut) dan keluarga Van Blommestein.
Keris itu kemungkinan dipajang dalam pameran seni Asia di Amsterdam pada 1936, yang menampilkan koleksi pribadi dan publik Belanda.
“Katalog pameran menyatakan bahwa keris Diponegoro terletak di antara semua krisis yang ditampilkan. Keris itu termasuk dalam koleksi Jan Gerard Huijser (1878-1962),” tulis Caroline.
Caroline mencatat bahwa sejak tahun 1910, Jan Gerard Huijser, presiden Rechtbank dan seniman amatir mengumpulkan barang-barang seni dari tempat kelahirannya, Hindia Belanda, khususnya senjata seperti keris, pedang, dan tombak dari Bali dan Jawa. Ia juga menjadi perantara antarkolektor dan teman baik ayah dari kolektor seni Hindia Belanda yang terkenal, Carel Groenevelt.
Keris Diponegoro yang Lain
Laporan juga menyebut bahwa artikel suratkabar dari tahun 1885 dan 1914 menyebutkan keris dan tombak Pangeran Diponegoro. Pada 1885, kedua benda tersebut disumbangkan kepada Ede Reményi, pemain biola dan komposer Hungaria. Pada 1914, keris dan tombak sekali lagi disebutkan bersama-sama, ketika bupati Magelang menyerahkan benda-benda itu untuk pameran di Semarang.
Selain itu, laporan menyebutkan bahwa keris yang disumbangkan ke Weltmuseum di Wina oleh George Lodewijk Weijnschenk pada 1886 juga dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro. Keris itu milik sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IV, yang kemungkinan diserahkan kepada Diponegoro setelah sultan meninggal.
“Tidak jelas bagaimana keris itu menjadi koleksi pribadi Weijnschenk,” sebut laporan itu.
Baca juga: Keris yang Dikubur Bersama Pangeran Diponegoro
George Lodewijk Weijnschenk lahir di Yogyakarta pada 1847. Ia adalah anak dari pengusaha perkebunan, George Weijnschenk, dengan perempuan Jawa bernama Ramag. Kakeknya, Leopold Weijnschenk, datang ke Hindia Belanda dari Wina pada 1780.
Menurut Caroline, pada 1886 George Lodewijk Weijnschenk, penyewa tanah di daerah Kasunanan, menyerahkan beberapa benda seni dari koleksinya, termasuk wayang, dan konon, keris Diponegoro sebagai hadiah kepada Kaisar Austria, Franz Joseph. Pada 1910, ia juga menyumbangkan satu set gamelan ke sebuah lembaga di Wina, mungkin Museum Naturhistorisches.
Keris lain yang diyakini milik Pangeran Diponegoro adalah Kiai Omyang koleksi Museum Sasana Wiratama di Yogyakarta dan Kiai Wisa Bintulu yang tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta.*