Masuk Daftar
My Getplus

Guru Arung Palakka

Sebelum berkuasa, Arung Palakka berguru pada orang pintar di Makassar yang mencintai sains.

Oleh: Petrik Matanasi | 07 Mei 2024
Arung Palakka. (Nationaal Archief/Wikipedia Commons).

NAMA Sultan Hasanuddin mungkin kini nama paling populer di Sulawesi Selatan. Raja Gowa yang jadi Pahlawan Nasional itu namanya dijadikan nama jalan dan nama fasilitas-fasilitas umum seperti bandara ataupun universitas negeri.

Namun, sebenarnya di zaman Sultan Hasanuddin hidup, ada seorang raja Tallo yang tidak kalah hebat. Selain sukses dalam politik, raja tersebut punya rasa cinta kepada ilmu pengetahuan. Bangsawan intelek itu bernama Karaeng Pattingaloang.

“Karaeng Pattingaloang adalah putra Raja Tallo ke-6, lahir tahun 1600. Nama lengkapnya adalah I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Syah,” tulis Syahruddin Yasen dalam Maestro Dua Puluh Tujuh Karaeng Bugis-Makassar.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cerita di Balik Gambar Sultan Hasanuddin

Raja ke-6 Tallo adalah Karaeng Matoaya alias Sultan Abdullah Awalul Islam. Ayahnya raja Tallo yang pertama-tama masuk Islam. Ibunya I Wara’ Karaeng Lempangang. Sama dengan Karaeng Pattingaloang anaknya, Karaeng Matoaya juga suka ilmu pengetahuan.

Dulu, Gowa dan Tallo bersekutu dan cukup kuat di Sulawesi Selatan. Keluarga Karaeng Pattingaloang adalah salah satu orang penting dalam persekutuan itu. Sebelumnya, ketika Sultan Alaudin dari Gowa menjadi rajanya, Matoaya dari Tallo sebagai “Mangkubumi” (yang menangani segala urusan). Anak-anak penerus mereka kemudian melanjutkan persekutuan itu. Karaeng Pattingalloang menggantikan ayahnya sebagai mangkubumi.

“Karaeng Pattingalloang adalah Perdana Menteri dan penasihat utama Sultan Muhammad Said (1639-1653), yang masa pemerintahannya kurang lebih bertepatan dengan masa keemasan kesultanan itu,” catat Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan.

Baca juga: Cerita Menarik di Balik Gelar Anumerta Raja Gowa

Julukan Karaeng Pattingalloang adalah “Renaissance Man”. Karaeng Pattingalloang menguasai bahasa Latin, Spanyol, dan Portugis. Dia memiliki perpustakaan yang mengoleksi buku dan atlas Eropa, memiliki globe, dan memelihara beberapa satwa. Lombard menyebut dia punya rasa keingintahuan dan sosok yang ensiklopedis.

Sebagai kerajaan federasi, Gowa-Tallo punya lawan bernama Bone. Kerajaan itu terletak di sisi utara Gowa-Tallo. Dalam persaingan itu, Gowa-Tallo akhirnya sukses menaklukkan Bone.

Buntut dari penaklukan itu, beberapa bangsawan Bone pun dijadikan sandera dan dibawa ke Makassar. Salah satunya La Tenritatta, yang masih remaja –ada yang menyebut dia masih 11 tahun– ketika dibawa ke Makassar. Anak-anak bangsawan Bone itu harus siap merasa terhina hidup di tangan musuh. Namun, tetap ada juga mereka yang beruntung, yakni yang mendapat majikan baik. La Tenritatta –yang belakangan dikenal sebagai Arung Palakka– termasuk salah satu yang beruntung itu.

Baca juga: Cara Raja Bone Melawan Belanda

“Mereka beruntung karena menjadi pelayan Tuma’bicara-butta Goa Karaeng Pattingaloang, seorang Tuan yang baik. Karaeng ini dengan cepat menaruh kesukaan pada Arung Palakka dan mengajarkan hal yang diperlukan seorang pangeran,” catat Leonard Andaya dalam Warisan Arung Palakka.

Sehari-harinya, Arung Palakka rela menjadi pembantu bagi Karaeng Pattingaloang. Namun Arung Palakka mendapat kehormatan sebagai pembawa kotak sirih sang karaeng (raja) itu. Hidup dalam lingkaran Karaeng Pattingalloang, Arung Palakka ibarat jadi cantrik atau murid yang magang atau ngenger.

Namun Arung Palakka tak selamanya berada di lingkaran Karaeng Pattingalloang. Ia yang sudah “tercerahkan”, tak terima menyaksikan penindasan rakyat Bone. Perlawanan terhadap Gowa-Tallo kemudian dilancarkannya.

Baca juga: Meninjau Kembali Peran Arung Palakka

Ketika terdesak, Arung Palakka menyingkir sampai ke Batavia. Kemudian dia datang kembali ke Sulawesi Selatan bersama VOC mengalahkan Gowa-Tallo. Sultan Hasanuddin sang raja Gowa-Tallo pada 1667 terpaksa menandatangani perjanjian Bungaya yang merugikan Gowa-Tallo sekaligus meneguhkan kuasa VOC di Makassar dan sekitarnya. Setelah 1667, VOC berkuasa bersama Arung Palakka. Bila Belanda bermarkas di Benteng Fort Rotterdam, Arung Palakka selama di Makassar tingga di rumah Karaeng Pattingalloang.

Arung Palakka lalu tak hanya jadi raja Bone saja. Bersama VOC, Arung Palakka mengatur kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar Makassar, sama seperti dulu Gowa-Tallo ketika berkuasa.

“VOC tidak berusaha memperbaiki dan menjalin hubungan politik dengan berbagai kerajaan yang berdaulat. Bahkan, dalam konteks ini, Raja Bone, Arung Palakka (1672-1696), dibiarkan memperluas kekuasaannya,” tulis Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.*

TAG

sulawesi selatan arung palakka

ARTIKEL TERKAIT

"Amukan" Gunung Ruang Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Azab Raja Cabul di Tanah Bugis Akhir Kisah Raja Lalim AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Menapak Tilas Ken Angrok Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional Zhagung dan Tikus versi Pram versus Karmawibhangga