Masuk Daftar
My Getplus

Nekara Selayar dan Pelayaran Nusantara*

Nekara ini tak sekadar benda pusaka. Kehadirannya adalah bukti Selayar telah terbuka bagi banyak bangsa sejak lama.

Oleh: Petrik Matanasi | 07 Des 2023
Nekara perunggu di Kampung Matalalang, Desa Bontobangun, Selayar, Sulawesi Selatan. (Petrik Matanasi/Historia.ID).

SEKILAS, benda berbahan logam itu bentuknya mirip dandang. Namun, bila dandang memiliki bagian tertutup di bawah, benda ini bagian tertutupnya ada di atas. Ukurannya pun besar, diameternya sekira satu meter. Begitulah wujud benda yang berada di Kampung Matalalang, Desa Bontobangun itu.

Benda itu ditemukan Sabura. Sabura hanyalah petani di wilayah Kerajaan Putabangun. Aktivitasnya tentu sebagian besar hanya dihabiskannya di sawah. Namun, sekitar tahun 1686, dia tak sengaja menemukan benda “asing” logam besar berbentuk seperti dandang. Dia lalu melaporkannya dan apa yang ditemukannya itu lalu menjadi milik raja Putabangun. Belakangan, logam besar yang ditemukan Sabura itu diidentifikasi sebagai Nekara Perunggu alias gendang perunggu.

“Masyarakat Selayar menyebutnya sebagai: Gong Besar. Setelah ditemukan, nekara itu menjadi benda pusaka Kerajaan Putabangun dan disimpan sampai tahun 1760. Saat Kerajaan Putabangun berubah nama menjadi Bontobangun dan pusat kerajaan berpindah di Matalalang, nekara perunggu diserahkan kepada raja Bontobangun dan tetap menjadi benda pusaka kerajaan,” kata Andi Muhammad Said dkk dalam Direktori Potensi Wisata Budaya Pulau Selayar Sulawesi Selatan Indonesia.

Advertising
Advertising

“Nekara di pulau ini juga diberi sesaji dan dianggap sebagai pusaka kerajaan sehingga tidak boleh dipindah-pindahkan,” tulis Nugroho Notosusanto dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia 1.

Baca juga: Berlayar Bersama Dewaruci*

Setelah gubernur jenderal Hindia Belanda mengeluarkan edaran kepada para pejabat untuk mengumpulkan data tentang benda-benda antik, sekitar tahun 1863, pejabat setempat melaporkannya. GA Schoulten lalu membuat gambaran tentang nekara ini dan sempat mengirimkan patung katak dari nekara ini sekitar tahun 1883.

Pada bagian atas nekara perunggu itu terdapat hiasan berupa patung katak. Pada sisi samping terdapat gambar-gambar hewan berupa 16 ekor gajah, 54 burung, dan 18 ikan serta 11 helai daun sirih. Menurut cerita turun-temurun di Selayar, nekara itu dipercaya untuk memanggil hujan. Nekara besar di Selayar ini punya pasangannya di Vietnam. Nekara di Vietnam itu dianggap istrinya karena kataknya kecil.

Nekara perunggu ini terkait dengan kebudayaan Dongson, yang antara 600 SM-300 Masehi terkenal dengan peninggalan logamnya. Dongson adalah sebuah desa di Vietnam. Sulit memastikan sejak kapan nekara ini hadir di Selayar. Namun pastinya sebelum agama Islam masuk dan pedagang Eropa yang memburu rempah-rempah datang, nekara raksasa ini sudah ada.

Baca juga: Jalur Kelapa Menuju Selayar*

“Menurut legenda yang berkaitan dengan nekara perunggu, diceritakan saat Sawerigading bersama istrinya We Cuddai dan ketiga anaknya, La Galigo, We Tenri Dio dan We Tenri Balobo melakukan perjalanan dari Cina ke Luwuk dan singgah di Selayar, tepatnya di Putabangun dan membawa nekara perunggu besar,” demikian yang dicatat Sri Rahayu dalam 30 Cerita Rakyat Indonesia Tentang Asal-Usul Penamaan Suatu Daerah di Indonesia.

Begituah folklore tentang nekara raksasa dari Selayar ini. Di luar dari folklore ini, faktanya Selayar adalah bagian dari jalur pelayaran Nusantara. Para pedagang dari barat harus melalui Selayar untuk tiba di bagian timur Nusantara. Berpindahnya nekara besar ini dari Dongson hingga ke Selayar tentu seiring dengan pemanfaatan jalur pelayaran.

“Nekara dibawa oleh para pelaut dan pedagang saat mengarungi lautan. Orang-orang Dongson dikenal piawai mengarungi lautan Cina Selatan (Nanyang) hingga laut-laut di Selatan (laut Nusantara, red.). Merekalah yang membawa nekara itu. Tetapi, belum ada data tentang hubungan mereka dengan orang Selayar, apakah nekara dibarter atau sebagai hadiah kepada orang Selayar,” kata Pengajar UIN Raden Intan Lampung, Abdul Rachman Hamid, di seminar pada 30 November 2023 daalam rangka Festival Budaya Maritim dan Muhibah Jalur Rempah 2023.

Baca juga: Cerita di Balik Jangkar Raksasa*

Letak Kepulauan Selayar yang berada di antara Laut Flores, Selat Makassar, Laut Banda, dan Laut Jawa amat strategis. Ia menjadi tempat persinggahan orang-orang dari barat untuk mencapai kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil rempah.

“Selayar pernah menjadi rute dagang menuju pusat rempah-rempah di Moluccan (Maluku). Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar,” catat Zainuddin Hakim dan Tadjuddin Maknun dalam Sintaksis Bahasa Laiyolo.

 Jadi tidak mengherankan jika sejak lama ada interaksi antar bangsa dan budaya dari daerah yang jauh di Selayar.

Alhasil ketika perniagaan rempah mencapai masa kejayaan, interaksi orang-orang dengan beragam etnis atau bangsa dengan tradisi budaya masing-masing di Selayar intensitasnya tinggi. Saling mempengaruhi tak mungkin dihindari. Nekara di Matalalang itu salah satu buktinya.

Tulisan keempat serial Muhibah Jalur Rempah 2023

TAG

jalur rempah selayar sulawesi selatan

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea