DUA pengamen menjalankan aksi di atas sebuah bus kota. Seorang memainkan gitar, rekannya menengadahkan topi untuk wadah uang “sumbangan”. Beberapa penumpang tampak menyiapkan recehan untuk diberikan, sementara yang lain cuek. Gambaran kehidupan di metropolitan yang umum itu hadir dalam sebuah lukisan di pameran bertajuk “Lini Transisi” di Galeri Nasional, Jakarta.
Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 99x99 cm itu karya Soenarto Pr. Judulnya “Pengamen”, dibuat pada 1988. Lukisan milik Museum Seni Rupa dan Keramik itu jadi salah satu dari 50 karya lukis, patung, dan seni instalasi yang di-display dalam pameran yang digelar kurun 1-31 Agustus 2019.
Karya Soenarto itu ditampilkan di antara sejumlah karya pelukis tenar lain seperti S. Sudjojono, Affandi, Basoeki Abdullah, hingga Hendra Gunawan. Menurut kurator pameran dan Galeri Nasional Suwarno Wisetrotomo, lukisan “Pengamen” turut menggambarkan salah satu sisi kehidupan kelas bawah di masa perubahan dan peralihan pasca-kemerdekaan dalam dekade 1950-an sampai 1980-an.
“Soenarto Pr salah seorang pelukis yang menyaksikan gerak peralihan itu. Lukisan ‘Pengamen’ menjadi salah satu contoh kesaksian seorang Soenarto Pr terhadap zamannya: situasi sosial, politik, ekonomi yang penuh guncangan. Mengamen merupakan salah satu cara untuk survive: hidup tergantung dari orang lain sekaligus bisa mengekspresikan kata hati,” kata Suwarno kepada Historia.
Kendati dalam pameran hanya satu karya Soenarto yang ditampilkan, di Gedung Pameran Tetap Galeri Nasional terpajang satu karya lain Soenarto di salah satu sudut ruangan. Lukisan “Potret Diri”, demikian judulnya, dibuat pada 1957 atau dua tahun sebelum Soenarto dan kawan-kawannya mendirikan Sanggar Bambu di Yogyakarta.
Lukisan di atas kertas berdimensi 50x35 itu menampilkan sang maestro perupa hanya mengenakan pakaian sederhana dan topi jerami. Kumis tipis menghiasi wajahnya yang dilukis hanya menggunakan pastel, bukan cat minyak.
“Bapak memang sering bikin lukisan potret diri. Biasanya pakai cermin. Dan kalau pakai pastel biasanya karena sedang tidak mampu beli kanvas dan cat minyak. Soalnya waktu masih di Yogya kan bapak hidupnya prihatin. Bapak baru pindah ke Jakarta tahun 1960,” kata Mirah Maharani, salah satu putri mendiang Soenarto, mengenang.
Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr
Kebiasaan menggunakan pastel membuat Soenarto mendapat julukan prestisius. “Soenarto Pr memang dikenal sebagai ‘Raja Pastel’ di samping almarhum Wardoyo,” kata Suwarno.
Sekira 37 karyanya dari guratan pastel pernah ditampilkan di pameran tunggalnya di Bentara Budaya, Yogyakarta, 3-12 Agustus 2010. Selain potret dirinya, lukisannya yang dipamerkan adalah lukisan sejumlah tokoh.
“Melukis potret diri merupakan studi yang efektif, mengenal dari dekat karakter, tak perlu membayar model dan emosi berganti-ganti. Lazim dilakukan pelukis pada zamannya. Soenarto juga sukses memimpin Sanggar Bambu yang monumental itu yang saya sebut sebagai gerakan kesenian di tepian arus,” Suwarno melanjutkan.
Pakar Patung
Selain “Raja Pastel”, Soenarto dikenal sebagai pakar relief hingga patung-patung pahlawan. Di Jakarta, karya-karyanya bersama seniman Sanggar Bambu bertaburan. Selain Relief “Rama-Marica” dan “Arjunawiwaha” di Bank BNI ’46 Jakarta, ada Relief Perjuangan Ahmad Yani di Museum Sasmitaloka Ahmad Yani, dan Relief “Sumpah Gajah Mada” di Wisma Sandhi Pala. Di Wisma Sandhi Pala juga terdapat patung dada pahlawan revolusi S. Parman.
Sementara di Cikini, 15 patung dada pahlawan nasional karyanya memenuhi Gedung Joang ’45. Patung karya Soenarto lainnya adalah patung dada Ki Hajar Dewantara di Jalan Salemba, patung Panji Asmarabangun di Taman Bunga Keong Mas, TMII, patung dada Gubernur Soediro di Balai Kota DKI Jakarta, dan patung Mohammad Hoesni Thamrin di Museum MH Thamrin.
Bukan hanya di Jakarta, patung karya Soenarto juga menghiasi beberapa kota. Sebut saja patung Jenderal Sudirman dan Hasanuddin di Balai Prajurit, Makassar, Monumen Mr. Latuharhary di Pulau Haruku, dan monumen Jenderal Gatot Subroto di Purwokerto.
Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
Peresmian monumen Jenderal Gatot, tahun 1982, bersamaan dengan jalannya produksi film Kereta Api Terakhir. Selain Soenarto, desain patung perunggu setinggi empat meter itu juga turut dikreasikan Soenaryo. Monumennya dikerjakan di markas Sanggar Bambu di Meruya Ilir. Selama proses pembuatan, beberapakali Sopiah, istri Gatot, hadir untuk melihat.
“Ibu Gatot tidak banyak komentar tentang Patung Monumen Gatot Soebroto (naik kuda), tetapi terus-menerus memandangi dan mengelilinginya. Ketika Ibu Gatot pamit, biasanya berkata: ‘Narto, teruskan saja sampai selesai’,” kata Soenarto dalam Mengungkap Perjalanan Sanggarbambu.
Baca juga: Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi, Siapa Peduli?
Untuk membantu keotentikan patungnya, Soenarto dipinjami Sopiah topi safari peninggalan Gatot Soebroto yang masih disimpan keluarga. Selain itu, Sopiah juga menyarankan melihat kuda sejenis yang dimiliki Kapolri Anton Soedjarwo di kandangnya di Ciganjur, Jakarat Selatan, di mana jenis kudanya dianggap paling mirip dengan kepunyaan Gatot Soebroto dahulu kala.
“Menarik waktu peresmian monumen Pak Gatot itu di Berkoh, Purwokerto. Para pemain film Kereta Api Terakhir, termasuk Pak Sundjoto Adibroto yang memerankan Gatot Soebroto, ikut hadir. Produksi film pun dihentikan sementara untuk menghadiri peresmian patungnya,” kata Mia, sapaan karib Mirah Maharani.