Masuk Daftar
My Getplus

Wakil Dagang Sementara

Seorang pebisnis dan komunis yang bersimpati pada perjuangan Republik Indonesia diangkat menjadi perwakilan dagang Indonesia di Australia.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 25 Okt 2011

PADA April 1946, Indonesia mengirim 500 ribu ton beras ke India untuk dibarter dengan tekstil. Keberhasilan “diplomasi beras” ala Sjahrir ini membuat eks-Digulis di Australia yang tergabung dalam Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM), lembaga yang mengurus orang Indonesia di Australia, ingin membuka hubungan dagang Indonesia-Australia, dengan melayangkan surat ke pemerintah Indonesia pada 15 Juli 1946. Apalagi Indonesia telah membuka Indonesia Export & Import Agency (NESIA) di Singapura.

Surat balasan datang dari Kementerian Luar Negeri bagian perdagangan luar negeri pada 26 Juli 1946. Isinya, pemerintah Indonesia belum bisa memberikan surat resmi untuk membuka perwakilan dagang kepada CENKIM. Tapi, pemerintah Indonesia berencana mengirim utusan muhibah (goodwill mission) ke Australia untuk menjajaki kemungkinan perdagangan luar negeri.

Dr Saroso Wirodihardjo, kepala Bagian Ekonomi Kementerian Kemakmuran, mengirim Tony Maramis dan Bob Menot ke Sydney. Mereka membawa surat perintah tertanggal 30 September 1946 untuk mendirikan perwakilan dagang dan memuat daftar hasil bumi yang bisa diekspor Indonesia seperti gula, karet, kopi, kapuk, vanila, kina, dan tembakau. Namun pemerintah Australia menyatakan keduanya imigran gelap karena mereka mantan pegawai kapal Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang sudah dikembalikan ke Indonesia (repatriasi) pada Oktober 1945.

Advertising
Advertising

“Kedatangan mereka sangat menggelisahkan Menteri Imigrasi (Arthur Augustus) Calwell karena aktivitas mereka sangat gelap,” tulis Mohamad Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis.

Selain itu, di Sydney mereka juga tak berhasil mendirikan kantor dagang. Keberadaan mereka justru menimbulkan perpecahan di antara warga Republik di Sydney. Pasalnya, mereka dibekali uang sebesar 3000 pound Australia. Oleh Maramis, uang itu disimpan atas namanya, dan kemudian menggunakannya untuk membeli mobil dan rumah. Akibatnya, Menot dan Maramis harus kembali ke Singapura. Di sana mereka dikucilkan oleh NESIA. Dan NESIA kemudian meminta Campbell mengambil-alih perwakilan dagang yang dirintis Maramis.

CENKIM juga mendesak Perdana Menteri Sutan Sjahrir untuk mengangkat Campbell sebagai Perwakilan Dagang Sementara (Trade Commissioner Temporary). Dalam surat lamarannya kepada Sjahrir, Campbell menyatakan, “kami percaya kini sudah tiba waktunya untuk melakukan perdagangan dengan jalan resmi. Untuk mencapai ini saya sudah mendekati menteri yang berwenang untuk pengakuan resmi dan reaksinya tampak menyenangkan.”

Pada 14 Desember 1946 Campbell menerima surat pengangkatan.

“Saya tahu pasti,” kata Bondan, “bahwa Campbell secara suka rela dan segala ongkos untuk keperluan biaya Trade Commissioner Temporary dirogoh dari kantongnya sendiri.”

[pages]

Dalam In Love with A Nation, istri Bondan, Molly, yang sebulan bekerja mencampur warna kamuflase, sebelum akhirnya menjadi sekretaris perusahaan United Lubricants milik Campbell, menganggap selain bersimpati kepada Republik, Campbell juga tertarik pada perdagangan dengan Indonesia.

Clarence Hart Campbell lahir di Thebarton, Australia Selatan pada 1891. Di usia 23 tahun dia bergabung dengan Australian Imperial Force dan bertugas dalam Perang Gallipoli di semenanjung Gallipoli, Kekaisaran Ottoman dari 1914-1916. Usai bertugas, dia kembali ke Australia pada 1916 dan berkampanye melawan kebijakan wajib militer. Dia lalu menjadi pengusaha industri kimia dan mendirikan dua perusahaan: United Lubricants Pty Ltd. dan Australian Bitumen Company Ltd. Dia aktif dalam Asosiasi Australia-Indonesia dan Asosiasi Australia-India, pernah menjadi bendahara Serikat Pelaut India, anggota Partai Buruh, dan berafiliasi dengan Partai Komunis Australia pada 1940-an.

Keterlibatan Campbell sebagai anggota Partai Komunis dijadikan senjata oleh Belanda dan kaum oposisi di Australia, seperti Partai Liberal dipimpin Menzies dan Country Party dipimpin Fadden, untuk menggagalkan perdagangan Australia dan Indonesia.

“Berita perdagangan dengan Jawa menggelisahkan,” demikian kepala berita koran Sydney Morning Herald, 21 Mei 1947. Isi beritanya menyebutkan bahwa pimpinan bersama dari golongan Partai-partai Oposisi Federal akan mengadakan rapat untuk mendiskusikan mosi tak percaya kepada pemerintah Australia tentang adanya proyek pembentukan kongsi dagang yang dikuasai kaum komunis untuk memonopoli perdagangan antara Australia dan Jawa.

“... pemuka-pemuka komunis Australia dan Indonesia akan menjadi direktur-direkturnya. Modalnya 20 sampai 30 juta guilders, kantor pusatnya di Singapura, pemerintah Indonesia hanya akan memberikan lisensi perdagangan dengan Australia kepada kongsi tersebut. Semua barang yang bukan menjadi milik kongsi dagang Australia ini tidak akan ditangani oleh buruh-buruh pelabuhan Australia,” tulis Bondan.

Pada 18 April 1947, Perdana Menteri Chifley menyatakan kepada Pimpinan Country Party bahwa Campbell bukan wakil dagang resmi pemerintah Australia. “Pemerintah Australia tidak diminta untuk mengangkat seorang wakil, pula Perdana Menteri Chifley pun tidak mengakuinya,” tulis Soeloeh Ra’jat, 18 April 1947.

Campbell bergeming. Dengan jaringan bisnisnya, dia menghubungi pengusaha-pengusaha Melbourne, Sydney, Brisbane, dan Perth. Pertanyaan para pengusaha itu berkisar pada biaya atau harga, ketentuan keberlangsungan suplai, kualitas barang, pembungkusan, cara pengurusan, pengaturan pembayaran, perlindungan dalam pemasaran, dan sebagainya. Campbell sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, apalagi melakukan negosiasi dagang. Soalnya, dia sulit untuk berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia karena blokade Belanda. Dia minta diundang ke Indonesia. Pada 29 Maret 1947, Kementerian Luar Negeri mengundangnya ke Indonesia. Belanda memblokir visanya, sehingga dia harus melalui Singapura, dan dengan menggunakan pesawat Dakota terbang ke Indonesia.

[pages]

Campbell bertemu dengan Presiden Sukarno pada 26 April 1947. Dia kemudian menerima beberapa instruksi dari Sjahrir dan Menteri Kemakmuran A.K. Gani yang memberikan dafar barang-barang yang dibutuhkan Indonesia. “Dalam daftar ini disebutkan barang-barang yang hendak didatangkan di negeri ini dari Australia, dan selanjutnya obat-obatan, mesin-mesin, dan sebagainya,” tulis Soeloeh Ra’jat, 29 April 1947, “yang akan ditukar dengan kapuk dan kayu jati dari Indonesia.”

Belum juga mencairkan daftar barang tersebut, Campbell tersandung masalah saat dia menghadiri Kongres I SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) di Malang pada 16 Mei 1947. Dia mengatakan, sebagaimana dikutip Soeloeh Ra’jat, 17 April 1947, bahwa sedikitnya tiga wakil serikat pekerja Australia siap berangkat ke Indonesia guna menghadiri kongres tersebut. “Sayangnya,” tulis Molly, “delegasi dari Australia yang terlambat datang (karena dipersulit Belanda) mengetahui bahwa Campbell menyatakan dia berbicara atas nama mereka sementara mereka belum hadir.”

Hal ini menimbulkan persoalan di Australia, karena Campbell hanya berhak bicara tentang perdagangan, dan sama sekali tidak untuk bicara tentang organisasi buruh. Terlebih dalam pidatonya, Campbell menyatakan bahwa, “serikat-serikat pekerja Australia hendak menyusun suatu rencana untuk menyelenggarakan pemboikotan internasional atas kapal-kapal Belanda,” tulis Soeloeh Ra’jat, 17 Mei 1947.

Pada 16 Mei 1947, Ketua Muda Dewan Serikat-serikat Pekerja Australia Robert King dan Ketua Dewan Gabungan Buruh Australia Clarey membantahnya. “Serikat-serikat pekerja Australia tidak diwakili dalam kongres tersebut secara resmi, dan tuan Campbell pun tidak berkuasa untuk berbicara atas nama serikat-serikat pekerja Australia,” kata King seperti dikutip Soeloeh Ra’jat, 19 Mei 1947.

Masalah inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa Campbell minta dibebastugaskan dari kedudukannya sebagai Wakil Dagang Sementara. “Walaupun alasan sebenarnya yang diberikannya ialah, ia berpendapat –dan pendapat ini memang tepat– jabatan komisaris perdagangan Indonesia seharusnya diberikan kepada orang Indonesia,” tulis Molly.

Campbell menerima surat pemecatan dari Sjahrir pada 30 Mei 1947. Dan dia menerima uang 500 pound Australia untuk mengganti biaya perjalanan yang telah dikeluarkannya.

[pages]

TAG

campbell

ARTIKEL TERKAIT

Bubar Sebelum Terbang Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Jusuf Muda Dalam Terpuruk di Ujung Orde Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru Tuan Tanah Cakung Indo-Priangan Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang Para "Ekonom" Perintis Selain Margono Masa Kecil Radius Prawiro Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan