PERANG Jawa (1825-1830) telah menyedot begitu banyak uang di kas Kerajaan Belanda. Menurut sejarawan Peter Carey, kurang lebih 25 juta gulden (setara dengan kira-kira 2,5 milyar dollar Amerika Serikat untuk hari ini) telah dikeluarkan untuk memadamkan pemberontakan yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro itu.
“Situasi itu menyebabkan pemerintah Hindia Belanda bukan saja kekurangan uang namun juga terjerat utang di mana-mana,” ujar lelaki Inggris yang hampir setengah abad meneliti tentang Perang Jawa tersebut.
Baca juga:
Perang Jawa Libur Selama Ramadan
Kebangkrutan itu pula yang menyebabkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) membuat kebijakan tanam paksa atau dikenal sebagai Cultuur stelsel (sistem kultivasi) guna mengembalikan kestabilan pundi-pundi Hindia Belanda.
Menurut Prawoto Indarto dalam The Road to Java Coffee, gagasan Cultuur stelsel sejatinya diambil dari kerjasama VOC dengan bupati Priangan yang dikenal sebagai Priangan stelsel. Bedanya dalam Cultuur stelsel, selain Jawa juga mencakup seluruh Sumatera dan komoditi lebih beragam. Walaupun demikian, kopi tetap dimasukan dalam tanaman yang diwajibkan.
“Untuk menajalankannya, van den Bosch memanfaatkan ikatan feodal-tradisional antara bangsawan-bangsawan pribumi dan rakyat sebaik-baiknya,” ungkap Prawoto.
Pada saat permintaan dunia akan kopi semakin meningkat, van den Bosch melihat peluang yang bisa digunakan untuk menutup kerugian keuangan akibat Perang Jawa. Maka dia memerintahkan penanaman kopi sebanyak 50 juta benih pada tahun pertama dan 40 juta benih pada tahun kedua pemerintahannya.
Baca juga:
Menurut Surip Mawardi dalam makalahnya berjudul “Perkembangan Bahan Tanam Kopi Arabika di Indonesia Selama Tiga Abad (1699-1999)”, hingga 1840 di Pulau Jawa saja ada sekitar 330 juta pohon kopi yang mampu menghasilkan satu juta karung kopi. Dua tahun kemudian, panen kopi mengalami lonjakan menjadi sekitar 64.201 ton.
Pada 1845, pasaran dunia memerlukan 209.100 ton kopi. Kendati tidak bisa mengulangi prestasi seperti di tahun 1724, namun setidaknya kopi jawa berhasil memenuhi 27% (209.100 ton) dari permintaan pasar dunia tersebut.
“Dari tanam paksa, Kerajaan Belanda bisa meraup untung hingga 832 juta gulden (setara dengan 75,5 milyar dollar Amerika Serikat hari ini),”ujar Peter Carey.
Pernyataan Carey terkonfirmasi dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200--2008 karya sejarawan M. C. Ricklefs. Ricklefs menyebut keuntungan sistem tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda kembali stabil: hutang-hutang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan dibangun, terusan-terusan diciptakan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun.
“Hal yang sebaliknya terjadi pada masyarakat Jawa yang diperas: penyakit dan kelaparan bertambah merajalela dan kaum miskin melonjak tinggi jumlahnya di desa-desa Jawa),” ungkapnya.
Kritik terhadap Cultuur stelsel kemudian bermunculan. Tokoh humanis Belanda Eduard Dauwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar, of the Koffie-veilingen der Nederlandsche Handelsmaatshappij memprotes akibat dari Culltuur stelsel yang banyak memakan korban dari kalangan rakyat Hindia Belanda. Dia juga menuduh sistem itu sebagai kecurangan pemerintah Hindia Belanda kepada petani hingga menyebabkan kemiskinan, tragedi dan kematian para petani lokal.
Dari kelompok liberal muncul nama Fransen van de Putte. Dalam sebuah artikel berjudul “Suiker Contracten”, dia mengkritik Cultuur stelsel yang telah membunuh bisnis perkebunan swasta di Hindia Belanda.
Baca juga:
Tanam Paksa Dorong Penelitian Pangan
Pemerintah Hindia Belanda merespon kritik-kritik itu dengan mengganti Cultuur stelsel dengan peraturan Undang-undang Agraria (Agrische Wet) pada 1870. Dalam aturan tersebut, pihak swasta diberikan porsi besar untuk mengelola bisnis kopi di Hindia Belanda. Ada disediakan Hak Guna Usaha perkebunan selama 75 tahun untuk pihak swasta dan perorangan.
Pasca 1870, pihak swasta merajai bisnis kopi di Hindia Belanda. Dengan memanfaatkan kebijakan Politik Etis (politik balas budi), mereka mengatur menejemen bisnis kopi secara mandiri. Begitu dominannya peran mereka, hingga pada 1905, secara resmi pemerintah Hindia Belanda menarik diri dari bisnis kopi di Jawa. Tiga tahun kemudian, mereka melakukan hal yang sama di Sumatera.
Seiring pengalihan itu, pada 1876 “kutukan” menghampiri bisnis kopi di Hindia Belanda. Entah dari mana datangnya, tetiba wabah yang disebut sebagai hemeleia vastatrix merajalela.
Hemeleia vastatrix merupakan jamur berwarna putih yang menempel di pucuk daun kopi. Kendati terlihat sepele dan biasa, jamur itu terbukti bisa menebar secara mendadak di sebagian besar perkebunan Kopi Jawa, terutama yang berada di dataran rendah (di bawah 1.000 dpl).
Baca juga:
Kopi Jawa Bikin Kecanduan Orang Eropa
Menurut Prawoto yang mengutip Fernando dalam karyanya Java, akibat serangan jamur putih itu, bisnis Kopi Jawa mengalami sakratul maut. Sejarah mencatat pada 1880, Jawa telah kehilangan potensi ekspor sekitar 120.000 ton biji kopi sehingga menimbulkan kapanikan luar biasa di pasaran kopi dunia.
“Para pengamat industri kopi dunia mengungkap situasi yang terjadi di Jawa (dan Ceylon) itu sebagai “declining of Asian production” yang turut mendorong kenaikan harga kopi di pasaran dunia,” tulis Prawoto.
Bencana yang terjadi di Jawa (dan Ceylon) dimanfaatkan oleh para petani Brazil. Mereka lantas menanam kopi secara besar-besaran. Perlahan namun pasti, Brazil kemudian menggantikan posisi Hindia Belanda sebagai pemasok utama kopi dunia. Bahkan hingga kini.
Sejak diserang jamur hamileia vastatrix,penyebab karat daun kopi, usia Kopi Jawa sendiri mulai menuju senjakala. Kejayaannya sekarang hanya tersisa di pelosok-pelosok Jawa. Itu pun dalam bentuk yang tidak sekualitas dan sebanyak dulu lagi.
Baca juga: