RUDOLF Kerkhoven baru saja tiba di Jawa dari Belanda. Mengikuti jejak keluarga besarnya, dia hendak mengelola kebun teh di Priangan. Tetapi, itu hal yang sepenuhnya baru dalam hidupnya. Karenanya dia butuh belajar kepada sepupu-sepupunya yang telah lebih dulu terjun ke bisnis teh di Priangan Timur.
Salah satu sepupu yang dia kunjungi adalah Karel Holle. Di antara keluarga besarnya, Holle paling luas pengetahuannya tentang masyarakat Sunda. Di sebuah villa di tengah perkebunan teh Parakan Salak, Holle memberi beberapa petuah kepada sepupu mudanya. Salah satunya soal bagaimana dia harus bersikap kepada warga lokal.
“Kau barangkali pernah mendengar bahwa orang-orang Sunda itu malas, tetapi jangan percaya itu. Yang perlu kau lakukan adalah berusaha sedikit untuk memperlihatkan dengan jelas pada mereka, keuntungan-keuntungan apa yang akan mereka dapat dari metode bertani yang terbaru. Mereka belum menyadari keuntungannya yang luar biasa untuk jangka panjang,” kata Karel Holle kepada Rudolf.
Percakapan itu bagian dari novel Sang Juragan Teh karya Hella S. Haasse. Itu sebuah fiksionalisasi tentang seluk beluk kehidupan para juragan perkebunan teh di Priangan Timur pada masa kolonial. Ceritanya berpusar pada sosok Rudolf Eduard Kerkhoven, pendiri perkebunan teh Gambung. Sementara Karel Holle hanyalah figuran. Tetapi, di masanya, juragan teh ini jamak dikenal orang Sunda sebagai mitra noe tani, sahabat petani.
Baca juga: Sejarah teh dari legenda Kaisar Cina hingga teh dalam kemasan
Karel Frederik Holle lahir di Amsterdam pada 9 Oktober 1829. Dia pertama kali menginjakkan kaki di Jawa pada 1843. Awalnya dia bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintah kolonial. Lepas sepuluh tahun berdinas, dia memutuskan pensiun dan membuka Perkebunan Teh Waspada di Cikajang, Garut. Beriring dengan mengurus perkebunan itu, dia menyalurkan minat besarnya akan kebudayaan Sunda terutama melalui penerbitan naskah-naskah wawacan.
Dibandingkan orang-orang Belanda pada umumnya kala itu, Holle memang dikenal sangat dekat dengan orang-orang bumiputra. Terlebih, dia dikenal bersahabat kental dengan Haji Moehamad Moesa, seorang penghulu lokal dan sastrawan Sunda terkemuka. Persahabatan itulah yang membuka jalan bagi minatnya kepada kebudayaan literer Sunda yang kaya.
Tuan Holla, sebagaimana orang-orang Sunda di sekitanya menyapanya, kemudian menginisiasi usaha penerbitan naskah-naskah wawacan untuk pendidikan dan penyuluhan pertanian. Ia bahkan sudah mulai merintisnya sejak masih berdinas di pemerintahan.
“Karel Frederik Holle mulai mendukung pendidikan masyarakat Sunda setelah 1851, ketika dia dan saudaranya Andriaan Walraven Holle menerbitkan buku fabel,” tulis Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19.
Fabel berjudul Tjarita koera-koera djeng monjet itu kemudian menjadi pelopor buku pegangan siswa di Jawa Barat. Buku itu disusun dalam bahasa Sunda yang umum di kalangan petani. Agaknya itu cukup mendapat perhatian dari sekolah-sekolah di Priangan. Moriyama mencatat bahwa pada 1861 pemerintah memberi dana sebesar 1.200 gulden kepada Holle untuk mempersiapkan penerbitan buku-buku bacaan dan diktat sekolah berbahasa Sunda.
Berkat usaha Holle itu, penerbitan buku-buku bacaan berbahasa Sunda menjadi bergairah. Bahkan perlahan menggeser buku-buku berbahasa Melayu. “Dalam daftar buku-buku yang tersedia, nyata sekali bahwa semua buku pelajaran baca-tulis ditulis dalam bahasa Sunda dengan aksara Latin dan Jawa,” tulis Moriyama.
Tak hanya itu, Holle juga menjadi semacam pengarah bagi penulis-penulis lokal Sunda. Karya-karya sastrawan Sunda yang masyur seperti Haji Moehamad Musa, Adi Widjaja, dan Hasan Mustapa kebanyakan hadir atas dorongannya. Penulis-penulis yang diorbitkan Holle terutama berasal dari lingkaran persahabatannya di Limbangan, Garut. Sehingga muncul apa yang disebut Moriyama sebagai “lingkaran Holle”.
Baca juga: Haji Hasan Mustapa, ulama dan pujangga termasyhur tanah Sunda
Tetapi, nama besar Holle lebih karena perannya dalam memperkenalkan cara-cara baru dalam pertanian di tanah Priangan Timur. Dia menulis wawacan tentang cara bertani dan mendorong para petani menerapkannya.
Seperti diungkap oleh sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. Di antaranya Holle menerbitkan serial budidaya padi, jagung, kelapa, aren, waluh, dan labu dalam Tijdschrift voor Nijverheid en Landbow van Nederlandsch-Indie. Seri artikel ini diterbitkan di bawah tajuk De Vriend van den Landman pada 1871.
“Karena tulisan Holle dinilai bermanfaat, dibukukanlah semua ini dalam seri De Vriend van den Landman sejak 1874 hingga 1899 sebanyak belasan jilid. Yang lebih penting di balik proyek pembukuan itu adalah penerjemahannya ke berbagai bahasa daerah meliputi Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bugis, dan Makassar,” tulis Fadly.
Usaha Holle itu berangkat dari pemikiran bahwa Priangan dianugerahi potensi tanah yang subur. Tetapi kontras dengan kehidupan penduduknya, terutama para petani yang hidup ala kadarnya. Jika lahan subur itu berhasil diolah dengan baik tentu rakyat Priangan akan bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.
Cara-cara pertanian baru itu disusun oleh Holle setelah melalui pengamatan di desa-desa sekitar Garut. Dia juga melakukan uji coba di perkebunannya sendiri.
“Pengujian yang dilakukan di perkebunannya berupa pembuatan teras-teras di pelerengan, mengatur penyuburan lahan, menabur benih di lahan-lahan kosong seperti padi, bahan-bahan makanan yang menguntungkan, sayur-sayuran dll, mengerjakan pembudidayaan ikan dll, semua itu kini menjadi berarti dan penting bagi penduduk Pribumi,” tulis C.W. Janssen dalam biografi Karel Holle, sebagaimana dikutip Fadly dalam bukunya.
Karya tentang teknik pertanian lain yang juga disusun oleh Holle adalah Handleiding voor de Koffiecultuur (Pedoman Penanaman Kopi), Handleiding voor het uit zaaien van padi (Pedoman Penyebaran/Pembibitan padi), dan Nota betreffende de padicultuur (Ikhtisar tentang Penanaman Padi).
Baca juga: Kopi Priangan menjadi primadona penguasa meraup laba
“Sehingga sejak itu, para petani tidak lagi menanam padi dengan cara menebarkan benih begitu saja. Bibit padi terlebih dulu disemai di persemaian, baru kemudian dipindahkan. Mereka menamakan sistem bercocok tanam padi tersebut dengan sistem holle,” tulis Her Suganda dalam Kisah Para Preanger Planters.
Atas usaha-usaha itulah kemudian ia dikenal sebagai “Tuan Holla sahabat para petani”. Pemerintah kolonial juga memanfaatkan jasanya dengan menjadikannya Adviseur Honorair voor Inlands Zaken alias Penasihat Kehormatan untuk Urusan Pribumi. Tetapi, kedekatan Holle dengan bumiputra dan usaha-usahanya memajukan pertanian di Priangan itu dipandang sinis oleh sesama orang Belanda. Dia dianggap terlalu dermawan kepada bumiputra.
Terlepas dari pandangan negatif itu, Tuan Holla dikenang sebagai sosok penting yang berjasa dalam pengembangan kebudayaan dan pertanian orang Sunda. Dia meninggal pada 3 Mei 1896 dan kemudian dimakamkan di daerah Tanah Abang, Batavia. Tak lama setelah kematiannya, masyarakat Garut menghormatinya dengan mendirikan tugu peringatan di alun-alun kota itu pada 1899.