Masuk Daftar
My Getplus

Sabang, Singapura yang Gagal

Sabang dulunya daerah buangan. Dijadikan pelabuhan bebas lantaran hendak dijadikan seperti Singapura.

Oleh: Petrik Matanasi | 25 Jun 2024
Aksi teatrikal tentang perniagaan rempah di masa lalu dihelat di Pelabuhan Sabang untuk menyambut rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024. (Petrik Matanasi/Historia)

DINIHARI 22 Juni 2024, sampailah KRI Dewaruci –yang membawa rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah– di Teluk Sabang. Kapal latih TNI AL itu tiba lebih cepat lantaran mendahului jadwal demi kenyamanan pelayaran.

Lantaran mendahului jadwal pula, Dewaruci tak bisa langsung sandar di pelabuhan. Maka para awak Dewaruci harus sabar menunggu untuk sandar pada hari berikutnya. Jadi keindahan Sabang nan mungil itu untuk sehari ini hanya bisa dilihat dari kapal saja.

Kendati kecil dan tidak seramai Jawa, Sabang dikenal bangsa Indonesia sebab ada lagu “Dari Sampai Merauke”. Sabang yang berada di ujung barat-laut dianggap sebagai titik nol Republik Indonesia.

Advertising
Advertising

Sejatinya, Sabang hanya sebuah kota di Pulau Weh. Sebenarnya, ada Pulau Benggala dan Pulau Guasarang yang lebih barat dari Weh dan Rondo yang lebih utara dari Weh. Namun, ketiganya tidak berpenduduk seperti Sabang.

Baca juga: Pedir Kaya Jual Merica

Nama Sabang, juga Pulau Weh, tak dikenal oleh bangsa-bangsa Eropa. Tak ada nama itu dalam Suma Oriental yang disusun Tome Pires di awal 1500-an atau History of Sumatra yang ditulis Willem Marsden pada 1800-an. Orang asing lebih mengenal Sabang dan sekitarnya seperti Pulau Bunta sebagai Gamispola. Menurut Marsden, Gamispola adalah penyebutan lain dari Pulo Gomez.

Di masa lalu, Pulau Weh adalah bagian dari Kerajaan Aceh, yang begitu kuat di daratan Aceh. Aceh dikenal sebagai pemungut pajak yang gigih dan tinggi bagi pedagang asing.  Syamsuddin Mahmud dalam Pelabuhan Bebas Sabang menyebutkan, waktu Sabang di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh, mata uang yang berlaku di Sabang adalah sama dengan mata uang yang berlaku di daratan Aceh: Dirham (terbuat dari emas), Amaih, Gupang, Busuk, dan Ringgit.

Pada 1600-an, penduduk Pulau Weh dan pulau-pulau di sekitarnya masih sedikit. Oleh Sultan Iskandar Muda Pulau Weh dijadikan tempat untuk membuang para penjahat dan orang cacat. “Weh” dalam bahasa Aceh, seperti tercatat dalam Kamus Basa Aceh: Kamus Bahasa Aceh: Acehnese-Indonesian-English Thesaurus yang disusun Bukhairi Daud dan Mark Durie, berarti “pergi meninggalkan suatu tempat.” Jadi mereka yang harus pergi itu kemudian pindah ke Pulau Weh.

Meski kesannya sebagai tempat pembuangan, Sabang dan pulau-pulau di sekitarnya punya sisi ekonomis.

“Belerang berlimpah-limpah di semua pulau itu dan dibawa ke Pedir dan Pasai,” catat Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636.

Baca juga: Pasai Kaya Lantaran Berdagang Lada

Belerang digunakan orang-orang Aceh untuk membuat mesiu. Bahan itulah bahan utama untuk menembakan peluru dari pistol, senapan, dan juga meriam.

Mesiu ikut membuat Aceh kuat di masa itu. Keberadaan Sabang dan pulau-pulau sekitarnya selain menjadi pulau terdepan juga merupakan benteng pertahanan bagi Aceh dari serangan bangsa asing.

Butuh waktu ratusan tahun dan biaya besar bagi bangsa asing untuk bisa menguasai Aceh. Itu dibuktikan Belanda setelah Terusan Suez dibuka (1869), yang membuat pelayaran dari Eropa menuju Nusantara menjadi lebih cepat jika. Untuk menguasai Aceh yang kaya dan strategis itu, pada 1873 Jenderal Mayor Kohler memimpin eksepedisi tentara Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) ke Aceh. Setelah Aceh daratan bergolak, pada 1881 Belanda membangun pangkalan batubara (asal Sumatra Barat) untuk kepentingan niaganya.

Selanjutnya, sejak 1896 Sabang dijadikan pelabuhan bebas (vrij haven) untuk perdagangan umum. Belanda berharap Sabang akan seperti Singapura yang dimiliki Inggris. Posisi Sabang dan Aceh yang dilewati kapal asing yang hendak menuju Tiongkok, Jepang, Filipina, atau Jawa itu sama seperti Singapura di ujung Semenanjung Malaya.

Posisi strategis Sabang itu terus berlanjut hingga ketika Perang Dunia II pecah. Jepang menjadikan pelabuhan di pulau yang jadi pintu masuk menuju Selat Malaka itu sebagai basis pertahanan maritimnya di barat selain basis suplai minyak dan logistik untuk pasukannya di Burma (kini Myanmar).

Baca juga: Nama Lain Sumatra Tempo Dulu

Ketika Sekutu hendak menyerang Jepang di Hollandia (kini Jayapura) pada 1944, Sabang dijadikan target serangan terlebih dulu. Pada 19 April 1944, bombardir udara pasukan Sekutu membuat Sabang luluh lantak. Pasokan minyak dan logistik Jepang di Burma pun terputus. Alhasil, dukungan pasukan Jepang dari barat untuk timur tak bisa diupayakan ketika Sekutu menyerang Hollandia.

Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, Sabang masih menjadi pelabuhan militer (tertutup). Upaya menjadikan Sabang sebagai pelabuhan bebas baru dilakukan setelah pemerintah Indonesia membentuk pemerintahan kotapraja di sana pada 1965 dan diperkuat dengan UU Nomor 4 Tahun 1970 tentang Penetapan Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

“Pulau Klah, yang terletak di Teluk Sabang yang indah, tahun 1968 dijadikan sarang kasino dan dilengkapi dengan ‘tempat bercinta’. Ini sejalan dengan ide menjadikan Singapura-nya Indonesia. Namun, baru berjalan beberapa bulan, masyarakat Aceh memprotesnya. Kasino bubar,” kata buku Menikmati Wisata Bahari Kota Sabang dan Sekitarnya yang diterbitkan Tempo Publishing.

Upaya menjadikan Sabang sebagai pelabuhan bebas akhirnya terhenti pada pertengahan dekade 1980-an. Pemerintah memilih Batam, yang persis di seberang Singapura, sebagai tempat untuk dijadikan pelabuhan bebasnya. Dengan sendirinya, Sabang ditinggalkan.

“Nafsu besar menjadikan Sabang sebagai ‘Singapura kedua’, menelantarkan masalah perkebunan. Barangkali memang Sabang sejak dulu bernasib malang,” ujar Tempo Publishing.*

TAG

sabang jalur rempah aceh

ARTIKEL TERKAIT

Kampung Tua di Sabang Perwira Prancis Beli Lada dapat Prank Raja Perkasa Alam Kuat dan Paranoid Pedir Kaya Jual Merica Pasai Kaya Lantaran Berdagang Lada Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Sejumput Kisah Sersan Baidin Sersan Zon Memburu Panglima Polim Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi