Kamp pengasingan Digul, Papua menjadi momok tersendiri bagi siapapun yang coba-coba memberontak kepada pemerintah kolonial Belanda. Tak hanya dilingkupi hutan belantara sunyi, nyamuk-nyamuk penyebar malaria juga menghantui. Tunjangan minim juga tak cukup untuk penghidupan.
Maka berjualan jadi salah satu cara untuk bertahan, sebagaimana dilakukan banyak penghuni Kampung C. Menurut eks-Digulis Muhammad Bondan seperti ditulis Molly Bondan dalam Spanning a Revolution: Kisah Mohammad Bondan, Eks-Digulis, dan Pergerakan Nasional Indonesia, Kampung C adalah kampung paling sibuk di Digul karena sebagian besar penghuninya membuka warung kecil-kecilan di rumah mereka.
“Wujud warung itu tidak lebih dari sebuah meja yang diberi taplak, diletakkan di depan pintu atau jendela yang terbuka, dengan di atasnya ditaruh barang-barang yang hendak dijual. Bagaimanapun kampung ini telah menjadi sesibuk seperti pusat perbelanjaan,” tulis Molly Bondan.
Baca juga: Digulis Menanti Kapal Putih
Para tapol menjual aneka barang. Dari kebutuhan sehari-hari seperti ikan segar, cabai dan sayuran yang ditanam sendiri, hingga panci dan piring-piring bekas.
Namun, warung-warung itu agak terganggu begitu sebuah toko kelontong berdiri. Toko itu milik Tan Toey. Menurut Chalid Salim dalam Limabelas Tahun Digul, Tan Toey adalah pedagang miskin dari Ambon. Menurut Bondan, pedagang itu tapol juga.
Tan Toey mendapat izin dari pemerintah untuk membuka toko di daerah sipil dan interniran. Sayangnya, toko Tan Toey tidak pernah diawasi.
“Berkat harga-harga catut yang ditetapkannya atas barang-barangnya selama bertahun-tahun, dan berkat monopoli yang diperolehnya selama itu, maka harga barang dan standar kehidupan pada pemukiman tersebut menjadi tinggi membumbung,” tulis Chalid.
Karena harga kebutuhan tinggi, pemerintah harus memberi tunjangan ekstra pada para tapol. Tan Toey pun meraup keuntungan berlimpah. Chalid menyebut, ketika meninggalkan Digul, Tan Toey jadi orang kaya.
Toko Tan Toey ternyata juga mempengaruhi aktivitas koperasi para tapol. Koperasi itu awalnya didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan tapol. Modalnya memang didapat dari bantuan pemerintah, namun pengurusnya adalah para tapol sendiri.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
“Akhirnya toko koperasi yang diusahakan oleh kaum Digulis itu lumpuh,” tulis Maskoen Soemadiredjo dkk. dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan, Seri Perjuangan Ex Digul.
Tak disebut kapan Tan Toey meninggalkan Digul. Belakangan, tokonya diteruskan oleh orang baru bernama Tan Tyo. Ia kemudian membangun rumah makan modern di sebelah tokonya. Di situlah para pejabat bisa bermain bilyar dan minum bir dingin.
“Berlainan dengan toko yang dulu, maka pemerintah kini mengawasi harga-harga barang yang dijual. Demikian pula ada pengawasan atas toko Tionghoa yang kemudian dibangun pula di daerah ini. Maka semua penghuni dapat bernafas lega, karena berakhirlah monopoli yang dipegang oleh pemilik toko,” tulis Chalid.
Selain menjual kebutuhan sehari-hari, beragam usaha dilakukan para tapol. Ada tukang roti, pangkas rambut, tukang gunting pakaian, tukang sepatu, dan tukang foto. Yang terakhir ternyata jadi pekerjaan yang cukup menjanjikan.
Sebuah foto di tanah pengasingan tentu menjadi barang yang mahal. Namun, peminatnya tetap banyak. Dari pesanan para pejabat, kalangan militer, dokter hingga para tapol sendiri.
Baca juga: Alkisah Foto Jenazah Aliarcham
“Dengan cara demikian kami dapat mengirim foto pemandangan Digul, dan juga potret kami sendiri, pada kwan-kawan, kepada sanak saudara di seluruh tanah air, tentu saja dengan menghindari sensor pada kantor pemerintah,” kenang Chalid.
Keberadaan tukang foto inilah yang membuat foto-foto di kamp dapat beredar. Foto-foto juga dijual kepada para wartawan dan pelaut yang mengunjungi Digul. Foto yang menggambarkan orang Papua menjadi yang paling diminati.
“Para ahli foto itu menyimpan berbagai bahan kimia di studio mereka. Bahan kimia itu cukup banyak untuk dapat meracuni seluruh penduduk kamp. Untung saja tidak ada yang mempuyai niat yang mengerikan itu!” tulis Chalid.