Masuk Daftar
My Getplus

Digulis Menanti Kapal Putih

Kapal yang membawa "peradaban" ke pembuangan Boven Digul. Dinanti kaum buangan maupun aparat kolonial.

Oleh: Andri Setiawan | 01 Apr 2020
Kapal "Putih" Fomalhaut. (Repro Lima Belas Tahun Digul).

Di Boven Digul, salah satu hal yang bisa memecah kesunyian hutan belantara ialah bunyi sebuah suling kapal. Kapal itu begitu dinantikan oleh semua orang di Digul baik kaum buangan mapun aparat militer dan sipil pemerintah kolonial. Kapal putih sang pembawa peradaban.

Kapal ini sebenarnya bernama Fomalhout. Disebut kapal putih karena memang berwarna putih. Kapal ini satu-satunya penghubung Boven Digul dengan dunia luar. Selain itu, kapal ini juga membawa tahanan baru dan membawa keluar tahanan yang dibebaskan dari Digul. Kapal putih datang ke Digul kira-kita delapan sampai 12 kali dalam satu tahun.

Menurut Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul, jauh sebelum kapal putih tiba, kedatangannya sudah bisa diterka oleh mereka yang memiliki pendengaran tajam.

Advertising
Advertising

Baca juga: Chalid Salim Pindah Agama, Haji Agus Salim Malah Alhamdulillah

“Mereka mendengar desah air sepanjang tepi sungai yang menuju ke utara. Apabila kemudian di kejauhan terdengar bunyi suling kapal, maka melonjaklah kami karena kegirangan!” ungkap Chalid Salim, adik Haji Agus Salim.

Sekitar tiga hari, kapal putih akan bersandar di dermaga Tanah Merah. Jika kapal datang di malam hari, orang-orang berdiri di tepi sungai untuk menikmati terang-benderangnya lampu-lampu kapal.

“Kami terpesona juga melihat keramaian di kapal, karena ia berlainan sekali dari eksistensi kami yang serba lamban di pos ini,” kata Chalid.

Tak lama setelah kapal putih berlabuh, setiap orang akan menanti kiriman surat-surat dari keluarga. Selain orang buangan, orang-orang Papua juga tertarik dengan kapal putih. Mereka merasa senang apabila dizinkan melihat kapal itu dari dalam. Dari sinilah orang buangan dengan orang Papua bersosialisasi.

Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1

Sementara itu, para opsir kapal juga merasa gembira dapat turun ke darat. Biasanya mereka akan main sepakbola, tenis, berburu, memancing, dan pesta-pesta.

Selain surat, koran-koran yang memberi tahu kabar dari luar juga sangat dinantikan orang-orang buangan. Uniknya, koran-koran dibaca menurut urutan waktu yang terbalik. Mereka membaca koran terbaru kemudian koran hari-hari sebelumnya. Dan untuk mengetahui berita selanjutnya, mereka harus menunggu kapal putih berikutnya yang datang satu bulan hingga satu setengah bulan kemudian.

Seorang letnan muda di Tanah Merah punya cara sendiri untuk menyiasati masalah koran ini. Semua koran yang diterimanya dari kapal putih diatur menurut urutan waktu yang sesungguhnya kemudian disimpan. Setiap petang, sambil menikmati teh ia menyuruh orang untuk berseru “Pos!” Selembar koran kemudian diberikan padanya seolah-olah itu koran hari itu juga.

Kapal putih Fomalhaut. (Perpusnas RI).

Lain cerita dari Mohammad Hatta yang juga menunggu-nunggu kapal putih pertama sejak ia diasingkan ke Digul. Ia memanfaatkan kapal putih agar dapat mengirimkan tulisannya ke surat kabar di Jawa.

“Dengan kapal putih yang pertama yang kembali dari Digul kukirimkan sebuah karangan tentang Sokrates untuk surat kabar Pemandangan, menurut perjanjian dengan Saeroen, redaktur kepalanya,” kenang Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir.

Baca juga: Aliarcham, Buangan Paling Dihormati

Sementara itu, menurut Rosihan Anwar dalam Mengenang Sjahrir, Sutan Sjahrir yang juga dibuang ke Digul bersama Hatta memanfaatkan kapal putih untuk berkorespondensi dengan istrinya di Belanda.

Beberapa Digulis juga memanfaatkan kapal putih untuk menyelundupkan surat yang isinya dilarang pemerintah. Surat ini biasanya dikirim untuk kawan-kawan politik dan partai-partai politik dengan bantuan kelasi-kelasi kapal.

Namun, pada 1933 hubungan pos gelap mereka diketahui oleh aparat kolonial akibat pengkhianatan oleh sesama kaum buangan. Kepala pamong praja di Tanah Merah menghubungi kapal putih yang baru saja berangkat dari Tanah Merah lalu dilakukan penggeledahan.

Baca juga: Alkisah Foto Jenazah Aliarcham

Pasca kejadian ini, penjagaan di dermaga ketika kapal putih bersandar diperketat. Kaum buangan juga tidak boleh lagi mendekat ke dermaga. Lampu-lampu juga diperbanyak sehingga segala tindakan sembunyi-sembunyi mudah ketahuan.

Meski demikian, beberapa bulan setelah itu mereka berhasil menjalin hubungan lagi. Lewat nelayan-nelayan yang pada malam hari mendekat ke kapal pada bagian yang gelap, surat-surat diserahkan kepada para kelasi. Pesan-pesan rahasia dan bebas sensor akhirnya bisa keluar dari Digul lagi melalui kapal putih yang selalu dinanti.

TAG

boven digul

ARTIKEL TERKAIT

Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan