Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825-1830), para penguasa di seluruh wilayah Jawa Tengah mulai melakukan perbaikan tatanan ekonomi yang sebelumnya sempat terabaikan. Mereka membangun kembali lahan-lahan pertanian dan perkebunan untuk menutupi segala kebutuhan produksi pangan di wilayahnya, baik untuk keperluan konsumsi rakyat maupun bisnis istana.
Sejumlah penguasa berhasil melakukan perbaikan ekonomi dalam waktu singkat, hanya beberapa tahun pasca perang. Namun tidak sedikit penguasa yang memerlukan waktu lebih lama untuk membuat ekonomi kerajannya kembali stabil. Seperti menimpa Praja Mangkunagaran, yang baru memperoleh keamanan ekonomi ketika Mangkunegara IV bertakhta. Ia menjadi penguasa Karang Anyar yang mempelopori sistem perekonomian modern.
“Untuk menopang keuangan praja, ia tidak hanya mengandalkan pajak secara tradisional sebagaimana yang umumnya berlaku di kerajaan Jawa, tetapi mengembangkan perusahaan-perusahaan perkebunan dan industri pengelolaannya untuk menopang perekonomian praja,” ungkap sejarawan Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunagaran 1896-1944.
Baca juga: Bangkit dari Kondisi Keuangan yang Sakit
Bisnis Perkebunan
Setelah menduduki takhta, langkah pertama yang dilakukan Mangkunegara IV adalah mengambil kembali tanah-tanah apanage (tanah lungguh), yang sebelumnya telah disewakan pengelolaannya kepada para pengusaha swasta Eropa. Ia berencana menggunakan tanah itu untuk pembukaan lahan baru bagi perkebunan Mangunagaran, juga pengembangan produksi pertanian yang sudah ada sebelumnya.
Selain tanah yang disewakan kepada pengusaha Eropa, Mangkunegara IV juga melakukan penarikan lahan-lahan yang dimiliki secara pribadi oleh kalangan keluarga raja yang lain. Termasuk para patuh dan anggota Legiun Mangkunagaran. Pada 1871, imbuh Wasino, tanah lungguh yang berhasil diambil alih mencapai 121,25 jung. Itu berasal dari delapan putra Mangkunegara II, dua putra Mangkunegara III, tiga putra Mangkunegara IV, dan seorang saudara dari Mangkunegara IV. Para pemegang tanah itu lalu diberi upah setiap bulan sebagai bagian dari kesepakatan bersama.
Baca juga: Awal Modernisasi Perekonomian Mangkunegaran
Disebutkan Muhammad Iqbal Birsyad, dkk. dalam Bisnis Keluarga Mangkunegaran, bisnis yang dikembangkan Praja Mangkunagaran dari lahan tersebut, di antaranya perkebunan kopi, perkebunan tebu, tanaman padi boga, indigo, karet, teh, kina, tembakau, dan sebagainya. Di antara sekian banyak bisnis yang dijalankan Mangkunegara IV, perkebunan kopi dan perkebunan tebu, menjadi perusahaan yang paling besar menyumbangkan pendapatan bagi praja.
“Tanaman kopi ditanaman secara besar-besaran dengan cara memanfaatkan tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan, penebangan hutan, dan meneruskan tanaman kopi di tanah-tanah yang semula disewakan pada pengusaha bangsa Eropa,” ungkap Iqbal, dkk.
Usaha perkebunan kopi, sebelum menempati lahan pembebasan Mangkunegara IV, ditanam di lahan-lahan pedesaan yang dikenal dengan nama pagerkoffie atau pakopen. Bisnis kopi sendiri sudah dijalankan Praja Mangkunegaran jauh sebelum Mangkunegara IV bertakhta. Keberadaan komoditi ini telah lebih dulu menjadi tumpuan ekonomi praja sebelum munculnya pabrik gula.
Baca juga: Pembaruan di Mangkunegaran
Menurut sejarawan Sri Margana dalam “Kapitalisme Pribumi dan Sistem Agraria Tradisional: Perkebunan Kopi di Mangkunegaran 1853-1881”, dimuat Lembaran Sejarah Vol. 1, peningkatan jumlah produksi kopi di Mangkunagaran terjadi setelah Mangkunegara IV berkuasa. Semula dari 1.208 kwintal produksi pada 1842, meningkat menjadi 11.145 kwintal pada 1857. Bahkan setelah dikuasainya tanah lungguh, Praja Mangkunegaran berhasil meningkatkan jumlah produksi secara signifikan. Terlebih dengan dibukanya lahan perkebunan kopi di 24 wilayah di seluruh praja.
“Penanaman kopi di 24 wilayah di Mangkunegaran ditangani secara serius, dengan mendatangkan administratur kopi dari Eropa, Rudolf Kampf untuk mengorganisir penanaman kopi,” tulis Devi Mardiati dalam Perkebunan Kopi Mangkunagaran dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Wonogiri pada masa Mangkunegara IV.
Industri Gula
Selain perkebunan kopi, sebagai sektor utama dalam bisnisnya, Praja Mangkunagaran di bawah titah Mangkunegara IV juga mengembangkan komoditi lain yang tidak kalah berpengaruh terhadap perekonomian praja yakni perkebunan tebu. Dalam perkembangan selanjutnya perkebunan tebu itu berhasil mendirikan dua pabrik gula raksasa di Karang Anyar. Bahkan tercatat dalam buku Jalur Gula Kembang Peradaban Kota Lama Semarang, terbitan Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan World Heritage Camp Indonesia, pada kurun 1868-1878 bisnis kopi dan gula di Mangkunagaran berhasil meningkatkan keseluruhan produksi kedua komoditas tersebut di Jawa: kopi sebesar 52.000 ton pertahun; dan gula sebesar 207.000 ton pertahun.
Dikisahkan Wasino, dalam acara Serial Seminar Nasional Sejarah “The Mangkunegara Sugar Industry and Road Infrastructure in The Surakarta Residency”, Jumat (19/02/2021), pabrik gula milik Praja Mangkunagaran ada dua. Masing-masing bernama Colomadu dan Tasikmadu, yang didirikan pada 1861 dan 1871.
Baca juga: Industri Gula Praja Mangkunagaran
Dalam tulisannya di Humaniora Vol. 17, No. 1 tahun 2005, “Mangkunegara IV, Raja-Pengusaha, Pendiri Industri Gula Mangkunagaran (1861-1881)”, staf pengajar di Universitas Negeri Semarang itu menyebut biaya yang dihabiskan dalam pembangunan pabrik yang pertama mencapai f 400.000, berasal dari pinjaman hasil keuntungan perkebunan kopi Mangkunagaran dan bantuan dari seorang Mayor Cina di Semarang bernama Be Biauw Tjwan, teman dekat Mangkunegara IV.
”Keinginan untuk mendirikan industri gula Mangkunegaran berawal dari kunjungannya ke tempat putra menantunya di Demak yang ketika itu menjabat adipati di wilayah itu. Ia mengamati bahwa pohon tebu ternyata dapat tumbuh di wilayah tempat tumbuhnya pohon kelapa yang biasa digunakan sebagai bahan dasar industri gula Jawa. Di wilayah Mangkunegaran juga terdapat lahan seperti itu yang dapat digunakan untuk perkebunan tebu,” kata Wasino.
Karena Colomadu merupakan perusahaan pribadi, pegelolaan kebun berada di bawah kontrol langsung Mangkunegara IV. Namun pengawasan sehari-hari dilakukan seorang administratur, yang untuk pertama kalinya dipercayakan kepada R. Kamp. Berdasar arsip Praja Mangkunagaran, panen perdana pabrik Colomadu tahun 1862 mampu menghasilkan sebanyak 6000 pikul gula dari 135 bahu sawah yang ditanami tebu. Produksi itu menyamai rata-rata produksi gula per pikul di seluruh Jawa pada 1870. Hasilnya pun ketika itu tidak hanya untuk konsumsi lokal saja, tetapi sudah bisa dijual hingga ke Singapura dan Maluku.
Baca juga: Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran
Keberhasilan pabrik gula Colomadu mendorong Mangkunegara IV membangun pabrik keduanya, yakni PG Tasik Madu. Dikisahkan dalam Jalur Gula: Kembang Peradaban Kota Lama Semarang, terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama World Heritage Camp Indonesia, pabrik itu didirikan pada 1871. Lokasinya berada di Distrik Karang Anyar, sebelah barat lereng Gunung Lawu.
Mulanya sistem produksi di Tasikmadu tidak teratur. Sebagian besar kegiatan produksi gula dilakukan tatkala perkebunan kopi mengalami penurunan keuntungan. Akan tetapi sejak ditandatanganinya kontrak dengan NHM (Nederland Handels Matschappij) di Semarang, produksi gula di Tasikmadu dilakukan secara teratur. Suntikan dana dari kamar dagang pemerintah Belanda itu membuat pabrik mengalami peningkatan jumlah produksi dan pemasaran.
Tiap tahun jumlah permintaan gula dari kedua pabrik kian meningkat. Sejalan dengan itu, Praja Mangkunegaran juga segera melakukan perluasan lahan untuk tanaman tebu. Tidak hanya di distrik Karang Anyar, tetapi meluas ke wilayah lain. Selain itu, Praja Mangkunegaran pun dengan cepat membangun akses transportasi, utamanya jalur kereta api, guna memperlancar dan memperluas proses penyaluran hasil produksi.
Baca juga: Jembatan Perlawanan Mangkunegaran
Warisan yang dibangun Mangkunegara IV semasa jayanya ternyata tidak bertahan lama. Setelah ia wafat, kondisi keuangan di Praja Mangkunagaran menjadi carut-marut hingga mecapai tingkat defisit. Keadaan tersebut membuat Praja Mangkunagaran mulai menumpuk utang kepada pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, praja tidak sanggup lagi mengelola keuangannya, sampai-sampai Residen Surakarta mengambil alih dengan memberi bantuan superintendent.
“Kehancuran keungan Praja Mangkunagaran itu, di samping karena faktor resesi ekonomi dunia, juga akibat rusaknya tanaman kopi dan tebu milik Mangkunagaran karena diserang hama. Selain itu, juga akibat kesalahan manajemen keuangan praja dari Sri Mangkunegara V sendiri, yakni masih besarnya pengeluaran keuangan praja seperti ketika Mangkunegara IV berkuasa,” tulis Wasino.
Kondisi keuangan mulai membaik setelah Mangkunegara VI naik takhta. Kebijakannya soal aturan pendapatan istana, yang memisahkan antara keuangan negara dan keuangan pribadi, berhasil menyelamatkan ekonomi Mangkunagaran. Lewat pranatan tanggal 4 Maret 1911, ia mengatur bahwa uang yang diperoleh dari laba perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, pendapatan sewa tanah dan sejenisnya, harus dikelola langsung pejabat praja, serta digunakan semata untuk kepentingan Praja Mangkunagaran.