Masuk Daftar
My Getplus

Bangkit dari Kondisi Keuangan yang Sakit

Diwarisi kondisi keuangan yang sakit ketika naik takhta, Mangkunegara VI berhasil membalikkan keadaan lewat berbagai kebijakan modern.

Oleh: M.F. Mukthi | 19 Apr 2019
Pendopo Ageng Mangkunegaran (MF. Mukthi/Historia)

HEMBUSAN angin menambah kenyamanan di Pendopo Ageng, Pura Mangkunegaran siang (18 Maret 2019) itu. Tingginya langit-langit dan luasnya bangunan membuat terik kota Solo tak masuk ke dalamnya.

Kendati berasitektur Jawa, banyak ornamen di Pendopo Ageng merupakan ornamen khas Eropa. Selain patung singa berwarna emas yang didatangkan dari Jerman, ada sederetan lampu gantung antik. “Ini dulunya belum pakai listrik,” kata Doni Irawan, tour guide, kepada Historia.

Pendopo Ageng dan isinya menambah panjang deretan benda bersejarah yang mengiringi perjalanan sejarah Mangkunegaran sejak didirikan oleh RM Said pada abad ke-18. Seiring perjalanan waktu, kerajaan berstatus kadipaten itu terus berkembang. Perkembangan penting berlangsung sejak modernisasi ekonomi digulirkan Mangkunegara IV.

Advertising
Advertising

“Awal mula berdirinya Mangkunegaran itu hanya (ada, red.) Dalem Ageng, tempat museum itu,” ujar Supriyanto, dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran, kepada Historia.

 

Bangkit

Warisan kekayaan yang ditinggalkan Mangkunegara IV ternyata tak bertahan lama. “Kehancuran keuangan Praja Mangkunegaran itu, di samping karena faktor resesi ekonomi dunia, juga akibat rusaknya tanaman kopi dan tebu milik Mangkunegaran karena diserang hama. Selain itu, juga akibat kesalahan manajemen keuangan praja dari Sri Mangkunegara V sendiri, yakni masih besarnya pengeluaran keuangan praja seperti ketika Mangkunegara IV berkuasa,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944.

“Keuangan Praja Mangkunegaran menjadi sangat kacau dan mencapai tingkat defisit, hingga terlihat banyak utang kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan, pengelolaan keuangan praja diambil alih oleh Residen Surakarta dengan bantuan superintendent.

Menghadapi keadaan carut-marut itu, Mangkunegara VI langsung mengeluarkan kebijakan pembaruan begitu naik takhta. Langkah pertama yang diambilnya, memisahkan keuangan negara dengan keuangan pribadi dan keluarga. Lewat pranatan tanggal 4 Maret 1911, dia mengatur bahwa uang yang diperoleh dari laba perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, dan harta milik lain yang akan diurus tersendiri dari sewa tanah, dan semua penerimaan sejenis, termasuk bunga dari modal yang didepositokan, dikelola langsung serta digunakan semata untuk kepentingan praja.

Baca juga: Awal Modernisasi Perekonomian Mangkunegaran

Untuk keperluan itu, Mangkunegaran membentuk Kas Praja. Badan yang dikepalai patih Mangkunegaran dan diawasi superintendent ini menjadi pintu keluar-masuk seluruh keuangan Mangkunegaran. Untuk mengawasinya, sesuai tuntutan pemerintah, Mangkunegaran membuat anggaran penerimaan dan pengeluaran tahunan yang terlebih dulu disetujui Residen Surakarta.

Langkah pembaruan kedua yang diambil Mangkunegara VI adalah penghematan dan efisiensi penggunaan aset praja. Penghematan itu antara lain berupa pemotongan papanci (uang jatah/semacam gaji tetap). Berdasarkan kebijakan yang dibuatnya itu, Mangkunegara VI hanya menerima papanci sebesar f3000, lebih sedikit dibanding pendahulunya yang menerima f5000. Mangkunegara VI juga menghapus sejumlah tunjangan di luar papanci (uang jatah) yang diterima para anggota keluarga raja.

Bukan hanya itu, Mengkunegara VI juga menyederhanakan atau mengurangi berbagai upacara –semisal upacara inaugurasi– dan pesta yang dianggap pemborosan, atau pertunjukan seni. Pementasan wayang untuk memperingati hari lahir raja yang berkuasa, misalnya. Pertunjukan itu biasanya berlangsung semalam suntuk. Namun demi penghematan dan menjaga kondisi kesehatan para pegawai keraton, Mangkunegara VI mengubahnya jadi hanya empat jam, pukul 20.00-24.00.

Sementara, wayang orang hanya boleh dipertunjukkan dalam bentuk fragmen. Wayang kulit hanya diperbolehkan dipentaskan pada peristiwa-peristiwa besar. Klenengan yang merupakan kebiasaan di Mangkunegaran, hanya diadakan setiap Jumat.

Sejalan dengan itu, reorganisasi dan rasionalisasi juga digulirkan. Jumlah pegawai yang dinilai kurang fungsional dikurangi, dan pegawai yang kurang cakap diganti dengan yang lebih kompeten. Di bidang militer, Mangkunegara VI merombak Legiun Mangkunegaran dengan penghapusan pasukan artileri dan pengurangan jumlah personil pasukan kavaleri.

“Kebijakan penghematan dan efisiensi seperti terurai di atas merupakan gejala baru dalam budaya politik Jawa, sebab dalam banyak kasus justru seorang raja itu ingin menunjukkan kebesarannya di hadapan rakyatnya,” tulis Wasino.

Baca juga: Jembatan Perlawanan Mangkunegaran

Akibat pembaruan yang dilakukan Mangkunegara VI, banyak pihak yang tidak siap merasa tertekan dan kecewa atau merasa jadi korban. Dari kalangan keluarga raja Mangkunegara V, jumlahnya tidak sedikit. Mereka itulah yang kemudian berupaya menumbangkan sang raja dengan cara mengadukan kepada pemerintah Hindia Belanda bahwa RM Soejono bukan anak sah Mangkunegara V. Alasan mereka, Soejono lahir sebelum ibunya menjadi istri resmi Mangkunegara V. “Pemerintah Belanda pun termakan hasutan ini sehingga tidak mau mengakui,” tulis Wasino.

Mangkunegara VI pun malu dan mengundurkan diri. Namun, dia telah mewariskan beberapa fondasi penting di samping kekayaan sebesar f10 juta kepada praja dan mengembalikan kondisi keuangan praja menjadi sehat.

TAG

Mangkunegaran

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal dari Keraton 8 Desember 1861: Manisnya Riwayat Pabrik Gula Tjolomadoe Reformis Itu Bernama Mangkunegara VI Pendidikan, Fondasi Kemajuan Mangkunegaran Belanda Mabuk Pembaruan di Mangkunegaran Awal Modernisasi Perekonomian Mangkunegaran Laku Pandita Seorang Raja Jawa Jembatan Perlawanan Mangkunegaran Secuil Kiprah Politik-Budaya Seorang Raja Jawa