JEMAAH dari berbagai wilayah di Indonesia telah berangkat menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Keberangkatan jemaah haji tahun ini dibagi dua gelombang. Gelombang pertama berakhir pada 16 Juni 2023, sementara gelombang kedua mulai berangkat tanggal 7 hingga 22 Juni 2023.
Ibadah haji menjadi cita-cita bagi umat muslim di Nusantara sejak masa lampau. M. Dien Majid menulis dalam Berhaji di Masa Kolonial, pada akhir abad ke-19 dan awal abad 20, jemaah haji dari berbagai wilayah di Nusantara berjumlah lebih dari 40 persen dari seluruh jemaah haji dari berbagai negara di dunia. Besarnya minat umat muslim Nusantara menunaikan ibadah haji menjadi sorotan pemerintah kolonial Belanda, yang khawatir dapat mengganggu status quo mereka sebagai penguasa di wilayah koloninya.
Oleh karena itu, pemerintah kolonial menyusun sejumlah peraturan terkait pelaksanaan ibadah haji. Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, termuat dalam Outward Appearances yang disusun oleh Henk Schulte Nordholt dan M. Imam Aziz, menyebut pada pertengahan abad ke-19 pihak Belanda sempat mempertimbangkan kemungkinan melarang penggunaan titel haji dan mencegah orang-orang yang telah melakukan perjalanan ke Tanah Suci memakai pakaian-pakaian khusus, yang dideskripsikan sebagai “kostum Muhammad dan turban”.
Baca juga: Mula Haji Nusantara
Namun, Konsul Hindia justru memutuskan sebaliknya. “Karena tidak mampu melarang para haji memakai gelar dan pakaian Arab mereka, administrasi kolonial mengembangkan undang-undang untuk memastikan setidaknya semua orang yang menyebut diri mereka haji (dan yang berpakaian dengan gaya tersebut) memang benar-benar telah melakukan perjalanan ke Tanah Suci,” tulis Van Dijk. Dengan demikian, umat muslim tidak bisa “menyebut diri mereka sendiri dengan nama haji dan mengadopsi kostumnya tanpa pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci”.
Berdasarkan peraturan yang tertuang dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indie 1859 nomor 42 tersebut, orang-orang yang kembali dari perjalanan haji harus mengikuti semacam ujian yang diadakan pihak bupati maupun kepala wilayah dengan status yang setara, dan dibantu satu atau lebih haji yang memiliki nama baik, untuk mengetahui apakah orang-orang tersebut benar-benar pergi ke Makkah. Apabila orang-orang itu dinyatakan lulus ujian, maka mereka akan menerima sertifikat dan diizinkan berpakaian layaknya seorang haji.
Baca juga: Resolusi Membatasi Haji
Sementara itu, menurut Dien Majid, bila orang yang mengikuti ujian tersebut tak dapat membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, maka ia tidak berhak mendapatkan sertifikat dan tidak diizinkan untuk berpakaian layaknya seorang haji. Tak hanya itu, orang itu juga terancam hukuman denda mulai dari f.25 hingga f. 100 untuk tiap-tiap pelanggaran.
Peraturan terkait pelaksanaan ibadah haji yang disusun oleh pemerintah kolonial tak hanya mengatur tentang ujian haji, tetapi juga mewajibkan orang-orang yang baru kembali dari Tanah Suci untuk melapor kepada penguasa setempat saat pertama kali tiba untuk mendapat tanda pas jalan, yang berlaku untuk perjalanan selanjutnya menuju tempat yang telah ditentukan. Agar kebijakan ini diketahui khalayak, peraturan yang tertuang dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indie 1859 nomor 42 itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Cina.
Seiring berjalannya waktu, peraturan terkait pelaksanaan haji, tak terkecuali kewajiban mengikuti ujian haji, menuai sorotan dari sejumlah pihak, salah satunya Snouck Hurgronje. Menurut E. Gobée dan C. Adriaanse dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936, Snouck mengutarakan kritik terhadap peraturan ibadah haji yang disusun pemerintah kolonial pada 1859 kepada gubenur jenderal. Ia menganggap pemeriksaan dan pemberian ijazah haji tidak perlu, terlebih setiap ujian haji dapat ditempuh dengan hasil baik oleh orang yang bukan haji, sementara haji yang agak pandir hanya akan lulus dengan susah payah.
Baca juga: Agen dan Calo Haji
Selain itu, Snouck juga menyebut kebiasaan menggunakan pakaian haji oleh orang yang belum menunaikan ibadah haji bukan tindak pidana. “Pertama, pakaian haji sulit sekali didefinisikan; dan setelah dianalisis, tidak ada yang tinggal kecuali serbannya. Namun, tutup kepala ini sejak zaman dahulu dikenakan, selain oleh para haji, oleh para pejabat pribumi dalam ibadah dua hari raya, dan juga oleh banyak penghulu yang masih berfungsi, meskipun mereka itu bukan haji. Serban juga dipakai oleh orang Arab Hadramaut yang kebanyakan belum menjalankan ibadah haji,” ungkapnya. Oleh karena itu, Snouck menilai bahwa pemakaian “tutup kepala Arab” terkadang dipandang oleh masyarakat setempat sebagai bagian dari suatu adat.
Terkait penggunaan gelar haji, Wim van den Doel dalam Snouck: Biografi Ilmuwan Christiaan Snouck Hurgronje menulis bahwa ilmuwan dan orientalis berkebangsaan Belanda itu beranggapan pemerintah kolonial-lah yang tanpa disadari justu memberi cap kehormatan pada gelar haji. Menurut Snouck, nilai gelar dari kata haji sebagian besar disebabkan oleh kekhawatiran yang salah dari pihak kolonial, dengan begitu pemerintah malah melindungi gelar itu dan membela penyalahgunaannya. Dengan demikian, Snouck tak hanya mendorong dihapusnya kebijakan ujian haji, ia juga menyimpulkan bahwa menempatkan gelar dan pakaian haji di luar hukum merupakan satu-satunya langkah rasional yang dapat diambil oleh pemerintah kolonial hingga kemudian kebijakan itu pun dihapus pada tahun 1902.*