Mula Sekolah Mengemudi di Zaman Kolonial Belanda
Pembukaan sekolah mengemudi didorong oleh meningkatnya permintaan akan pengemudi mobil di Hindia Belanda. Selain pelatihan mengemudi, para peserta juga belajar mengenai perawatan dan perbaikan kendaraan.
PADA awal abad ke-20, seiring banyaknya kendaraan di Hindia Belanda, upaya menyusun peraturan mengenai tata cara berkendara, penggunaan tanda nomor kendaraan, hingga surat izin mengemudi atau rijbewijs mulai menjadi perhatian berbagai pihak. Selain itu, sekolah pelatihan mengemudi juga mulai muncul mengingat banyak kecelakaan di jalanan yang melibatkan pengemudi.
Usulan mendirikan sekolah mengemudi muncul di surat kabar De Express, 27 Juni 1914. Dalam surat terbuka kepada Java Motor Club, beberapa warga Bandung mengusulkan agar segera dibuka sekolah pelatihan bagi pengemudi.
“Permintaan akan pengemudi biasanya melebihi pasokan, yang menyebabkan berbagai pelanggaran. Akibatnya, demi mendapatkan pekerjaan dan gaji yang relatif tinggi, banyak orang yang seringkali tidak dapat diandalkan menyamar sebagai pengemudi. […] Oleh karena itu, diperlukan kesempatan yang sesuai untuk melatih pengemudi, yang juga akan meningkatkan pasokan akan permintaan yang tinggi,” tulis De Express.
Baca juga:
Selain karena tingginya permintaan terhadap pengemudi, usulan pendirian sekolah mengemudi juga didasarkan pada kondisi banyak pemilik mobil yang belum mampu mengendarai kendaraannya dengan baik. Kebanyakan dari mereka belajar mengemudi dan mempelajari mesin untuk kebutuhan perawatan secara mandiri. Berdasarkan hal ini, sekolah mengemudi diharapkan dapat memberikan pelatihan bagi dua jenis pengemudi, yakni pengemudi biasa dan pengemudi yang juga menguasai mesin kendaraan untuk kebutuhan perawatan dan perbaikan berkala.
Kendati dibedakan menjadi dua peserta, para pengemudi biasa juga akan diajari cara memasang ban, cara memperbaiki kerusakan umum yang tidak perlu pembongkaran, dan cara merawat serta memperbarui suku cadang (seperti membersihkan busi, mengganti pegas katup, membersihkan saluran bahan bakar generator asetilena dan lentera, serta pompa oli dan air).
“Tetapi yang tak kalah pentingnya adalah pengetahuan yang menyeluruh tentang peraturan jalan raya dan secara umum tentang semua tindakan keselamatan yang telah ditetapkan,” tulis De Express.
Pelatihan bagi pengemudi biasa berlangsung selama enam minggu. Di akhir kursus diadakan ujian dan yang lolos tes akan mendapatkan sertifikat atau ijazah diploma (A). Sementara itu, pelatihan bagi pengemudi kelompok kedua berlangsung sekitar dua bulan. Selain belajar mengenai peraturan dan tata cara berkendara dengan baik serta pengetahuan dasar mengenai komponen-komponen kendaraan, para peserta juga mempelajari pengetahuan lengkap tentang mesin empat silinder, cara membongkar mesin, membersihkan silinder dan katup, membongkar serta menyetel magneto dengan benar, serta cara melakukan perbaikan kecil yang memerlukan pembongkaran.
Di akhir pelatihan peserta juga akan menjalani ujian. Jika berhasil, mereka akan mendapatkan ijazah diploma (B). Mengingat pelatihannya lebih kompleks dari pengemudi biasa, pengemudi berijazah B berhak mendapatkan gaji lebih tinggi dari pengemudi berijazah A.
Baca juga:
Soal biaya pelatihan, para pengusul menawarkan harga mulai dari 25 gulden untuk penduduk lokal, 50 gulden untuk orang Eropa, dan 35 gulden untuk bawahan orang Eropa (non-Eropa) yang ingin mengikuti pelatihan pengemudi biasa. Sementara pelatihan untuk kelompok kedua biaya masing-masing sebesar 30 gulden, 60 gulden, dan 40 gulden. Biaya operasional yang cukup besar untuk menjalankan sekolah mengemudi membuat para pengusul meminta bantuan dana berupa subsidi bulanan kepada Java Motorcycle Club.
“Hasil yang diperoleh dari sekolah mengemudi ini akan menjadi dasar bagi pendirian sekolah-sekolah serupa lainnya, yang juga akan diperlukan di tempat-tempat lain di masa depan,” tulis De Express.
Wacana pembukaan sekolah mengemudi telah muncul di Sumatra pada 1913. Dalam De Sumatra Post, 27 Januari 1913 dilaporkan, meningkatnya kebutuhan akan pengemudi domestik membuat Algemeene Vereniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (AVROS) atau Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatra tergerak untuk mendirikan sekolah mengemudi. Para pengemudi akan direkrut dari kuli kontrak perusahaan-perusahaan yang telah setuju untuk berpartisipasi. Di sekolah itu, mereka akan dilatih tata cara berkendara dengan baik, memasang ban, dan memperbaiki kerusakan kecil yang terjadi di jalan. Pelatihan itu direncanakan akan diberikan selama kurang lebih tiga bulan dan selama proses tersebut para peserta diharapkan telah mampu menguasai berbagai ilmu yang diajarkan.
“Selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan pengemudi domestik, mereka yang dilatih di sekolah ini juga akan menjadi pekerja yang berguna di pabrik-pabrik karet. Sekolah ini mungkin dapat dianggap sebagai awal dari sekolah kejuruan di kemudian hari,” tulis De Sumatra Post.
Baca juga:
Memasuki tahun 1930-an, sekolah mengemudi tak lagi sekadar wacana. Mengutip Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 23 Juli 1932, sebuah sekolah kejuruan telah dibuka di Bandung. Dengan biaya sekolah sebesar 5 gulden per bulan, para pemuda akan dilatih menjadi montir dan pengemudi mobil. Pelajaran praktik diberikan pagi hari dari jam 7 pagi hingga 1 siang, sementara teori diajarkan sore hari antara jam 5 dan 7 malam pada hari-hari tertentu dalam seminggu. Tak hanya dilatih untuk menjadi seorang mekanik dan pengemudi yang andal, di sekolah yang didirikan oleh Indo-Europeesch Verbond (IEV) atau Perhimpunan Indo-Eropa itu siswa juga dilatih untuk menjadi pedagang.
Tak hanya di Bandung, sekolah mengemudi juga didirikan di Batavia. Bataviaasch Nieuwsblad, 16 Juni 1933 melaporkan, sekolah yang ditujukan bagi penduduk lokal di Kampung Jawa, Batavia, itu merupakan sekolah kejuruan yang terdiri dari tiga jurusan, yakni pertukangan kayu, pertukangan logam, serta montir dan pengemudi mobil. Mulanya masa pelatihan untuk setiap jurusan selama tiga tahun, tetapi kemudian dipangkas menjadi dua tahun imbas pemotongan anggaran. Meski begitu, mereka yang telah selesai mengikuti pelatihan selama dua tahun masih dapat melanjutkan studi. Tukang kayu, misalnya, bisa mengikuti kelas pertukangan, dan tukang logam bisa mengikuti sekolah montir.
Biaya pendidikan di sekolah ini tergolong rendah. Orang tua dengan penghasilan 20 gulden akan dibebankan biaya 75 sen. Sementara orang tua berpenghasilan 20 hingga 40 gulden diharuskan membayar satu gulden. Sedangkan orang tua berpenghasilan di atas 40 gulden, biaya sekolah yang dibebankan 1 gulden 25 sen. Kehadiran sekolah ini dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran di kalangan penduduk lokal. Sebab, setelah lulus sekolah mereka dapat mencari pekerjaan sesuai dengan keterampilan yang didapatkannya selama menjalani pelatihan di sekolah tersebut.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar