Setelah Pulang Sekolah
Polisi berkunjung ke sekolah untuk mengimbau pelajar agar tidak tawuran. Yang dapat mengakhiri tawuran pelajar itu sendiri.
Penabur trending topic setelah akun Dea Dwi Nugraha @deangrh_ (24/5) mengunggah video TikTok akun @smakabj tentang sosialisasi Polsek Pondok Aren di SMAK Penabur Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. Pak polisi meminta agar para siswa “tidak tawuran, tidak balap liar, tidak narkoba, dan bijak bermedsos”.
Dua pesan terakhir masih masuk, tetapi dua pesan pertama dianggap oleh warganet “salah market” karena pelajar Penabur biasanya pergi les setelah pulang sekolah. Sehingga tidak ada waktu untuk tawuran dan balap liar.
Kunjungan polisi dari Polsek Pondok Aren ke SMAK Penabur Bintaro Jaya itu merupakan program police goes to school.
Tawuran pelajar terus terjadi sehingga menjadi perhatian polisi. Belum lama ini, pada 28 Maret 2022, seorang siswa MTS Negeri 6 Tangerang tewas di Tanjung Pasir, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Tiga orang pelaku ditetapkan sebagai tersangka. “Ini pola lama. Kerap kali terjadi pada saat mereka konvoi-konvoi, berkumpul, bertemu dengan kelompok lain, saling ejek, maka terjadi tawuran,” kata Komisaris Besar Komarudin, Kapolres Metro Tangerang Kota, dikutip kompas.com.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Fadil Imran juga menyoroti masalah tawuran pelajar ketika memimpin pelantikan 28 Kapolsek baru pada 24 Mei 2022. Dia meminta kepada para Kapolsek untuk mencari cara baru dalam mengatasi tawuran karena penjara tidak menyelesaikan masalah. “Lanjutkan program Ada Polisi, police goes to school, Kampung Tangguh Jaya, dan segala tindakan-tindakan kepolisian yang bersifat partisipatif,” kata Fadil dikutip jpnn.com.
Saluran Remaja
Kees van Dijk, sejarawan Universitas Leiden, Belanda, menerangkan bahwa perkelahian antarpelajar dapat berlangsung bertahun-tahun karena saat memulai tahun pertama sekolah, para pelajar baru diberi tahu oleh seniornya mana saja sekolah yang menjadi musuh mereka.
“Permusuhan ini menjadi dendam warisan. Kadang-kadang mengakibatkan dua atau tiga perkelahian dalam satu minggu. Beberapa pelajar yang terlibat dalam keributan seperti ini menganggapnya, semacam olahraga, suatu latihan fisik,” tulis Van Dijk dalam Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965–1998.
Baca juga: Acara Anak Jalanan di Gelanggang Ramaja
Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta (1966–1977), menyadari pentingnya membina para remaja. Dia membangun gelanggang-gelanggang remaja sebagai saluran, wadah, dan tempat para remaja menggunakan waktu senggangnya untuk tujuan baik.
“Daripada luntang-lantung di jalan, saling menggoda, saling mengganggu, lebih baik saya salurkan para remaja itu kepada sesuatu yang positif. Saya lihat tempat-tempat itu penuh dengan kaum remaja yang mempergunakannya dengan berbagai kegiatan,” kata Ali Sadikin dalam memoarnya Bang Ali, Demi Jakarta 1966–1977.
Operasi Khusus
Selain menyediakan tempat untuk kegiatan para remaja, pemerintah daerah juga mengadakan operasi khusus. Badan Pembina Ketahanan Sekolah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk pada Juli 1986. Badan ini mengidentifikasi bahwa kehadiran warung dan kios kaki lima di dekat sekolah menyumbang dalam masalah tawuran.
Anak-anak sekolah menyembunyikan senjata-senjata mereka di warung dan kios kaki lima. Sementara pemilik warung terkesan takut kepada pelajar. Oleh karena itu, pada akhir 1987 dan Januari 1988 sebanyak 45 kios kaki lima dihancurkan dan 40 kios kaki lima “ditertibkan” dengan kata lain diusir.
Van Dijk mencatat, Operasi Wijaya Kusuma dilancarkan pada pertengahan Oktober 1992. Operasi khusus ini dirancang dengan cara yang sama seperti razia untuk membersihkan kota. Hampir 6.000 pelajar ditahan, dan sekitar 1.200 senjata tajam dan tumpul disita, demikian pula ribuan batu.
Baca juga: Sekolah Masa Revolusi
Operasi Kilat Jaya dilakukan selama tiga hari pada April 1996. Pelajar-pelajar di Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi yang berkumpul di pusat perbelanjaan, tempat pemberhentian bus, tempat bilyar, pusat ding-dong, dan tempat serupa lainnya selama jam sekolah, menjadi sasaran operasi polisi ini. Sebanyak 800 pelajar ditahan, 300 hingga 400 di antaranya membawa senjata tajam, pornografi, atau obat-obat terlarang.
“Salah satu tujuan dari Operasi Wijaya Kusuma ini adalah untuk menahan semakin besarnya gelombang perkelahian pelajar,” tulis Van Dijk.
Pesantren Kilat
Presiden Soeharto menilai tingginya kekerasan antarpelajar karena kemerosotan moral. Selain tindakan tegas terhadap pelaku tawuran, Soeharto juga mencanangkan pesantren kilat (sanlat) pada 14 Juni 1996. Pelajar-pelajar dari sekolah dasar sampai sekolah menengah yang libur pada bulan puasa Ramadan harus mengikuti sanlat selama 10–15 hari.
Soeharto menjelaskan, sanlat merupakan senjata yang sangat penting dalam upaya untuk membasmi kemerosotan moral, karena tidak semua orang tua mempunyai waktu untuk mengajarkan tentang moral kepada anak-anak mereka di rumah.
Baca juga: Alasan Libur Puasa Anak Sekolah Ditiadakan
“Permintaan Soeharto muncul setelah terjadi perkelahian antara mahasiswa Universitas Trisakti dan pelajar sekolah menengah yang letaknya tidak terlalu jauh dari universitas tersebut,” catat Van Dijk.
Pada akhirnya, operasi khusus, pesantren kilat, dan pembinaan pelajar lainnya hanyalah ikhtiar untuk mencegah tawuran. Yang dapat mengakhiri tawuran adalah pelajar itu sendiri. Seperti nasihat Ali Sadikin: “Orang-orang tua bolehlah memberikan bimbingan dan dorongan atau bantuan seperti halnya pemerintah daerah Jakarta. Tetapi, remaja diselamatkan oleh remaja sendiri. Itu amat penting.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar