Mengukur Sejarah Tukang Cukur
Awalnya orang mencukur rambut karena sedang bersedih. Kemudian menjadi kebutuhan untuk hidup rapi di kota. Muncullah profesi tukang cukur.
SEBUAH foto hitam putih dari dekade 1910-an. Seorang lelaki tua berdiri di bawah pohon rindang tepi jalan. Peci di kepala dan gunting di tangan kanan. Tangan kirinya memegang kepala lelaki muda berkumis yang duduk di kursi kayu sambil menyilangkan kaki. Kedua lelaki itu tak memakai alas kaki. Perkakas cukur tampak di meja dan tergantung pada pohon.
Begitulah gambaran tukang cukur dan pelanggannya di Batavia dalam buku Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 karya Scott Merrilless. Tapi Scott tak banyak menjelaskan kegiatan dan jasa cukur rambut. Sesuatu yang agaknya baru lazim bagi orang-orang tempatan di Hindia Belanda setelah mereka mempraktikkan agama Islam dan berkontak dengan orang-orang dari negeri Barat.
Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, mencatat rambut sebagai sesuatu yang suci bagi kebanyakan orang Asia Tenggara. Mereka percaya rambut menyimpan kekuatan. “Oleh sebab itu pola yang berlaku hingga Kurun Niaga tampaknya ialah didorongnya pria dan wanita untuk menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin,” ungkap Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Jika orang Asia Tenggara mencukur rambut, itu berarti dia sedang bersedih atas suatu peristiwa. Di Aceh dan negeri-negeri Melayu, para kawula laki dan perempuan mencukur rambut ketika sultan mereka mangkat.
Mencukur rambut bisa pula wujud praktik keberagamaan orang Asia Tenggara. “Pemotongan rambut pria jelas merupakan pertanda yang penting dari kepatuhan pada Islam,” lanjut Reid. Misalnya dalam praktik haji. Ada masanya orang muslim yang naik haji harus mencukur rambutnya, atau ber-tahallul.
Sementara itu di Jawa, Pangeran Diponegoro menganjurkan para pengikutnya untuk mencukur rambut menjadi lebih pendek agar bisa membedakan diri dari orang-orang Jawa yang “murtad” ke Belanda.
Baca juga: Nazar Cukur Gundul dalam Sejarah
Orang-orang dari negeri Barat turut mengubah konsep lawas orang Asia Tenggara terhadap rambut. Revolusi industri abad ke-18 telah memunculkan kelas pekerja di Eropa. Para buruh pabrik tak boleh berambut panjang sebab identik dengan gelandangan dan kaum kriminal.
Para orang kaya Eropa mencitrakan diri sebagai sosok terhomat melalui potongan rambut pendek. Lelaki terhormat tidak lagi berambut panjang seperti perempuan. Pemakaian wig panjang pada lelaki dewasa juga mulai ketinggalan zaman. Karuan mencukur rambut jadi kebutuhan. Karena tidak tiap orang bisa mencukur rambut, maka menjelmalah ia jadi profesi dan bisnis.
Bersamaan itu, barber shop atau salon rambut perlahan pisah dari segala macam praktik medis. Sebelumnya, para pencukur rambut merangkap pula sebagai pembedah pasien operasi medis. Di barber shop inilah orang Eropa datang secara khusus untuk mencukur rambutnya, membuat diri mereka kelihatan rapi.
Baca juga: Gaya Rambut Sapu
Cara orang Eropa memandang dan merawat rambut terbawa ke negeri-negeri jajahan mereka. Di Hindia Belanda, sebagian mereka membuka usaha cukur rambut untuk melayani pejabat Belanda dan orang Eropa.
Para pencukur rambut ialah orang-orang terampil. Mereka melewati serangkaian pelatihan mendandani rambut dan selingkarnya (jambang, kumis, dan jenggot). Mereka biasa bekerja di salon rambut yang terdapat di hotel-hotel.
“Barber shop di Grand Hotel Java. Tiga pekerjanya berpakaian ala tukang cukur Eropa sedang melayani pelanggan berkebangsaan Eropa. Seorang penduduk tempatan, berada di sudut kiri, bekerja membantu mereka,” demikian Scott Merrillees menjelaskan sebuah foto bersuasana barber shop di Grand Hotel Java, Batavia, pada 1910-an. Barber shop di hotel memasang harga layanan mahal. Tak banyak orang bisa membayarnya.
Baca juga: Kutu Subversif dalam Rambut Gondrong
Orang-orang berkantong tipis akan pergi ke deretan pohon rindang dekat pasar atau jalan utama kota. Di sini mereka menggunakan jasa tukang cukur bertarif murah-meriah. Tak ada atap, bangunan permanen, atau lantai marmer seperti barber shop di hotel. Terbuka dan apa adanya saja.
Kebanyakan tukang cukur itu penduduk tempatan. Umar Kayam, budayawan sekaligus guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menyebut tukang cukur model begitu sebagai cukur pitingan atau barber rakyat.
“Di mana sang tukang cukur itu, dan yang dicukur sama-sama mlaratnya nyaris tidak bermodal apa-apa kecuali pisau dapur yang agak tajam dan gunting ‘all purpose’,” tulis Umar dalam “Salon/Coiffeur/Tukang Cukur”, termuat di Satrio Piningit ing Kampung Pingit. Tapi dari tukang cukur model begitu justru muncul cerita lucu.
H.C.C Clockener Brousson, seorang serdadu KNIL, mengungkapkan pengalaman berkunjung ke Pasar Senen, Batavia, pada awal abad ke-20. “Seorang tukang cukur Tionghoa sibuk memangkas para jongos perwira dan pembantu rumah tangga. Tukang cukur itu bukan saja cepet dan pandai mencukur, dengan bermacam peralatan ia mengerjakan telinga, bagian mata, lubang hidung orang yang datang bercukur,” tulis H.C.C. Clockener Brousson dalam Batavia Awal Abad 20.
Baca juga: Gaya Rambut Nabi Muhammad
Ujug-ujug kuda seorang perwira lepas. Ia berlari ke arah tukang cukur dan pelanggannya. Sekonyong-konyong tukang cukur dan pelanggannya bubar. Tukang cukur menjerit-jerit sembari lari lintang-pukang. Pelanggannya juga berlaku demikian. Rambutnya grepes belum tuntas dicukur.
Cerita lucu lain berasal dari Umar Kayam. Dia kenang masa kecilnya di Sala pada 1930-an, tentang ketakutannya terhadap tukang cukur keliling yang kebanyakan berasal Madura. Dia enggan serahkan urusan cukur rambut ke mereka.
Ada mitos perisoal pisau cukur mereka. Pisau itu digunakan untuk mengiris kuping orang yang menyakiti hati mereka. “Tidak terasa sakit, tapi tahu-tahu akan ‘kiwir-kiwir’ telinga itu nyaris coplok dari kepalanya,” terang Umar.
Sekarang cerita lucu tentang tukang cukur pitingan atau barber rakyat mulai jarang terdengar. Kehadiran mereka pun perlahan menghilang. Terdesak oleh barber shop modern.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar