Masa Lalu Lampu Lalu Lintas
Lampu lalu lintas pertama kali dipasang di London dan dioperasikan secara manual. Lampu lalu lintas masuk ke Indonesia tahun 1950-an.
LAMPU lalu lintas merupakan perangkat esensial dalam mengatur lalu lintas di jalanan. Keberadaannya mudah ditemukan di berbagai tempat, seperti di persimpangan jalan dan area penyeberangan bagi pejalan kaki (pelican crossing).
Lampu lalu lintas terdiri dari tiga lampu dengan warna berbeda yang memiliki arti tersendiri bagi pengguna jalan. Lampu merah berarti berhenti atau tanda bahaya, lampu kuning untuk hati-hati atau bersiap untuk berkendara, dan lampu hijau menandakan pengendara diizinkan untuk jalan.
Simon Leyland dalam A Curious Guide to London menyebut lampu lalu lintas pertama di dunia dipasang di depan gedung parlemen Inggris yang berlokasi di persimpangan George Street dan Bridge Street pada 1868, sebagai upaya untuk mengatur lalu lintas kereta kuda di jalanan London yang semakin padat. Lampu lalu lintas yang dirancang oleh John Peake Knight, seorang insinyur sinyal kereta api itu memiliki konstruksi sederhana, yang dibuat untuk meniru gerakan seorang polisi lalu lintas.
Baca juga: Sejarah Pelat Nomor Kendaraan di Indonesia
Lampu lalu lintas itu berbentuk pilar besi bercat hijau yang disepuh dan berdiri setinggi dua puluh empat kaki serta memiliki berat lima ton. Lampu lalu lintas tersebut dilengkapi lengan bergerak yang dioperasikan secara manual oleh seorang polisi.
“Jika lengan menjulur lurus 90 derajat ke pos, lalu lintas wajib dihentikan; jika lengan berada pada posisi 45 derajat, kendaraan dapat lanjut berjalan tetapi harus ‘berhati-hati’. Agar lengan tetap terlihat di malam hari, lampu gas merah dan hijau ditambahkan,” tulis Simon.
Meski kehadirannya disambut baik publik London, lampu lalu lintas ini berumur pendek. Tiga minggu setelah didirikan, pada 2 Januari 1869, katup gas yang bocor menyebabkan pilar tersebut meledak. Polisi yang mengoperasikannya mengalami luka bakar yang parah. Lampu lalu lintas itu kemudian dianggap berbahaya dan tak lagi dioperasikan.
Baca juga: Pemilik Motor Pertama di Indonesia
Tak jauh berbeda dengan Inggris, di Amerika Serikat pada dekade pertama abad ke-20, upaya mengatur lalu lintas kendaraan juga masih dilakukan secara manual. Jim Hinckley dan Jon G. Robinson dalam The Big Book of Car Culture: The Armchair Guide to Automotive Americana menulis, pada masa itu polisi berdiri di persimpangan dengan peluit dan sarung tangan putih untuk mengatur lalu lintas.
Seiring waktu, mereka mendapat bantuan teknologi. Beberapa kota mulai memberi polisi yang mengatur lalu lintas sebuah lampu berwarna merah yang memiliki arti berhenti, yang dipasang di persimpangan dan dioperasikan dengan saklar. Sementara itu, Departemen Kepolisian Kota New York membangun menara lalu lintas di persimpangan 42nd Street dan Fifth Avenue pada 1916. Seorang polisi ditugaskan untuk berdiri di menara setinggi 16 kaki itu dan mengoperasikan lampu merah, kuning, dan hijau secara manual.
Sebagian kota di Amerika Serikat menganggap penugasan polisi untuk mengatur lalu lintas secara manual sebagai pemborosan. Menurut mereka tugas utama polisi adalah mengejar dan menangkap penjahat. Pemerintah kota Detroit, Michigan pun menugaskan inspektur polisi William L. Pots untuk mencari solusi permasalahan tersebut. Potts kemudian mengembangkan lampu lintas modern, yang dianggap sebagai lampu lalu lintas tiga warna pertama, yang dipasang secara permanen dan otomatis di Amerika Serikat.
Setelah dipasang, lampu lalu lintas itu mampu “menjinakkan” persimpangan Michigan Avenue dan Woodward Avenue yang terkenal. Lampu lalu lintas modern ini dipasang di berbagai daerah di Negeri Paman Sam pada 1920-an. Lampu lintas itu terus dikembangkan agar lebih konsisten dan pada 1935 muncul standarisasi warna dan beberapa elemen desain lainnya.
Baca juga: Awal Mula Operasi Zebra di Indonesia
Perkembangan teknologi mendorong pembuatan lampu lalu lintas dilengkapi pengatur waktu yang lebih canggih. Penelitian terkait pengaturan waktu lampu lalu lintas di jalanan yang padat oleh kendaraan pun dilakukan. Selain itu, lampu lalu lintas yang dioperasikan melalui suara juga dikembangkan di Amerika Serikat.
Bila di Amerika Serikat, pengembangan lampu lalu lintas telah berlangsung sejak awal abad ke-20, lantas bagaimana dengan di Indonesia?
Menurut Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja, lampu lalu lintas baru ada satu atau dua saja di seantero Jakarta pada 1950-an. Lampu lalu lintas tersebut berada di perempatan yang dianggap ramai atau penting, seperti Jalan Sabang dan Kebon Sirih. Sementara di beberapa tempat yang belum memiliki lampu lalu lintas, pengaturannya dilakukan oleh polisi lalu lintas.
“Paling-paling hanya ada polisi lalu lintas yang berdiri di tengah perempatan jalan sebagai pengaturnya, biasanya hanya dengan isyarat tangan dan menyemprit saja,” kata Firman.
Baca juga: Kemacetan di Batavia Tempo Dulu
Sementara itu, Horst H. Geerken, orang Jerman yang tinggal di Indonesia sejak 1963 hingga 1981, dalam A Gecko for Luck: 18 Years in Indonesia, menyebut tahun 1960-an lampu lalu lintas merupakan barang langka di ruas-ruas jalan di ibu kota Jakarta. Pada saat itu, lampu lalu lintas pertama dan satu-satunya berada di kawasan Harmonie.
“Mulanya para pengendara mengabaikannya, namun seiring berjalannya waktu lampu lalu lintas mulai dipasang di mana-mana,” kata Geerken.
Di masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (menjabat 1966–1977), pemasangan lampu lintas gencar dilakukan di berbagai wilayah di Jakarta, beriringan dengan pembangunan halte bus serta terminal angkutan dalam kota. Wardiman Djodjonegoro dalam Sepanjang Jalan Kenangan menyebut pembangunan lampu lalu lintas serta jembatan penyeberangan menjadi upaya untuk menertibkan arus lalu lintas dan menghindari terjadinya kecelakaan bagi para penyeberang jalan.
“Perusahaan yang memenangi tender pemasangan lampu lalu lintas adalah Siemens,” kata Wardiman.
Tak hanya di Jakarta, lampu lalu lintas juga mulai dipasang di daerah lain seperti di Bengkulu. Bill Dalton dalam Indonesia Handbook menyebut lampu lalu lintas pertama dipasang di Bengkulu pada 1979.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar