Sejarah Pelat Nomor Kendaraan di Indonesia
Pelat nomor kendaraan di Hindia Belanda awalnya menggunakan kode wilayah kemudian diubah dan masih digunakan hingga kini.
Warna dasar Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) berubah dari hitam menjadi putih mulai Juni 2022. Pergantian ini bertahap dengan prioritas kendaraan baru dan kendaraan yang habis masa berlaku lima tahunan. Kendaraan pelat dasar hitam yang belum habis masa berlakunya tidak perlu melakukan pergantian.
Selain berfungsi sebagai bukti registrasi dan identifikasi kendaraan, TNKB atau pelat nomor juga digunakan untuk mengatur lalu lintas. Khususnya di ibu kota Jakarta, kepolisian memberlakukan aturan ganjil genap berdasarkan pelat nomor untuk mengurangi kemacetan pada jam sibuk, yakni pagi (06.00–10.00 WIB) dan sore (16.00–21.00 WIB). Kebijakan ini tidak berlaku pada akhir pekan dan hari libur nasional. Pelanggar aturan ini didenda maksimal Rp500.000.
Plat nomor pada kendaraan telah digunakan sejak abad ke-18. Kala itu, para pemilik kereta kuda di Prancis diwajibkan memasang pelat logam pada kendaraan mereka dengan mencantumkan nama dan alamat pemilik kendaraan. Pada akhir abad ke-19, menurut Christopher Garrish dalam Tales from the Back Bumper: A Century of BC Licence Plates, yurisdiksi di seluruh Eropa mengeluarkan berbagai jenis lencana untuk digunakan pada kereta kuda.
Baca juga: Sejarah Mobil: Kereta Tanpa Kuda
Saat mobil bertenaga mesin mulai diproduksi di Eropa, kendaraan ini juga dilengkapi dengan pelat nomor. Garrish menyebut, pada 1893 sejumlah mobil di Paris sudah mulai memasang pelat nomor, yang kemudian diikuti oleh sejumlah wilayah lain di Benua Biru. Satu dekade kemudian, ketika mobil menjadi umum di Amerika Serikat dan Kanada, pelat nomor menjadi salah satu barang penting yang dipasang di kendaraan.
Menurut Garrish, New York merupakan negara bagian pertama di Amerika yang mewajibkan pemilik mobil memasang pelat nomor di kendaraan mereka pada 1901. “Pemilik kendaraan membuat pelat mereka sendiri dan menuliskannya dengan insial mereka sendiri, yang dianggap dapat memudahkan identifikasi pengemudi dan membuat mereka lebih bertanggung jawab atas tindakan mereka di belakang kemudi,” tulis Garrish.
Pihak berwenang negara bagian New York kemudian mengubah sistem numerik plat nomor pada 1903 karena banyak pemilik kendaraan yang menampilkan inisial palsu atau menggunakan inisial sendiri tanpa mendaftarkan pelat nomor tersebut. Pada 1903, pihak berwenang di negara bagian Massachusetts mulai mengeluarkan pelat nomor yang telah terstandarisasi atau bukan buatan sendiri.
Baca juga: Begitu Sulit Mendapatkan SIM
Di Hindia Belanda, menurut Mansyur dalam Bandjarmasin Tempo Doeloe: Sketsa Kecil dari Bingkai Masa Lalu, TNKB muncul saat transisi dari kendaraan berkuda ke kendaraan bermotor sekitar tahun 1890–1910. Pada kurun waktu tersebut, mulai berdatangan kendaraan yang dimiliki oleh orang Belanda dan kaum ningrat di Jawa.
“Untuk memudahkan pendataan, pemerintah kolonial menerapkan semacam TNKB yang diistilahkan dengan nama kentekens. Penetapannya menggunakan kode wilayah berdasarkan wilayah keresidenan,” tulis Mansyur.
Mansyur menjelaskan, TNKB mulai diberlakukan di Hindia Belanda, tepatnya di wilayah Jawa, pada 1900. TNKB tersebut berupa nomor seri yang dicat pada bagian depan mobil berwarna putih dan hitam. Beberapa wilayah pada masa itu menggunakan kode wilayah berupa nama singkatan daerahnya, misalnya CH (Chirebon) dan SB (Surabaya). Lalu pada 1909, TNKB yang digunakan berlaku secara internasional dengan kode huruf IN (Indes Neerlandaises). Selanjutnya pada 1917 muncul TNKB baru. Penerapannya mulai diperkenalkan di Jawa dengan kode wilayah berwarna putih ditambah nomor seri pada pelat hitam. Sekitar tahun 1920, sistem TNBK diperluas ke berbagai wilayah di Hindia Belanda.
“Sejak tahun yang sama, daerah yang menggunakan kode wilayah sebagai singkatan daerah yang dimaksud hanya ada dua, yakni Batavia (B) dan Madura (M). Sementara itu, kode wilayah di daerah lain ditentukan sesuai urutan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda,” tulis Mansyur. Sehingga, kode Cirebon dan Surabaya berubah dari CH dan SB menjadi E dan L.
Baca juga: SIM untuk Kusir dan Tukang Becak
Sejarawan dan arsiparis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia menyebut bahwa pada 1921 (Bijblad no. 13699) dikeluarkan aturan terkait kode penomoran kendaraan di Hindia Belanda. Beberapa kode penomoran ini masih digunakan hingga kini, seperti kode A untuk wilayah Banten, B (Batavia, kini Jakarta), D (Priangan atau Bandung), F (Buitenzorg atau Bogor), E (Cirebon), H (Semarang), L (Surabaya), AB (Yogyakarta), AD (Solo), DK (Bali), BL (Aceh), BE (Lampung), dan DB (Manado).
Berbagai macam bahan telah digunakan untuk memproduksi pelat nomor kendaraan. Garrish menyebut karet, kulit, kayu, bahkan kanvas merupakan bahan yang banyak digunakan oleh orang-orang ketika para pemilik mobil harus membuat pelat mobil sendiri di masa lalu.
“Ketika negara bagian dan provinsi mengambil alih produksi dan penerbitan pelat nomor, pelat baja dengan penutup porselen adalah yang paling umum, tetapi ini digantikan oleh pelat baja dasar pada dekade-dekade berikutnya,” tulis Garrish.
Penggunaan baja sebagai bahan baku pembuatan pelat nomor sempat terkendala pada masa Perang Dunia I dan II. Pasokan baja yang dibatasi membuat banyak pihak menggunakan bahan lain untuk memproduksi pelat nomor, seperti kayu, karton, timah, tembaga, kuningan, bahkan plastik. Kini, alumunium dan akrilik menjadi bahan baku andalan dalam pembuatan pelat nomor kendaraan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar