Gelandangan Selalu Jadi Pesakitan
Menggelandang mencari makna hidup atau karena kesulitan ekonomi. Sentimennya selalu melanggar pidana.
“SETIAP orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum akan mendapatkan sanksi paling banyak Rp1 juta,” demikian bunyi Pasal 432 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal ini menjadi perdebatan banyak orang.
Sebilangan orang melihat Pasal 432 RKUHP bertentangan dengan Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945. Isinya amanat bagi negara untuk memelihara fakir miskin dan orang telantar.
Sebagian lainnya justru memandang Pasal 432 RKUHP lebih baik daripada pasal tentang gelandangan buatan pemerintah kolonial. Hukumannya penjara 3-6 bulan. Tanpa memandang apakah gelandangan itu mengganggu ketertiban umum atau tidak. Tapi dua pasal tersebut memiliki kesamaan sentimen: gelandangan sebagai pelaku pelanggaran pidana.
Sentimen ini sudah berlangsung lama. Berawal dari sesama masyarakat. Mereka mengutuk laku menggelandang. Ini menimpa Kaum Kalang, kaum pinggiran di Jawa Tengah pada abad ke-14. “Mereka berpindah-pindah tempat dan selalu dianggap hina oleh penduduk yang sudah menetap yang menganggap mereka sebagai orang biadab dari hutan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3.
Baca juga: Memandang Laku Menggelandang
Sentimen demikian berpunca pada tindakan kriminil serombongan orang. Mereka tadinya bekerja sebagai budak. Tak puas dengan majikan, sebagian dari mereka kabur (kawula minggat). Mereka tersisih dari pergaulan. Tak punya rumah, sawah, dan pekerjaan. Kembali ke keluarga pun malu. Akhirnya mereka luntang-lantung tanpa pekerjaan dan tempat tinggal tetap.
“Di waktu tidak ada pekerjaan, orang-orang semacam itulah yang mudah terbawa ke dalam tindak kriminal seperti mencuri, membegal atau berkelompok menjadi perampok, garong atau kecu,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Masa Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) menanamkan kuasanya di Jawa pada 1650-an, muncul pula sentimen terhadap gelandangan. Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh menjelaskan upaya VOC mengamankan wilayah Ommelanden (pinggiran) Batavia dari perampokan, pencurian, dan kekerasan. “Yang merupakan ancaman bagi penduduk oleh para penyamun dan orang-orang gelandangan,” catat Blusse.
Menyokong Diponegoro
Sejumlah pujangga berupaya menimbang ulang laku menggelandang. Gelandangan tidak selalu laras dengan tindakan kriminil. Ini misalnya tersua dalam naskah berbahasa Sunda dari abad ke-15. Kisahnya mengenai seorang bernama Bujangga Manik. Dia menggelandang demi mencari makna hidup.
Kisah pergelandangan lainnya termuat dalam Serat Centhini, karya sastra berjilid-jilid pada awal abad ke-19. Salah satu jilidnya menceritakan kisah seorang bernama Amongraga. Dia gelandangan pencari makna spiritual dan gelandangan politik.
“Yaitu priyayi-priyayi yang jatuh dari kedudukannya. Mereka menjadi pemberontak dan terkenal sebagai ksatria lelana, seorang tokoh yang sangat diromantisir di antara para pengembara,” catat sejarawan Onghokham dalam “Gelandangan Sepanjang Zaman”, termuat di Gelandangan: Pandangan Ilmuan Sosial.
Tapi kemunculan karya-karya sastra tentang gelandangan luhur tak bisa mengikis sentimen terhadap laku menggelandang. Laporan pemerintahan Thomas Stamford Raffles (1811—1816) menyebut gelandangan sebagai penjudi, maling, dan perampok. Mereka sebenarnya para kuli pengangkut barang (batur). Asalnya bekerja sebagai petani di desa.
Baca juga: Gelandangan Sepanjang Zaman
Batur hijrah ke kota lantaran sawah gagal panen. Pemerintah sulit menghitung jumlah pasti mereka. Tapi menurut Onghokham, di daerah Kedu, Jawa Timur, jumlah mereka sekira 30 ribu. “Lebih banyak lagi para batur ini berada di kota-kota kraton dan pesisir,” tulis Onghokham.
Batur mengangkut barang tanpa berpakaian lengkap. Hanya bercawat. Tempat tinggal mereka tak pernah tetap. Tergantung majikan membawa mereka ke mana. Upah mereka kecil. Tak sebanding dengan keperluan hidup sehari-hari. Karuan mereka terlilit kemiskinan. Sebagian beralih ke jalan lain untuk menghidupi diri. Antara lain dengan mencuri dan merampok.
Saat Perang Jawa (1825—1830) berlangsung, batur menjelma sebagai kurir pesan di kalangan penyokong Diponegoro. “Surat-surat, pesan, dan hubungan lainnya antara para pemberontak di berbagai daerah diantarkan melalui batur-batur ini, yang sangat besar jasanya pada Diponegoro,” tulis Onghokham.
Batur seringkali berada di dekat pasar. Di sinilah jasa pengangkutan mereka paling dibutuhkan. Usianya relatif masih muda sehingga mampu mengangkut barang sembari mengantar pesan ke para penyokong Diponegoro.
Baca juga: Papa Mengepung Kota
Batur memiliki sejumlah alasan untuk berdiri di sisi Diponegoro. Mereka tadinya mempunyai tanah dan tempat tinggal tetap. Tapi pemerintah kolonial mengenakan pajak dan beban tinggi kepada mereka. Tekanan itu berlangsung tahunan. Tak kuat, mereka pun minggat dari tempat tinggalnya.
“Tekanan dari negara merupakan unsur yang membuat mereka menjadi pengembara sehingga sentimen anti kestabilan cukup besar di antara mereka,” ungkap Onghokham.
Pengalaman hidup batur mirip dengan Diponegoro. Terbuang dari keraton, terampas dari hak tanahnya oleh pemerintah kolonial. Maka batur berkhidmat pada Diponegoro.
Pemerintah kolonial menggambarkan batur sebagai pemuda kebanyakan makan dongeng ksatria romantis. Batur ini pesakitan. Jumlah mereka kecil, seperti kerikil, tapi bisa bikin situasi menjadi labil.
“Laporan Belanda tahun 1830 mengatakan bahwa para lelana ini tidak memiliki kepentingan apapun dalam memelihara tata tentrem, sebaliknya cenderung memberontak bila ada kesempatan,” lanjut Onghokham.
Menjadi Terpidana
Peran batur sebagai penyampai pesan menghilang seiring tumpasnya aksi-aksi Diponegoro terhadap pemerintah kolonial. Tapi urusan pemerintah kolonial dengan gelandangan belum berakhir.
Pemerintah kolonial mengeluarkan Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Oendang-Oendang Hoekoeman bagi Hindia Belanda pada 1915. Kelak orang menyebutnya sebagai KUHP. Salah satu pasalnya memuat kriminalisasi terhadap gelandangan.
“Barang siapa mengembara dengan tidak mempoenjai pentjaharian dihoekoem koeroengan selama-lamanja tiga boelan, karena kelana.” Demikian bunyi pasal 505 WvS ayat 1.
Ayat 2 menyebutkan, “Kelana jang dilakoekan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, sedang oemoer orang itoe masing-masing lebih dari enam belas tahoen, dihoekoem koeroengan selama-lamanja enam boelan.”
Baca juga: Perburuan Gelandangan
Setelah WvS berjalan empat tahun, penghukuman terhadap gelandangan benar-benar terjadi di Semarang. Sasarannya para gelandangan di Sarekat Kere. Organisasi ini memayungi kaum gembel dan miskin kota, termasuk gelandangan.
“Tujuannya menghimpun orang-orang yang selalu miskin dan tidak punya ‘bondo’ (harta, red.), tanpa memandang bangsa,” tulis Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah. Pemimpinnya bersimpati dengan ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda) kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia. Organisasi ini tak bertahan lama karena pemerintah kolonial cepat menangkap pemimpin dan anggotanya. Tapi gelandangan lainnya tetap bermunculan.
Gelandangan bertambah banyak di kota-kota besar Hindia Belanda pada 1930-an. Masa itu resesi menghantam Hindia Belanda. Pabrik-pabrik tutup. Orang-orang kehilangan pekerjaan, baik anak negeri maupun Eropa. Mereka sama-sama jadi gelandangan. Laporan ini berasal dari seorang jurnalis Eropa pada 1932.
Saat berjalan di Batavia, kaki jurnalis itu tersandung gelandangan tidur. Gelandangan itu berkebangsaan Eropa, menyembul di antara gelandangan anak negeri. Dia membangunkan gelandangan itu, memintanya bercerita. Lalu si jurnalis mendengarkan.
“Sekarang dengan tidak ada lagi yang tersisa selain pakaian di badannya, dia berupaya bertahan hidup dari sumbangan orang-orang Indonesia di kampung terdekat yang memberinya nasi, juga dari orang-orang Eropa yang memberinya beberapa koin uang ketika mereka lewat di jalan,” tulis John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, mengutip De Telegraaf, 9 Desember 1932.
Baca juga: Pengemis dan Kapten Sanjoto
Berita itu tersebar. Pers Belanda mengingatkan pemerintah bahwa gelandangan bisa mengancam orde dan wibawa pemerintah kolonial. Gelandangan pun jadi bahan buruan. Mereka ditangkap, tapi tidak dikurung, melainkan dimasukan ke pusat dan kamp kerja.
“Pusat-pusat kerja dan kamp-kamp kerja terutama ditujukan untuk menjaga pengangguran Eropa dari kemalasan, untuk mengurangi jumlah tunawisma dan orang-orang Eropa miskin di jalan-jalan serta untuk mencegah pengangguran membawa kerusakan moral bagi pemuda Eropa,” lanjut John Ingleson. Gelandangan anak negeri masuk kamp dan pusat kerja khusus.
Nasib gelandangan tetap sama pada masa Jepang. Diburu, ditangkap, dan dimasukan kamp. “Kentjo (pemerintah kota, red.) sendiri beroesaha soepaja kaoem toealang tadi mendjadi sehat dan koeat badannja dan dengan demikian dapatlah dikirim ke loear Soerakarta Kotji (Karisidenan, red.) sebagai Peradjoerit Ekonomi,” tulis Asia Raja, 18 Januari 1944.
Hingga kini, sentimen dan pemidanaan terhadap gelandangan masih mengada. Cara memperlakukan gelandangan pun tak beranjak jauh dari penangkapan dan pemusatan di kamp.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar