Perburuan Gelandangan
Razia terhadap gelandangan berpijak pada hukum pidana. Menyederhanakan dimensi pergelandangan.
WETBOEK van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1915 menempatkan gelandangan sebagai pelaku pidana. Karena itu, pemerintah kolonial menangkapi banyak gelandangan melalui serangkaian operasi. Sasaran awalnya para anggota Sarekat Kere, organisasi penaung kaum gembel dan gelandangan, pada 1919.
Resesi ekonomi 1930-an di Hindia Belanda membuat jalanan kota-kota besar ramai oleh gelandangan. Ini menjadi masa paling sibuk bagi pemerintah kolonial dalam memburu gelandangan. Mereka menyisir gelandangan dari jalan, memasukannya ke kamp-kamp kerja, dan menyingkirkannya dari masyarakat. Dalam pandangan pemerintah kolonial, gelandangan adalah inang virus kemalasan dan kerusakan moral bagi lingkungan sekitar.
“Pusat-pusat kerja dan kamp-kamp kerja terutama ditujukan untuk menjaga pengangguran Eropa dari kemalasan, untuk mengurangi jumlah tunawisma dan orang-orang Eropa miskin di jalan-jalan serta untuk mencegah pengangguran membawa kerusakan moral bagi pemuda Eropa,” catat John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial.
Baca juga: Memandang Laku Menggelandang
WvS tidak berlaku pada masa pendudukan Jepang. Tapi bukan berarti gelandangan bebas dari perburuan. Masa ini ekonomi merosot. Jepang mengambil alih semua sumber daya untuk tujuan perang. Orang-orang tak tahan, meninggalkan pekerjaannya, beralih menjadi pengemis, bergelandangan di jalan. Jumlahnya berlipat ganda, seperti di kota Solo.
“Kini di kota Solo bukan main banyaknya pengemis-pengemis. Dari hari ke hari, orang-orang pengemis ini bergelandangan di sepanjang jalan dan dicarinya sekadar makanan di kotak-kotak sampah,” ungkap Pembangoen, 17 September 1942.
Beberapa gelandangan terlibat pencurian. Warga geram dan melaporkannya ke polisi Jepang. Operasi besar-besaran pun menyasar gelandangan. Tanpa pandang bulu. Semua dianggap kotor dan sama bersalahnya.
Alasan lain perburuan terhadap gelandangan berasal dari praduga Jepang. Ada selingkar pemuda penentang Jepang menyelamatkan diri dengan menjadi gelandangan. Mereka berbaur bersama gelandangan di tempat-tempat tertentu seperti pasar dan kolong jembatan. Tentara Jepang menggerebek tempat-tempat konsentrasi gelandangan demi mencari para penentang. Pramoedya Ananta Toer mengambil peristiwa ini sebagai latar novel Perburuan.
Masa awal kemerdekaan menandai kebebasan sementara gelandangan dari perburuan. Selama masa bersiap (1945—1949), perang berkobar di beberapa wilayah Indonesia. Gelandangan pun meningkat. Tapi masa ini mereka justru memainkan peran penting dalam sejumlah pertempuran di Yogyakarta untuk mempertahankan Republik.
Razia Gabungan
Perang kemudian berakhir dan negeri ini mulai memasuki masa normal. Hukum ditata kembali. Hierarki susunan perundang-undangan diperkenalkan melalui UU No. 1 Tahun 1950. Ada peraturan lain di bawah undang-undang sebagai penjelas dan petunjuk lebih teknis untuk undang-undang. Antara lain peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
KUHP pun tak lepas dari tata urutan tersebut. Kedudukannya sebagai salah satu undang-undang diperjelas oleh aturan lain di bawahnya. Pasal mengenai larangan pergelandangan mempunyai turunan. Dari turunan inilah operasi penangkapan gelandangan di antero kota di Indonesia pada 1950-an menemukan pijakan legalnya.
Penangkapan gelandangan pada dekade 1950-an seringkali melibatkan kerja sama antar pemerintah kotapradja dan karesidenan. Misalnya Jakarta, Bogor, Banten, Pekalongan, dan Jawa Barat pada 29 Desember 1952 menggelar konferensi untuk menanggulangi masalah gelandangan.
Baca juga: Gelandangan Selalu Jadi Pesakitan
“Walikota Sjamsuridjal dalam konferensi ini mengatakan, bahwa mereka datang dari daerah perbatasan Jakarta karena itu persoalan perlu dirundingkan dan dipecahkan bersama-sama oleh daerah yang berdekatan pula,” ungkap Soedarmadji J.H. Damais dalam Karya Jaya Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Djakarta.
Hasil konferensi menyepakati cara menanggulangi gelandangan. “Konferensi telah menghasilkan panitia yang bertugas melaksanakan tempat penampungan dan mentransmigrasikan mereka,” lanjut Damais.
Penampungan dan pemindahan bergantung pada razia gelandangan dari jalanan kota. Razia adalah ujung tombak semua rencana penanggulangan gelandangan. Tanpa razia, penampungan dan pemindahan gelandangan tak bisa berjalan.
Operasi Teratai
Memasuki 1960-an, razia gelandangan kian gencar di Jakarta. Kota ini akan menggelar Asian Games sepanjang September 1962. Tamu-tamu istimewa dari negara tetangga berencana datang ke Jakarta. Pemerintah berbenah menyiapkan Jakarta seelok mungkin. Gelandangan bukanlah bagian dari keelokan. Mereka harus enyah. Apapun alasannya.
“Tidak ada tempat untuk gelandangan dalam sosialisme Indonesia,” tulis mingguan Djaja, 21 Juli 1962. Djaja menuturkan laporan pandangan mata dari razia besar-besaran gelandangan menjelang Asian Games 1962. Razia itu bernama Operasi Teratai.
Kepada Djaja, petugas Operasi Teratai membantah operasi ini sebagai sekadar make up untuk menutup bopeng Jakarta. “Tentulah pandangan picik ini ada, tetapi tidak perlu kita masukkan hitungan,” kutip Djaja.
Baca juga: Gelandangan Revolusioner
Petugas menyatakan, Operasi Teratai adalah operasi jangka panjang. Persiapannya lama, berdasarkan pengalaman, dan bertujuan menyelesaikan masalah gelandangan secara total.
Operasi ini bukan menghukum para gelandangan, melainkan bertujuan baik menjadikan warga negara terdidik, berpenghidupan wajar, dan bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka.
Tetapi cara pandang operasi ini masih memukul rata para gelandangan dan menganggapnya sebagai perusak moral dan ketertiban. “Gangguan yang mereka timbulkan bukan saja gangguan lahir, seperti pemandangan yang kotor dan perbuatan-perbuatan melanggar hukum,” lanjut Djaja.
Suara Jernih
Operasi Teratai tidak banyak menyentuh latar belakang mengapa seseorang menggelandang. Kritik terhadap langkah razia, penampungan, dan penyaluran gelandangan menguar dari Parsudi Suparlan.
Parsudi seorang mahasiswa antropologi Universitas Indonesia. Minatnya sangat besar pada sisik-melik gelandangan. Dia turut menjadi gelandangan di Jakarta pada 1961 untuk mengetahui kehidupan mereka sebenarnya.
Hasil observasi Parsudi terwujud dalam skripsi berjudul Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan yang Sudah Menetap. Melalui skripsinya, Parsudi menggugurkan sterotipe orang tentang gelandangan: pemalas, kotor, dan tidak bisa dipercaya.
“Dari data yang telah saya kumpulkan ternyata bahwa stereotipe tersebut di atas tidaklah benar, dan bahkan sebaliknya menunjukkan bahwa orang gelandangan itu bekerja keras dalam usaha mereka mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya,” tulis Parsudi.
Baca juga: Gelandangan Sepanjang Zaman
Parsudi juga menunjukkan keanekaragaman motif pergelandangan. Tak pernah tunggal. Selalu mempunyai beragam dimensi dan pertautan. Ada ekonomi, keamanan, pandangan hidup, dan politik. Maka menjawab persoalan gelandangan tidak bisa lagi dengan mengadakan razia, penampungan, dan penyaluran.
Suara-suara jernih Parsudi tentang gelandangan mengantarkannya ke kasta tertinggi dunia pendidikan. Dia menjadi guru besar antropologi terkemuka di Indonesia.
Henk Ngantung, Gubernur Jakarta 1964—1965, sebenarnya menyadari gelandangan bersitaut dengan banyak dimensi. “Pemecahannya perlu diatasi atau ditangani secara nasional pula,” kata Henk dalam Karya Jaya. Tapi dia mengakui tindakan razia pun tetap perlu.
“Khususnya di saat-saat Jakarta menyelenggarakan suatu perayaan atau peristiwa penting maka selama itu diambil tindakan ‘secara rutin’ dengan jalan mengadakan razia,” kata Henk.
Baca juga: Papa Mengepung Kota
Iwan Simatupang, seorang novelis, menyampaikan refleksinya tentang persoalan gelandangan. Dia tak bilang razia itu penting atau tidak. Tapi pandangannya memuat jelas bahwa persoalan gelandangan tak sebatas persoalan ekonomi yang penyelesaiannya pun selalu material.
“Manusia gelandangan terhenyak dari semua ikatan kemasyarakatan, terlepas dari semua ikatan dan konvensi, semua kapal di belakangnya telah terbakar. Manusia gelandangan adalah manusia terbuka, fatum mereka tidak mengenal determinisme-determinisme. Makhluk dengan kemungkinan pilihan tak terbatas. Manusia yang mengarah ke sebanyak mungkin penjuru sekaligus,” kata Iwan dalam Merahnya Merah.
Kritik lain datang dari Dennis J. Cohen, peneliti masyarakat miskin kota. Cohen mewawancarai dan mengambil sampel orang-orang miskin di Jakarta pada 1970-an, termasuk para gelandangan.
Baca juga: Pengemis dan Kapten Sanjoto
Menurut Cohen pemerintah selalu mengambil keputusan tanpa mendengar aspirasi orang miskin. Sebaliknya, dia memperlihatkan bahwa orang-orang miskin sebenarnya mempunyai gambaran pasti tentang bagaimana kehidupan mereka bisa diperbaiki.
“Sebagian terbesar mereka menyatakan keinginan agar pemerintah menolong pendidikan anak-anak mereka. Jawaban kedua yang paling sering diberikan ialah bantuan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Semua itu permintaan konkret. Tetapi soalnya ialah segala keputusan berada di luar masyarakat miskin. Itu terserah pemerintah,” tulis Cohen dalam “The Political Situation of Low Income People in Jakarta, termuat di Prisma No 7, Desember 1972.
Tetapi suara-suara jernih tadi telah berlalu lama. Mereka tak mendekam di telinga pembuat kebijakan. Penangkapan gelandangan berulang kali terjadi. Dan selama itu pula, masalah pergelandangan tak pernah tersentuh.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar