Papa Mengepung Kota
Mereka pengembara luhur yang terlepas dari kekangan lingkungan dan menuntut pengetahuan dan kesempurnaan. Lalu mereka terpinggirkan.
RAJA Dangdut Rhoma Irama punya gambaran tentang gelandangan, yang dia sebut tunawisma. Dengarkan saja lagunya, “Gelandangan”: Langit sebagai atap rumahku/Dan bumi sebagai lantainya /Hidupku menyusuri jalan/Sisa orang yang aku makan.
Dalam sejarah Nusantara, gelandangan adalah para pengembara atau pengelana, seperti ditulis dalam kitab termasyhur Jawa Serat Centhini, yang ditulis pada awal abad ke-19. Mereka, tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, memasuki tempat-tempat paling tersembunyi di dunia pinggiran dan terpesona olehnya. Dunia pinggiran itu berfungsi sebagai katup pengaman sosial maupun cagar budaya. Hilangnya hutan-hutan mengakibatkan mereka beralih ke daerah-daerah kumuh di kota-kota besar dan mulai kehilangan gengsi.
“Satrya lelana, pengembara luhur yang lepas dari kekangan lingkungan tapi juga menuntut pengetahuan dan kesempurnaan telah digantikan oleh gelandangan kelaparan dari kampung-kampung miskin,” tulis Lombard.
Prihatin terhadap kondisi ekonomi di Jawa, pada 1904 hingga 1920, pemerintah kolonial menyebarkan angket tentang “kemerosotan kesejahteraan” penduduk pribumi, yang menghasilkan lebih dari 40 terbitan. Tapi mereka belum melihat betapa dahsyat dampak sosial dari urbanisme yang melanda Jawa. Sejak 1830, terdapat sinyalemen tentang bahaya yang harus dihadapi masyarakat pemukim akibat kedatangan kelompok yang disebut-sebut sebagai batur, para kuli yang dipakai Diponegoro sebagai pengangkut barang atau penghubung. Mereka tak mau pulang ke desa setelah kedamaian pulih; menjelajahi Jawa Tengah sebagai gerombolan liar.
“Mereka disebut dan dikecam sebagai zwervers en trekkers, pengembara dan gelandangan, yang berada di pinggiran kota besar, khususnya di Batavia, dan mengancam ketertiban sosial,” tulis Lombard.
Pada paruh abad ke-20, kota-kota di Indonesia mulai tumbuh. Di dekat pasar dan stasiun kereta api, terbentuk golongan subproletar permanen. Pelbagai istilah Jawa dipakai untuk menamakan kalangan miskin ini: wong ngemis, wong kere, atau wong kramatan –karena mereka menetap di dekat makam-makam keramat untuk meminta sedekah dari para peziarah. Terdesak oleh keadaan, sebagian dari mereka menjadi pencuri atau pelacur.
Menurut Bambang Purwanto dalam “Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia” yang termuat dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, jumlah gelandangan meningkat tajam sejak pendudukan Jepang dan kemerdekaan. Mereka biasanya tinggal di beberapa tempat dekat pasar atau stasiun kereta api, terutama di sekitar Jatinegara, Pasar Senen, dan Tanah Abang.
Para gelandangan mengalami masa jaya selama revolusi fisik. Selama beberapa bulan, sebagian besar penduduk biasa, yang menetap di kota maupun di desa, meninggalkan daerah-daerah pendudukan Sekutu dan pindah untuk sementara ke daerah-daerah yang dianggap “bebas”. Untuk beberapa waktu, jarak sosial antarkelas mengecil. Tak sedikit pejuang yang berlindung di tengah-tengah mereka, atau menyamar sebagai gelandangan agar lolos dari kejaran tentara Jepang. Dengan cara itulah hubungan antara daerah Republik dan wilayah yang dikuasai Belanda tetap terjalin.
“Sampai-sampai, akibat pengaruh pejuang kota itu, pengemis-pengemis di Jawa, khususnya di Yogyakarta, ada pula yang terlibat secara aktif dalam gerilya,” tulis Lombard.
Usai kemerdekaan, citra mereka merosot untuk selamanya, sementara jumlah mereka terus bertambah. Antara tahun 1945 sampai awal 1960, jumlah gelandangan di Jakarta terus meningkat. Banyak gelandangan mendiami daerah Tanah Abang, di tanah kosong dekat Jalan Budi Kemuliaan, Museum Nasional, atau dekat Kantor Hankam. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa dan pulau-pulau lainnya. Dan mereka mulai dianggap sebagai biang keruwetan kota.
Terus meningkatnya jumlah gelandangan membuat Walikota Jakarta Raya Syamsuridjal (1951-1953) bertekad melakukan “pembersihan”. Sebagian gelandangan yang terjaring dikembalikan ke daerah asal, dan sebagian lainnya ditransmigrasikan ke luar Jawa. “Walikota dari Masjumi ini sangat memperhatikan keelokan dan kebersihan Jakarta dan bertekad menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan,” tulis Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi.
“Pemerintah Jakarta Raya berencana mentransmigrasikan 15 ribu gelandangan ke Kendari, Sulawesi Tenggara,” tulis John U. Wolff dalam Formal Indonesian.
Kekacauan di berbagai daerah setelah Gerakan 30 September 1965 juga mendorong pendatang memasuki Jakarta. Sebagian dari mereka tak memiliki keahlian sehingga menjadi gelandangan. Sampai akhir 1960-an, diperkirakan terdapat 30 ribu gelandangan di seluruh Jakarta.
Hingga kini, gelandangan atau kaum papa ini masih menjadi fenomena kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Jumlahnya juga cenderung bertambah seiring sulitnya perekonomian dan sedikitnya lapangan kerja. Sejumlah pemerintah daerah mencoba mengurangi, bahkan kalau bisa menghapus, keberadaan mereka melalui peraturan-peraturan. Razia juga sesekali masih dilakukan. Tak ayal, para gelandangan pun tetap terpinggirkan dari program pembangunan tanpa bisa menangis karena, seperti lagu Rhoma Irama, kering sudah air mataku.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar