Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI
Tidak hanya untuk menganalisis data, AI juga memungkinkan simulasi sejarah hingga ngobrol dengan tokoh sejarah.
ARTIFICIAL Intelligence (AI) alias Kecerdasan Buatan –atau ada yang menyebutnya Akal Imitasi (AI)– jadi lompatan teknologi tak terhindarkan yang mengisi banyak ruang kehidupan, salah satunya pendidikan. Kendati tetap ada plus-minus yang mesti diperhatikan, AI sangat mungkin diterapkan pula dalam pembelajaran sejarah.
“Perkembangan AI berjalan dengan cepat ya dan mungkin kita agak terlambat melakukan adaptasi karena di berbagai belahan dunia yang lain bahkan sudah jadi diskusi-diskusi lanjutan. Di Indonesia juga sudah mulai ada beberapa universitas yang secara khusus memiliki pusat aktivitas AI, di UGM (Universitas Gadjah Mada) dan ITB (Institut Teknologi Bandung),” tutur, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (FIS UNJ) Firdaus Wajdi dalam Webinar Nasional ke-1 Magister Pendidikan Sejarah bertajuk “Kecerdasan Buatan (AI) dan Pembelajaran Sejarah: Peluang dan Tantangan Masa Depan Sejarah” via Zoom, Sabtu (19/10/2024).
Pemanfaatannya, lanjut Firdaus, memerlukan kolaborasi antara akademisi dan para praktisi teknologi untuk menyemai manfaat AI. Pasalnya, AI juga bisa jadi “pisau bermata dua” lantaran tetap ada efek negatifnya.
“Dengan adanya teknologi Kecerdasan Buatan, kita di satu sisi gamang tapi di sisi lain sebenarnya memberi peluang bagaimana kita mengembangkan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif,” timpal Koordinator Program Studi S2 Pendidikan Sejarah UNJ, Dr. Abrar.
“Memang sekarang sudah ada protokol yang dikeluarkan pemerintah (Kemendikbudristek) untuk Perguruan Tinggi terkait pemanfaatan untuk pembelajarannya. Tapi kita juga mesti memperhatikan karena (‘Bapak AI’, Geoffrey) Hinton yang menerima hadiah Nobel ikut mengkhawatirkan dampak negatif dari temuannya itu,” terangnya.
Pada dasarnya, AI merupakan model komputasi yang mensimulasi kinerja otak manusia untuk memecahkan masalah. Merujuk sejarawan Israel Yuval Noah Harari dalam buku Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI, akademisi dan pengajar Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Malang Aditya Nugroho Widiadi menyatakan AI ibarat teknologi alien yang pada suatu waktu bisa tidak terkontrol oleh manusia hingga membuat teknologi itu makin terasing.
“Tapi tentu saja AI punya potensi besar dalam pembelajaran sejarah. AI dapat dimanfaatkan untuk analisis data sejarah, personalisasi pembelajaran, dan simulasi sejarah. Ditambah lagi bisa membantu pembelajaran sejarah berbasis game, menjadi asisten virtual, hingga peningkatan keterlibatan siswa dalam pembelajaran,” ungkap Aditya.
Hal tersebut diamini Luqman Abdul Hakim, guru sejarah dan ilmu sosial di Highfield Secondary School. Beberapa aplikasi berbasis AI, menurutnya, sudah beberapa kali dicoba untuk membantu pembelajaran sejarah di perusahan teknologi pendidikan di Indonesia dan tingkat sekolah dasar dan menengah di luar negeri.
“Salah satu (aplikasi) AI yang cukup populer digunakan beberapa sekolah elite di luar negeri. Khusus sejarah ada yang namanya ‘Hello History’, di mana AI ini membuat kita, penggunanya, bisa chatting, berbincang atau mengobrol dengan tokoh-tokoh sejarah,” ujar Luqman.
Baca juga: Tantangan Riset Sejarah di Era Milenial
Luqman mencontohkan tokoh Cleopatra di salah satu daftar data fitur gratis di Hello History. Jika user mengarahkannya pada opsi fitur political landscape-nya, maka akan muncul informasi mengenai Cleopatra yang menggunakan kecerdasan dan kharismanya untuk tujuan diplomasi membangun aliansi dengan tokoh-tokoh laki-laki, Julius Caesar dan Mark Anthony, guna mengamankan posisinya sebagai pemimpin perempuan di Mesir yang saat itu didominasi laki-laki.
“Jadi kalau dalam konsep sejarah, kita seperti memahami posisi si tokoh sejarah itu di masa lalu, lalu kita aplikasinya mengajak kita mendalami, apa sih yang ada dalam pikiran tokoh-tokoh sejarah dunia terhadap suatu peristiwa yang terjadi di masa mereka,” jelasnya.
Namun harus diakui, aplikasi itu masih memprioritaskan tokoh-tokoh sejarahnya berdasarkan database yang bersifat global. Maka penggunaannya masih dengan bahasa Inggris.
“Materi-materi mereka pun lebih mengarah ke sejarah dunia. Kebanyakan di situ tokoh-tokoh sejarah dunia. Satu-satunya tokoh Indonesia hanya ada Ir. Sukarno. Tapi harus diperhatikan bahwa di awal, aplikasinya juga sudah memberikan semacam spoiler atau reminder kalau penggunaan AI ini tidak 100 persen benar,” lanjutnya.
Baca juga: Koleksi Digital Anton Lucas
Oleh karenanya, Luqman –yang sudah sempat menjajalnya saat bekerja di sebuah perusahaan teknologi pendidikan– mengatakan, menggunakan Hello History juga mesti melakukan verifikasi lagi agar memberikan hasil yang lebih baik. Selain Hello History, ada fitur “History Teachers” di software ChatGPT.
“Meskipun kita tetap harus mengkurasi kembali fakta-fakta sejarah yang dihasilkan oleh ChatGPT itu. Saya pribadi menggunakan ChatGPT tidak untuk menghasilkan produk (bahan ajar) final tapi lebih kepada untuk mendapatkan suatu kerangka yang ingin saya buat untuk bahan ajar,” imbuh Luqman.
Selain itu, AI juga bisa digunakan untuk membuat inovasi pembelajaran sejarah di lingkungan pendidikan tinggi, seperti yang dilakukan akademisi Universitas Sriwijaya Hudaidah. Ia mengembangkan Video Interaktif Bilingual Berbasis Artificial Intelligence (VIBAI) tentang sejarah Kedatuan Sriwijaya untuk pelestarian budaya. Antara lain sejarah terkait situs Bukit Siguntang dan Prasasti Telaga Batu dari abad ke-7.
Baca juga: Perbarui Kurikulum Itu Tidak Mudah
Terlepas dari plus-minusnya, penggunaan AI dalam pembelajaran sejarah seperti tak terelakkan di masa depan meski yang jadi bahan pembelajarannya adalah masa lalu. Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek Dr. M. Hasan Chabibie menguraikan, pembelajaran sejarah dan pendekatan teknologi masa depan jadi dua “kutub” berbeda yang bisa dipertemukan dengan metode-metode AI yang tepat demi pembelajaran sejarah yang lebih menarik.
“Perkembangan teknologi yang cepat sedemikian luar biasa hari ini mau tidak mau harus kita sikapi dan maksimalkan. Apalagi data (situs WriterBuddy), Indonesia ada di peringkat ketiga setelah Amerika Serikat dan India sebagai pengguna tertinggi dari aplikasi AI berdasarkan data September 2022-Agustus 2023. Bisa jadi angkanya makin naik lagi dan itu artinya masyarakat Indonesia sangat familiar dengan semua teknologi yang hadir hari ini, di antaranya AI dengan berbagai cara kerjanya,” ujar Hasan.
Kata kuncinya, sambung Hasan, adalah adaptasi dan inovasi dari para siswa maupun institusi pendidikan untuk memaksimalkan AI. Bukan sekadar untuk merekonstruksi masa lampau tapi juga memberikan narasi terhadap masa depan dan menghadirkan sejarah yang memantik cara berpikir kritis.
“Kita juga mesti bisa memeluk teknologi ini dengan sebaik-baiknya sehingga bisa memberikan gambaran terhadap masa depan bangsa Indonesia nantinya akan berjalan seperti apa. Saya kira ini yang menjadi PR dan tantangan untuk para penggiat ilmu-ilmu sejarah yang tidak hanya peduli pada masa depan bangsa tapi juga merangkul perkembangan AI,” tandasnya.
Baca juga: Perlukah Materi Sejarah Diperbarui?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar