Suatu opini dalam kanal historia.id berjudul Perlukah Materi Sejarah Diperbarui? karya Alvie Sheva Zahira menarik perhatian saya. Sebagai orang yang pernah kuliah di program studi pendidikan sejarah hingga sarjana, hati saya tergerak untuk berkomentar terhadap opini tersebut. Ada beberapa poin yang saya setujui dari opini tersebut, namun ada pula poin yang tidak saya setujui.
Saya setuju dengan penulis bahwa pelajaran sejarah masih merupakan “kasta” terendah dalam “hierarki” mata pelajaran di sekolah. Pelajaran sejarah faktanya masih dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai pembelajaran yang membosankan. Bahkan terkadang kebanyakan sekolah melanggengkan sistem ”kasta” tersebut dengan menaruh pelajaran sejarah di jam-jam terakhir pembelajaran atau setelah pelajaran olahraga. Dimana pada jam-jam tersebut biasanya siswa mengantuk dan lelah sehingga tidak fokus dalam pembelajaran sejarah.
Alvie Zahira menyatakan perlunya pembaruan materi dalam buku teks pelajaran sejarah di sekolah dengan didasari oleh lima masalah yang umum ditemui dalam buku teks sejarah. Lima masalah tersebut yaitu:pertama, pembahasan yang hanya menyentuh permukaan. Kedua, hanya menulis hitam diatas putih. Ketiga, terlalu Indonesiasentris. Keempat, tidak mengikuti perkembangan zaman. Kelima, melewatkan beberapa peristiwa yang sebenarnya penting.
Saat saya membaca penjelasan dari lima masalah ini di dalam tulisannya. Saya setuju tapi menyayangkan penjelasannya terlalu pendek untuk diketahui lebih dalam. Beberapa ahli juga menyimpulkan masalah yang sama seperti apa yang dikemukakan oleh Zahira. Misalnya Ronal Ridhoi (2019) bahkan satu langkah didepan dengan menawarkan tema baru historiografi bagi pembelajaran sejarah di SMA/SMK di Jawa Timur. Tema-tema baru yang ditawarkan oleh Ronal Ridhoi seperti: sejarah orang miskin, sejarah kerajinan rakyat, kearifan lokal, dan polusi. Landasan yang digunakan Ronal Ridhoi adalah keresahannya saat mengetahui narasi sejarah begitu-begitu saja walaupun sudah berganti kurikulum.
Hal ini sama dengan keresahan dari Zahira di poin keempat. Sadirman dkk (2020),Mulyana (2012), Utami dan Widiadi (2016), Utami (2012; 2014) mengatakan bahwa dominasi negara terhadap narasi buku teks sangatlah besar. Sadirman dkk dan Mulyana berfokus bagaimana pemerintah Orde Baru merepresentasikan ideologi militeristik ke dalam narasi buku teks sejarah. Sedangkan, Utami dan Widiadi menemukan bahwa buku teks sejarah merepresentasikan Bhineka Tunggal Ika dalam beberapa bentuk. Tentu saja, peran negara sangatlah penting dalam ideologisasi dalam buku teks sejarah ini. Kesalahan utama dalam opini yang dibuat oleh Zahira adalah menyatakan kepastiannya untuk menyarankan pembaruan materi sejarah dalam buku teks sejarah hanya berdasarkan lima kesalahan umum tersebut.
Dalam kasus memperbarui materi dalam buku teks sejarah, tidaklah cukup dengan lima masalah umum tersebut untuk bisa mengeluarkan pernyataan “Dari kelima faktor yang penulis kemukakan diatas, sepertinya sudah cukup untuk menjadi alasan mengapamata pelajaran sejarah layak mendapatkan pembaruan di dalam isi materinya.”
Lima masalah tersebut terlalu sederhana untuk menjadi jawaban masalah yang kompleks. Dia melupakan hal yang paling fundamental, yaitu tingkat kesiapan guru dan peserta didik dalam menerima pembaruan tersebut. Masalah terkait dengan guru sejarah sudah lama menjadi bahan diskusi, apalagi jika pembelajarannya terlalu buku teks yang kaku.
Sejak zaman Orde baru, guru sejarah telah diberi “kenyamanan” dengan materi sejarah yang benar versi pemerintah. Sehingga versi lain yangbertentangan dengan versi pemerintah layak untuk diabaikan. Kenyataan ini masih terus bergulir hingga setelah kejatuhan rezim orde baru.
Guru-guru sejarah hasil didikan rezim orde baru masih ada dan masih menjadi guru hingga sekarang. Pemikiran materi sejarah yang benar versi pemerintah masih tertanam di kepala mereka dan diteruskan kepada murid-muridnya. Tentu saja ini menghambat pembaharuan materi pelajaran sejarah, karena materi sejarah versi orde barulah masih mengakar di kepala mereka. Hal lain yaitu banyak ditemukan guru sejarah yang bukan murni lulusan ilmu sejarah atau pendidikan sejarah.
Saat saya masih mahasiswa, saya sering menemukan bahwa guru sejarah diisi oleh lulusan geografi, sosiologi, pendidikan agama Islam, hingga orang dari ilmu eksakta. Hal ini juga menghambat karena logika sejarah sama sekali berbeda dengan logika ilmu-ilmu lain, apalagi ilmu eksakta. Dalam sejarah, versi kebenaran bisa bermacam-macam tergantung dari mana perspektif tersebut dilihat. Bermacam-macam versi inilah yang mengakibatkan guru lebih pragmatis sehingga menggantungkan pembelajarannya kepada materi versi pemerintah.
Lagi-lagi, versi sejarah pemerintah yang akarnya bisa ditemui hingga pemerintahan Orde Baru memainkan peran penting untuk mengganggu pembaruan narasi dalam buku teks. Masalah lain terkait dengan guru, khususnya guru sejarah, adalah kesejahteraannya. Problem kesejahteraan guru menjadi perbincangan yang tidak pernah habis didiskusikan untuk dicarikan solusi terbaik.
Saya sering menemukan bahwa guru sejarah yang masih honorer dibayar sangat murah, dibayar per jam mata pelajaran. Hal ini diperparah saat kurikulum merdeka memperpendek jam pelajaran sejarah sehingga jam mengajar guru sejarah berkurang dan akibatnya gaji mereka juga berkurang. Hal inilah yang menjadi problem karena, tidak menutup kemungkinan, bahwa kebutuhan dana untuk melakukan up grade pengetahuan, misalnya membeli buku, membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Jika kita melihat dari perspektif guru pada umumnya, buku bukanlah kebutuhan primer yang harus segera dituruti. Maka dari itu, mereka lebih baik untuk membelanjakan gajinya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka daripada membeli buku.
Pada akhirnya, guru hanya akan menggunakan buku teks sejarah versi pemerintah. Jika ada yang bilang, “lho, kan bisa download di internet artikel-artikel ilmiah berkaitan dengan sejarah? Bahkan kita bisa mengunduh sumber primer,” faktanya tidak semudah itu karena penjelasan di artikel jurnal ilmiah terkadang kurang lengkap jika dibandingkan dengan buku. Sumber primer yang tersedia pun banyak yang berbahasa Belanda. Kesulitan bahasa inilah banyak yang dihadapi oleh guru-guru sejarah kita, walaupun tidak semua. Peserta didik juga tidak luput dari permasalahan.
Bukan menjadi rahasia jika peserta didik kita rendah dalam minat membaca. Secara umum, laporan dari PISA 2018 menyatakan bahwa tingkat literasi di Indonesia berada di posisi 73 dari 78 negara peserta (PISA, 2018). Rendahnya posisi tingkat literasi di Indonesia tidaklah terjadi pada tahun 2018 saja, akan tetapi tahun-tahun sebelumnya (Widyani dkk, 2016). Dalam perspektif pembelajaran sejarah, membaca merupakan salah satu kunci utama dalam mendapatkan pengetahuan tambahan. Karena kebanyakan karya-karya historiografi berbentuk tulisan. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang berbentuk video atau audio, tetapi jika dibandingkan dengan tulisan perbedaannya terlalu lebar.
Pembaruan materi sejarah hanya akan memberikan bacaan baru kepada peserta didik dan menimbulkan pertanyaan: apakah memberikan bacaan yang baru bisa mengatasi masalah? Buku yang mereka pegang sekarang, berdasarkan pengalaman saya, hanya menjadi pajangan di tas mereka dan dibaca hanya menjelang akan diadakannya ujian saja. Kenyamanan yang telah bertahun-tahun yang diberikan Orde Baru terkait dengan materi sejarah di buku teks terlalu mengakar di peserta didik kita.
Maka, pertanyaan yang seharusnya diajukan bukanlah “perlukah materi sejarah diperbarui? Akan tetapi, terlebih dahulu harus diketahui, sudah siapkah guru dan siswa menerima pembaruan materi sejarah? Saya percaya bahwa sejarawan kita banyak sekali yang berkualifikasi untuk melakukan perbaruan narasi sejarah buku teks sejarah. Akan tetapi, kembali lagi, apakah guru dan peserta didik siap untuk menerima materi yang baru? Dimana mereka harus membaca dan menguasai lagi materi baru tersebut. Apakah mereka siap untuk menyisakan waktu mereka untuk belajar materi yang baru di tengah kegiatan mengajar dan administrasi pembelajaran yang banyak? Siapkah mereka untuk mengeluarkan uang mereka untuk melakukan up grade diri? Siapkah mereka untuk diruntuhkan ingatan mereka tentang romantisme masa lalu? Siapkah peserta didik untuk membaca lagi narasi baru tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus ditanyakan terlebih dahulu jika hendak melakukan perubahan narasi sejarah buku teks. Alih-alih “memperbarui” narasi buku teks sejarah. Saya lebih memilih untuk “memodifikasi” narasi sejarah buku teks yang sudah ada. Memodifikasi lebih bisa diterima karena tidak menghilangkan narasi yang sudah lama ada. Memodifikasi sambil melakukan perubahan materi secara evolutif dan mencoba untuk mempersiapkan guru-guru sejarah di masa yang akan datang. Jika dibandingkan dengan kata “diperbarui” maka yang terjadi adalah narasi yang ada dihilangkan dan diganti yang baru. Hal tersebut hanyalah akan menambah masalah baru.
Memperbarui narasi buku teks sejarah memang kompleks, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Mau tidak mau, suka tidak suka, guru dan peserta didik pasti terkena imbasnya. Karena sebenarnya, data lapangan yang saya temui, pembelajaran sejarah sangatlah bergantung dengan buku teks. Bahkan dalam tataran lebih parah, buku teks sejarah menjadi satu-satunya sumber belajar sejarah dan menjadi semacam kitab suci yang kebenarannya mutlak. Dimana guru hanya menyuruh peserta didiknya untuk membaca dan merangkum apa isi buku teks tersebut. Sehingga, ketika ada pembaruan, apakah mereka siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi dan menghadapi masalah baru dimana masalah-masalah yang sebelumnya belum pernah mendapatkan solusi yang serius?
Muhammad Renaldi Saifullah, Alumni Universitas Negeri Malang. Kerap menulis karya ilmiah di lingkungan kampus.