Ganti menteri, ganti kurikulum. Ungkapan ini rasanya sudah tak asing lagi bagi banyak orang, dan dirasakan para siswa di Indonesia. Dalam beberapa tahun sekali, kebijakan pendidikan di Indonesia seringkali mengalami perubahan. Hal ini diketahui sudah terjadi sejak era Orde Lama, dimana dunia pendidikan kerap dijadikan kendaraan politik, sehingga kepentingan-kepentingan penguasa seringkali dituangkan ke dalam kurikulum. Inilah yang kemudian menyebabkan kurikulum sekolah berubah-ubah tiap beberapa tahun sekali. (Tilaar, 2006:172).
Perubahan kurikulum umumnya dapat berupa penambahan atau penghapusan mata pelajaran, penggantian metode pembelajaran, maupun penggantian isi materi dari pelajaran itu sendiri. Dalam konteks mata pelajaran sejarah, rasa-rasanya mata pelajaran yang satu ini layak sekali untuk mendapatkan pembaruan, terutama dalam isi materinya.
Penulis yang merupakan alumni Ilmu Sejarah seringkali bertanya-tanya. Apakah materi sejarah yang selama ini diajarkan di sekolah sesuai dengan kebutuhan siswa? Apakah materi pelajaran ini sesuai dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman?
Berkaca dari pengalaman penulis, selama ini mata pelajaran sejarah faktanya berada di “kasta” terendah dalam “hirarki” mata pelajaran di sekolah. Pandangan ini tak lepas dari minimnya jatah jam pelajaran sejarah dalam seminggu, serta kontribusi nilainya di raport siswa secara umum yang secara umum tidak berpengaruh besar. Selain itu, materi yang cenderung monoton dan stagnan, seringkali juga diajar dengan cara yang membosankan, sehingga makin memperparah citra mata pelajaran yang satu ini. (Anggara, 2007:102).
Keadaan-keadaan tadi menyebabkan mata pelajaran sejarah kemudian dipandang sebelah mata oleh siswa di sekolah. Apa yang mereka dapat dalam pelajaran ini pada akhirnya akan terlupakan begitu saja seiring berjalannya waktu.
Padahal jika dikemas secara menarik, sejarah adalah mata pelajaran yang yang menyenangkan bagi siswa dan ilmu yang disampaikan kepada siswa dapat menjadi pengethauan dasar yang dapat terpatri di luar kepala.
Selain cara mengajar yang keliru, problematika yang menimpa mata pelajaran sejarah juga terdapat pada materi-materi yang diajarkan di sekolah. Menurut penulis, permasalahan yang umum dijumpai dalam materi sejarah antara lain: pertama, Pembahasan yang hanya menyentuh permukaan. Kedua, Hanya menulis hitam diatas putih. Ketiga, Terlalu Indonesia-sentris. Keempat, tidak mengikuti perkembangan zaman. Kelima, melewatkan beberapa peristiwa yang sebenarnya penting.
Pada pembahasan poin pertama, salah satu materi yang dibahas secara dangkal adalah bab Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949-1950. Meski hanya seumur jagung, namun bukan berarti ini menjadi alasan bahwa bab ini tidak perlu dibahas secara utuh. Siswa umumnya hanya mengetahui bahwa Indonesia pernah berbentuk sebagai negara serikat, namun tidak mengetahui tentang bagaimana tata negaranya, mengapa hanya bertahan setahun, dan lain sebagainya. Materi ini hanya lewat begitu saja sebelum akhirnya terkikis habis oleh materi berikutnya.
Contoh lainnya adalah kebijakan-kebijakan era Orde Baru. Di buku paket sejarah atau Lembar Kerja Siswa (LKS) mungkin hanya tertulis Pelita, Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan Dwifungsi ABRI. Syukur-syukur jika dibahas lebih dari satu halaman. Jika ditanya apa itu GBHN, mereka mungkin hanya akan mampu menjawab kepanjangannya saja, tanpa pernah mengetahui arti, maksud, dan tujuan yang sebenarnya.
Lalu penulisan sejarah di Indonesia kerap hitam diatas putih saja. Ini sangat umum dijumpai, terutama dalam bab-bab yang membahas mengenai tokoh nasional. Penulisan biografi tokoh pelaku sejarah yang berlebihan terkadang menutupi kekurangan sang tokoh tersebut. Padahal sejarah tidak sesederhana putih adalah baik, dan hitam adalah jahat. Sukarno misalnya. Dalam sejarah, Sukarno ditulis sangat ambisius dalam menggelar proyek-proyek “strategisnya” yang kerap disebut Politik Mercusuar. Mulai dari pembangunan Gelora Bung Karno, penyelenggaraan Asian Games 1962, pesta olahraga negara-negara berkembang yang disebut Games of New Emerging Forces (GANEFO) dan lainnya. Namun buku sejarah tidak menulis bagaimana konsekuensi dari seluruh proyek prestisius tersebut, akibat yang ditimbulkan, serta dampak terhadap rakyat dan ekonomi negara secara keseluruhan.
Dalam konteks pembahasan yang lebih luas, misalnya, negara Indonesia kerap ditulis sebagai korban penjajahan selama ratusan tahun oleh bangsa-bangsa Eropa. Namun apakah ada materi yang membahas bahwa negara Indonesia juga pernah melakukan penjajahan? Tentunya ini menciderai pembukaan konstitusi Indonesia yang mana berbunyi “kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.
Bagi yang belum tahu, Indonesia pernah melakukan invasi terhadap Timor Leste dan mendudukinya. Tindakan ini kurang lebih sama seperti Rusia pada tahun 2014 ketika menganeksasi Krimea dari Ukrania dan menjadikan wilayah ini sebagai salah satu “provinsi” mereka.
Bersamaan pula dengan penulisan sejarah yang hitam diatas putih, materi yang disampaikan oleh guru juga cenderung melihat hanya dari satu sudut pandang saja, yaitu Indonesiasentris. Disatu sisi, ini merupakan hal yang bagus agar dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme siswa. Namun disisi yang lain, wawasan yang didapat menjadi terbatas dan sempit. Sudut pandang seperti ini dapat ditemui di hampir setiap materi yang membahas mengenai peristiwa-peristiwa penting.
Contohnya adalah bagi sebagian besar siswa (dan masyarakat Indonesia pada umumnya), kemerdekaan Indonesia dianggap jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 ketika Sukarno mengumandangkan proklamasi. Namun sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang yang lain, Indonesia baru merdeka pada tanggal 27 Desember 1949 ketika negara ini mulai diakui kedaulatannya oleh negara-negara lain. Bukankah salah satu unsur terbentuknya suatu negara adalah adanya pengakuan dari negara lain?
Selain itu, peristiwa pengeboman MacDonald House di Singapura yang dilakukan oleh Usman dan Harun. Bagi masyarakat Indonesia, aksi dua tokoh yang terlibat langsung, yaitu Usman dan Harun, dianggap sebagai tindakan heroik. Bahkan nama keduanya diabadikan sebagai pahlawan nasional dan dijadikan sebagai nama kapal KRI Usman-Harun. Namun dalam kacamata internasional, tentu saja tindakan yang dilakukan oleh keduanya dianggap merupakan aksi terorisme. Ditambah pada saat itu Singapura juga masih merupakan bagian dari Malaysia, yang mana pengeboman ini masih satu rangkaian dengan peristiwa Konfrontasi Indonesia-Malaysia, akibat tidak terimanya Sukarno terhadap pembentukan negara boneka Malaysia yang disponsori oleh Inggris pada dekade 1960-an.
Lalu poin keempat, tidak mengukuti dengan perkembangan zaman. Menurut Purwanto (2006:268), sebagian besar guru sejarah di Indonesia tidak mengikuti hasil penelitian yang terbaru. Materi buku sejarah yang diajarkan oleh mereka pun juga demikian. Hal ini dapat dijumpai pada bab manusia purba, yaitu klasifikasi Meganthropus paleojavanicus, yang mana sudah ditetapkan sebagai spesies kera besar non-homini sejak tahun 2019. (Clement, 2019:6). Meskipun sejarah masuk ke dalam rumpun humaniora, namun apabila materi pembahasannya dapat dibahas secara sains dan ilmiah yang kebenarannya mungkin dapat berubah sewaktu-waktu seiring berkembangnya zaman, maka bukankah seharusnya terdapat edisi revisi yang disesuikan dengan pembaruan tersebut?
Dan yang terakhir, melewatkan beberapa peristiwa penting. Frasa “sejarah ditulis oleh pemenang” mungkin benar adanya jika konteksnya menyangkut isi materi buku sejarah yang diajarkan di Indonesia. Jika diatas tadi terdapat istilah Indonesia-sentris, maka disini terdapat istilah baru yaitu Soeharto-sentris. Meskipun rezim Orde Baru telah runtuh puluhan tahun yang lalu, namun jejak-jejak kejayaannya mewariskan penulisan sejarah yang cenderung “disetir”. Pola pikir siswa diarahkan sesuai dengan apa yang tertulis di buku, namun tidak diajarkan kritis terhadap isinya. Contohnya terhadap peristiwa G30S (yang disebut orde baru sebagai G30S/PKI) yang terjadi pada tahun 1965.
Selain “dibesar-besarkan” (menurut kepentingan pemenang yang berkuasa), siswa juga tidak diajarkan dan diberitahu apa peristiwa yang terjadi sesudahnya. Siswa hanya tahu bahwa PKI memberontak pada tahun 1965, serta Soeharto mengambil alih kekuasaan sesudahnya. Namun mereka tidak mengetahui bahwa terdapat pembantaian ratusan ribu jiwa penduduk Indonesia yang terjadi diantara jeda kurun waktu tersebut. (Anggara, 2007:103)
Dalam periodisasi sejarah Indonesia pun demikian, terdapat Masa Bersiap yang seharusnya dijelaskan dalam buku sejarah di sekolah. Namun realitanya, lagi-lagi hitam diatas putih, karena mungkin pelakunya menyangkut warga Indonesia asli, maka peristiwa ini dianggap tidak perlu diabadikan di memori setiap pelajar Indonesia.
Dalam buku sejarah sendiri, periode Masa Bersiap tertimpa oleh materi Masa Revolusi Nasional, yang isinya sebagian besar berupa perjanjian dan agresi-agresi militer. Nasib yang sama juga menimpa peristiwa Sinterklas Hitam (1957) dan Pembantaian Santa Cruz (1991). Sependek pengetahuan penulis, satu-satunya “dosa” negara Indonesia yang berani ditulis di buku sejarah untuk diketahui siswa adalah peristiwa pelanggaran-pelanggaran HAM pada masa Orde Baru seperti Marsinah, Tanjung Priok, penculikan aktivits, serta insiden 13 Mei 1998.
Dari kelima faktor yang penulis kemukakan diatas, sepertinya sudah cukup untuk menjadi alasan mengapa mata pelajaran sejarah layak mendapatkan pembaruan di dalam isi materinya. Penulis sebenarnya juga menyadari betul bahwa porsi mata pelajaran sejarah juga tidak sebanyak mata pelajaran lainnya, sehingga materinya seringkali tidak dapat tersampaikan secara optimal. Namun kembali lagi ke pemangku kebijakan, apakah mereka perlu melaksanakan penggantian kurikulum (sekali lagi) untuk mengadakan revisi terhadap pelajaran yang satu ini, agar membuka mata hati pelajar Indonesia bahwa sejarah bukanlah mata pelajaran yang dapat ditinggal tidur lagi.
Alvie Sheva Zahira, Sarjana Ilmu Sejarah Universitas Airlangga. Suka menulis opini di beberapa media. Tertarik pada desain grafis dan kini menjadi freelancer desainer.