Kenapa Kalimantan Disebut Borneo?
Pulau di Asia Tenggara ini salah satu yang terbesar di dunia. Akar nama Borneo sendiri berasal dari sana.
ALKISAH, berlayarlah sebuah kapal bernama Borneo dengan kapten kapalnya bernama De Barito. Namun dalam perjalanannya, kapal itu karam di pulau bernama Kambang (kini terletak di tengah Sungai Barito, Kalimantan Selatan). Dari situlah kemudian nama kapal itu dijadikan nama pulau tempat karamnya kapal tersebut, Borneo. Lalu, sungai tempat Pulau Kambang berada, yang melintas di Pulau Borneo atau Kalimantan, dinamakan pula Sungai Barito. Begitulah cerita rakyat yang beredar secara turun-temurun.
Beberapa ahli menyebut Borneo justru berasal dari kata “Brunei” atau “Burney”. Brunei adalah daerah yang terletak di sisi utara Kalimantan, yang kini merupakan sebuah negara berdaulat dengan nama Brunei Darussalam. Slamet Muljana dalam Sriwijaya mencatat bahwa Brunei terkait dengan kata “Porunai”. Nama ini terkait dengan kisah koloni dari orang India Selatan di sekitar daerah tersebut. Di daerah asalnya, ada sungai bernama Travancore, belakangan disebut Tamiraparani. Slamet Muljana kurang setuju dengan pendapat GTM McBryan bahwa Brunei berasal dari kata “Burni: (bahasa Sansekerta yang artinya kesibukan).
Oleh orang Portugis, seperti dicatat Slamet Muljana, kata “Brunei” atau “Burney” itu diucapkan Borneo. Penyebutan nama pulau ini oleh orang Portugis lalu diikuti orang-orang Eropa lain. Alhasil orang kulit putih dari benua Eropa dan Pulau Inggris menyebutnya sebagai Borneo juga.
Sementara, orang Indonesia –yang memiliki ¾ wilayah pulau tersebut– menggunakan Kalimantan untuk menamakan pulau tersebut secara keseluruhan. Kendati masih gelap, asal-usul lema Kalimantan kemungkinan berasal dari bagian utara.
“Asal-usul nama Kalimantan tidak jelas. Di Sarawak, istilah Kelamantan mengacu pada masyarakat pemakan sagu di Kalimantan bagian utara,” tulis Barbara Charlton dan John Tietjen dalam The Facts on File Dictionary of Marine Science.
Peran penting Kalimantan telah muncul sejak berabad-abad silam. Setidaknya ditandai oleh adanya Kerajaan Kutai pada ke-6 dan banyak kerajaan setelahnya. Eksistensi Kalimantan telah dicatat para pengelana di masa pelayaran dunia, seperti Tome Pires asal Portugis.
“Kalimantan terdiri atas banyak pulau, besar dan kecil. Pulau-pulau tersebut hampir semuanya ditinggali oleh orang pagan, hanya pulau utamanya yang ditinggali oleh orang Moor; belum lama sejak rajanya menjadi seorang Moor. Mereka tampak seperti orang-orang yang biasa berdagang,” catat Tome Pires dalam Suma Oriental.
Pires yang mencatat sekitar tahun 1512-1515 itu menyebut bahwa pulau tersebut menghasilkan sagu, beras, ikan, dan daging. Orang-orang dari daerah tersebut kala itu berdagang dengan orang Malaka. Selain beras, ikan dan sagu, Kalimantan juga menghasilkan emas, madu, kamper, dan lilin. Dari Malaka, para pedagang asal Kalimantan membawa kain, manik-manik kaca, dan mutiara.
Di zaman kolonial, Borneo terbagi dua: sebagian dimiliki Kerajaan Belanda dan sebagian milik Inggris. Wilayah yang dimiliki Belanda, di bagian selatan, luasnya sekira tiga kali lipat wilayah yang dimiliki Inggris. Inggris hanya mendapat sepertiga di utara: Brunei, Sabah, dan Serawak.
Pemerintah Hindia Belanda membagi Kalimantan menjadi dua bagian: Residentie Westerafdeeling van Borneo (Keresidenan Borneo Bagian Barat) dan Residentie Zuider di Oosterafdeeling van Borneo (Keresidenan Borneo Selatan dan Timur). Tiap keresidenan membawahi kerajaan-kerejaan yang di antaranya sudah berakar lama sebelum orang Eropa tiba di Kalimantan. Di barat ada Sambas, Pontianak, Kubu, Mempawah, Sanggau, Sukadana dan lainnya. Di Selatan ada Kesultanan Banjar dan Waringin. Di timur ada Kutai, Sambaliung, Gunungtabur, Bulungan dan Paser.
Baca juga: Kutai Kartanagara pada Zaman Kuno
Setelah Perang Dunia II usai, kepemilikan atas Kalimantan berubah. Bagian utara masih di bawah Kerajaan Inggris, sementara bagian selatannya berganti pemilik dari Belanda ke Republik Indonesia. Setelah 1960-an bagian utaranya menjadi milik Malaysia yang merdeka dari Inggris. Lalu pada 1984, di utara Kalimantan lahir negara baru bernama Brunei Darussalam –yang merupakan penerus Kesultanan Brunei pada masa pelayaran samudera.
Kendati menjadi pemilik wilayah terluas Kalimantan, Indonesia bukan negara terkaya di antara dua negara lain pemilik wilayah Kalimantan. Negara terkaya di Kalimantan justru yang memiliki wilayah paling sedikit, yakni Brunei, nama kesultanan yang dulu menginspirasi orang Eropa untuk menyebut seluruh pulau Kalimantan selama berabad-abad kolonialisme Eropa.*
Tambahkan komentar
Mengapa Borneo Itu Kalimantan?
[catatan ini tulisan melihat dari sisi ke-indonesian atau sesuatu yg Indonesia itu]
Ben Abel
Peneliti & Pustakawan Shouth-East Asian Program, Cornell University, USA
Jika mengikuti paparan buku-buku lawas, ensiklopedi maupun kamus, seperti: Encyclopaedie van Nederlandsch-Indies (1918), Beknopte Encyclopaedie Nederlnadsch-Indie (1921), tidak satupun yang memuat kata Kalimantan, tetapi Borneo. Dalam penjelasan maupun keterangan tentang nama pulau Borneo ini pun sama sekali tiada tertulis istilah maupun kata Kalimantan.
Namun ketika kita membuka Ensiklopedia Nasional Indonesia (1990), maka kita temukan keterangan tentang Kalimantan sebagai berikut: “…dulu dikenal sebagai Borneo.” Bahkan dalam Eksiklopedia Malaysiana (1995), dinyatakan, “pulau ini dikenali dengan nama Borneo.” Sedangkan dalam buku Robert Cribb, Historical Dictionary of Indonesia (1992) dijelaskan; “Kalimantan is used to denote both the island of Borneo and, as here, its Southern, Indonesia portion …” [Kalimantan adalah nama yang dipakai untuk menunjukkan kedua bagian dari pulau Borneo, dan di sini maksudnya adalah bagian Selatan, yaitu porsi Indonesia …] jika kita buka juga Merriam-Webster’s Geographical Dictionary (3rd edtion, 1997) dijelaskan, “Borneo, Island in the Malay Archipelago, …S[outh] section (Indonesian Ka-li-man-tan …)” [Borneo, pulau dalam kepulauan Malaya … bagian selatannya (dalam bahasa Indonesia Ka-li-man-tan …]
Bisakah dijelaskan bahwa nama maupun istilah Kalimantan ini baru ‘resmi’ atau malah dibuat secara sengaja dengan maksud membedakan teritori kewilayahan antara tiga negara: Malaysia, Brunei dan Indonesia? Jika kita telusuri kembali ke awal sejarah kebangkitan nasional Indonesia, yang diklaim bermula dari Boedi Oetomo (1902), maka ini sangat mengherankan. Organisasi golongan priyayi Jawa yang dinamakan Boedi Oetomo, ini malah banyak menggunakan bahasa Jawa dalam penerbitannya, ketimbang bahasa Melayu [masa itoe]. Juga, tidak ditemukan istilah Kalimantan bagi pulau yang dikenal luas sebagai Borneo. Bisa saja kita menebak lanjut, ketika Pertemoean Pemoeda (1926) sampai Kongres dan Soempah Pemoeda (1928) mestinya ada dimulai penggunakan istilah Kalimantan. Faktanya, dalam setiap dokumen dari masa itu tidak ada, selain istilah-istilah Jong Borneo dan Borneo Bond, yang dikenal sampai sekarang pada pelajaran sejarah nasional Indonesia di sekolah-sekolah. Bahkan, dalam terbitan Barita Bahalap, buletin terbitan missi kekristenan di Bandjermasih (sekarang Banjarmasin) maupun berbagai dokumen dari misionaris zaman masa awal Kristen bermisi di tempat ini, tidak terdapat kata Kalimantan. Jika buku Indonesia Menggugat (1951) yang merupakan dokumen politik dari pidato pembelaan Ir. Soekarno di Bandung, 22 Desember 1930, memang merupakan cetak sesuai aselinya, maka baru di sinilah ada istilah Kalimantan (halaman 15). Tetapi betapa anehnya, ketika pada tahun 1950 di Bandung, setahun sebelum Indonesia Menggugat terbit, terbitlah buku bergambar “Tanah Air Kita” yang didalamnya sama sekali tidak memakai istilah Kalimantan, tapi Borneo. Padahal buku karangan Niel A. Douwes Dekker, cucu dari pengarang Multatuli ini, dibantu oleh banyak orang Indonesia, bahkan oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia, serta memuat peta-peta dan banyak gambar. Dalam bab Borneo, diterangkan bahwa dalam masa akhir-akhir ini nama Kalimantan semakin meningkat kepopulerannya, bahkan mendapat pengakuan resmi para pejabat [In recent times the name Kalimantan has increased in popularity and has even found official recognition] (halaman 68). Maka, menjadi sangat aneh, tiba-tiba buku Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan (1993) menyatakan bahwa “…Kalimantan adalah nama yang lahir semasa kemenangan kerajaan Islam abad ke-16, pada saat Pangeran Samudra (Pangeran Suriansyah) alias Maruhum memegang tampuk pemerintahan di Banjarmasin,” (halaman 76). Jelas itu asalnya dari narasumber lisan, sekalipun sama sekali tidak dipaparkan dalam buku karena ketika Oliver van Noort mengunjungi pulau ini pada tahun 1601, dan membuat peta Borneo seperti yang tercantum dalam buku tua yang diedit oleh Isaac Commelin, Begin ende voortgang vande vereenigde Neederlandtsche Geoctroyeerde Oost-indische Compagnie (1646), sama sekali tidak mempunyai informasi istilah Kalimantan. Bisa berarti dia tidak pernah mendengar. Padahal Banjarmasin tertera sebagai Bandermachin. Bahkan buku masih anyar dari Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880 (2001) pun menunjukkan sejauh data dan informasi yang dikumpulinya sepanjang masa 1600-1880, sama sekali tidak ada istilah Kalimantan. Ya, jika memang sudah dikenal tentunya Encyclopaedie van Nederlandsch-Indies, yang diterbitkan tahun 1918, maupun Beknopte Encyclopaedie Nederlnadsch-Indie tahun 1921, akan memuatnya.
Tetapi kita harus tetap mengherani ini semua. Bahkan, mencurigai -lanjuthttps://www.facebook.com/legacy/notes/10150434140371127
Belum ada komentar