Efisiensi Mahathir Potong Gaji Menteri
Tak hanya Soeharto, Mahathir Mohamad pun pernah potong gaji kabinet. Toh para menteri takkan kelaparan walau gajinya dipotong, katanya.
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto menempuh jalan efisiensi dengan memangkas anggaran hampir semua kementerian dan lembaga (K/L). Hanya 10 K/L yang tak terkena pemangkasan anggaran, antara lain Kementerian Pertahanan, MPR, Badan Gizi Nasional, dan Polri.
Hal itu menuai protes berbagai kalangan. Sebab, ada paradoks jika melihat gemuknya kabinet dan pengangkatan utusan-utusan khusus serta staf-staf khusus baru. Satu dari sekian protes adalah demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” yang dihelat di Jakarta dan kota-kota lain pada Senin (17/2/2025). Aksi yang dihelat aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan koalisi masyarakat sipil itu terus digelar hingga puncaknya pada Kamis (20/2/2025).
Efisiensi dengan pemotongan anggaran begitu jelas memengaruhi aneka sektor, mulai pendidikan hingga infrastruktur dasar. Oleh karenanya beberapa tuntutan yang disuarakan “Indonesia Gelap” antara lain pencabutan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 yang menetapkan pemangkasan anggaran, menolak poin Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) tentang izin perguruan tinggi mengelola tambang, mendesak penyelesaian tunjangan dosen dan tenaga kependidikan, dan evaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Pada dasarnya, efisiensi wajar dalam setiap upaya mengatasi kekurangan anggaran. Namun akan menimbulkan gejolak tersendiri jika memengaruhi pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat, seperti pendidikan dan infrastruktur dasar.
“Pengurangan Rp80 triliun (anggara Kementerian Pekerjaan Umum) dampaknya ke mana-mana. Kalau memang tidak bisa diubah lagi ya ketuk (palu) saja. Toh yang akan bertanggungjawab nanti pemerintahan secara keseluruhan ketika rakyat tidak dapat bantuan apa-apa. Ketika jalan, irigasi, ketahanan pangan tidak terbangun. Ini pemerintahan yang sudah kita sepakati, toh? Ya harus kita terima sama-sama,” kata Adian Napitupulu, anggota Komisi V DPR RI, dalam rapat dengar pendapat dengan pemerintah dengan agenda evaluasi APBN 2024 dan program kerja 2025, ditayangkan di akun Youtube TVR Parlemen, 6 Februari 2025.
Menyunat Gaji Kabinet
Jalan yang ditempuh Presiden Prabowo amai berlainan dengan cara yang diambil pendahulunya, Presiden Soeharto, atau Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad. Keduanya sempat mengambil solusi memotong gajinya sendiri dan gaji para anggota kabinetnya atas nama efisiensi dengan konteks yang serupa tapi tak sama.
Jika Presiden Prabowo memotong anggaran sejumlah K/L yang salah satu tujuannya menopang program MBG yang membutuhkan dana besar, Presiden Soeharto di pengujung kekuasaannya juga pernah mencanangkan program nyaris serupa tapi khusus untuk keluarga tidak mampu dan korban PHK imbas Krisis Moneter 1997-1998. Mengutip Kompas edisi 18 Maret 1998, program makanan gratis itu termasuk dalam “Program Kesetiakawanan Sosial” yang diampu Departemen Sosial.
Program membutuhkan dana yang didapat dari efisiensi berupa pemotongan gaji presiden, para menteri, dan para pejabat setingkat eselon I selama setahun dan sumbangan dana para petinggi korporasi swasta. Dalam rapat koordinasinya, nantinya masyarakat miskin dan korban PHK massal akan mendapatkan kupon yang didistribusikan di tingkat kelurahan hingga RT dan RW untuk ditukarkan dengan makanan gratis berupa nasi bungkus serta lauk dan sayurnya.
Baca juga: Program Kesehatan yang Merakyat di Zaman Silam
Hal serupa juga dilakukan PM Mahathir, bahkan beberapa kali. Di awal pemerintahannya pada 1980-an, saat krisis moneter 1997, dan ketika diterpa Pandemi Covid-19.
“Tidak seperti pendahulunya Husein Onn (PM Malaysia 1976-1981), Dr. Mahathir mencoba lebih berpihak pada kehidupan sehari-hari masyarakat umum Malaysia. Untuk mengefisienkan belanja anggaran, ia bahkan memotong gajinya sendiri dan para menteri di kabinetnya, mengurangi sejumlah jabatan publik dan menghapus beberapa tunjangan dan keistimewaan fasilitas pejabat,” tulis jurnalis senior Barry Wain dalam Malaysian Maverick: Mahathir Mohamad in Turbulent Times.
Kebijakan menyunat gaji dirinya dan anggota kabinetnya mulai diterapkan Mahathir di awal rezimnya tak lama usai memenangi Pemilu 1982. Tujuannya untuk menghemat anggaran dalam rangka mengatasi dampak resesi ekonomi global yang menerpa kurun 1980-1982.
Baca juga: Krisis Perbankan hingga Gesekan Lembaga Pemberantasan Korupsi
Mengutip Hajrudin Somun dalam Mahathir: The Secret of the Malaysian Success, PM Mahathir memulai dari dirinya sendiri dengan memotong 1.000 ringgit dari total 7.500 ringgit gajinya, lalu diikuti Wakil PM Dato Musa Hitam yang juga dipangkas 1.000 ringgit dari total gaji bulanan 6.500 ringgit mulai 3 Juni 1982. Pengebirian gaji menjadi kewajiban di level pemerintahan federal, sedangkan di level pemerintahan negara bagian diserahkan kepada otoritas masing-masing.
“Saat itu sebenarnya investasi asing sudah mulai masuk tapi belum sebanyak yang diharapkan. (Maka) mulai 1982 sampai 1987, tunjangan-tunjangan, gaji, dan bonus pegawai negeri sampai pejabat tingkat tertinggi dipotong. Juga pada anggaran tahun 1987 ditetapkan semua pejabat dan pegawai negeri yang menerima uang pensiun lebih dari sekali diharuskan membayar 100 persen pajak dari uang pensiun keduanya dan seterusnya,” tulis Hajrudin.
Menanggapi krisis moneter 1997, PM Mahathir kembali menerapkan kebijakan pemotongan gaji. Bedanya dengan Soeharto, pemotongan gaji di kabinet Mahathir bukan untuk mengongkosi program makanan gratis tapi memperkuat sektor finansial, mengingat –tak seperti Presiden Soeharto– PM Mahathir menolak tawaran bailout dari Bank Dunia dan IMF.
“Jika kami melakukan pinjaman dari mereka, IMF menuntut akan mengambil-alih perekonomian kami. Itu yang tak bisa kami terima. Karena kami sedang dalam proses tindakan afirmatif untuk menyetarakan pertumbuhan (ekonomi) dari berbagai lapisan masyarakat,” terang Mahathir kepada CNA Insider dalam laporan khusus, “Remembering 97 Crisis”, 25 Juli 2017.
Baca juga: Dari Piano Casablanca hingga Perang Dagang
Krisis moneter 1997 membuat PM Mahathir tetap bertahan meski sebelumnya sudah berniat untuk mundur pada 1998 lantaran sudah 18 tahun memimpin. Ia bahkan sampai berkonflik dengan Menteri Keuangan Anwar Ibrahim, yang menyarankannya tetap ambil tawaran IMF dan menganjurkan pendekatan perdagangan bebas.
“Tak seperti Thailand, Indonesia, dan Korea (Selatan), Malaysia menolak intervensi IMF yang tentunya juga poin syarat lainnya adalah meninggalkan beberapa proyek infrastruktur besar yang diinginkan Mahathir. Meski begitu Menteri Keuangan Anwar Ibrahim sedikitnya tetap bisa membujuk Mahathir untuk meninggalkan beberapa proyek besar lainnya,” tulis Robert Cribb dalam artikel “History: The Mahathir Years” yang termaktub dalam buku The Far East and Australia.
Tak hanya menolak tawaran IMF, PM Mahathir juga menampik opsi reformasi dan restrukturisasi perindustrian yang mengendalikan sektor-sektor ekonomi swasta. Dengan menolak intervensi asing dan memperkuat kontrol permodalan, ia bermaksud melindungi perekonomian nasional dari lika-liku pasar internasional. Salah satu upayanya adalah dengan efisiensi dan penghematan melalui –lagi-lagi– pemotongan gaji pejabat.
“Pada awal Desember 1997 semua menteri federal dan negara bagian terkena 10 persen pemangkasan gaji, serta pemotongan gaji dan tunjangan para anggota parlemen hingga birokrat dengan persentase yang lebih kecil,” lanjut Cribb.
Mahathir melepas jabatannya pada 24 Februari 2020, tepat sebelum badai Pandemi Covid-19 menerpa perekonomian Malaysia. Namun meski begitu ia masih duduk di parlemen mewakili Langkawi dan turut mengkritisi pengajuan APBN 2021 sebesar 332,5 triliun ringgit oleh pemerintahan PM Muhyiddin Yassin di parlemen. Ketimbang mengajukan anggaran begitu besar untuk mengatasi Covid-19, Mahathir menyarankan pemotongan gaji para menteri di kabinet dan pejabat lainnya hingga 30 persen.
“Tidak perlulah anggaran besar jika tidak berpengaruh pada standar sosial. Kita bisa memangkasnya. Masih ada orang bergaji tinggi yang melebihi standar kelaikan kebutuhan dan mestinya berkonsentrasi pada kelompok masyarakat yang di-PHK dan butuh makan sehari-hari. Saya mengusulkan semua menteri dipotong gaji 30 persen. Saya pikir mereka takkan kelaparan jika gajinya dipangkas,” tandas Mahathir dikutip Malay Mail, 12 November 2020.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Tambahkan komentar
Belum ada komentar