Krisis Perbankan hingga Gesekan Lembaga Pemberantasan Korupsi
Berikut ini sejarah krisis perbankan, aide memoire atau rancangan perjanjian Hatta, pemilihan panglima besar tentara, pendirian Perhimpunan Indonesia, dan gesekan lembaga pemberantasan korupsi.
1 November 1997 Krisis Perbankan
Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad meneken SK Menteri Keuangan No. 86/1997 yang melikuidasi sejumlah bank. Pertimbangannya, kesulitan keuangan bank-bank tersebut bukan hanya berdampak pada kelangsungan hidup usaha mereka, melainkan juga pada industri perbankan secara nasional.
Secara garis besar, jumlah bank yang dilikuidasi hampir berimbang, masing-masing sembilan bank yang lahir sebelum Paket Oktober (Pakto) tahun 1988 dan tujuh bank sesudah Pakto. Pakto merujuk pada paket kebijakan deregulasi perbankan pada 27 Oktober 1988 yang membuka kesempatan kepada swasta untuk mendirikan bank dengan persyaratan modal yang tak terlalu besar. Akibatnya, jumlah bank di Indonesia membengkak.
Sembilan bank sebelum Pakto adalah Bank Harapan Sentosa, Bank Pacific, Sejahtera Bank Umum, Bank Industri, South East Asia Bank, Bank Pinaesaan, Bank Jakarta, Bank Umum Majapahit Jaya, dan Anrico Bank. Sementara tujuh bank yang lahir sesudah Pakto: Bank Andromeda, Astria Raya Bank, Bank Mataram Dhanarta, Bank Guna, Bank Dwipa Semesta, Bank Citrahasta Dharmamanunggal, dan Bank Kosagrha Semesta.
Keputusan pemerintah dianggap sebagai langkah berani. Sebab, di antara bank-bank itu milik keluarga Cendana. Bahkan, Bambang Trihatmodjo (pemilik Bank Andromeda) dan Probosutedjo (pemilik Bank Jakarta) mengajukan sang menteri ke pengadilan.
Demi rasa keadilan, pemerintah memutuskan mengembalikan seluruh dana nasabah yang disimpan di 16 bank tersebut. Namun, keputusan likuidasi 16 bank pada 1 November 1997 dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang membuat terpuruknya sektor perbankan.
Baca juga: Jejak Setiawan Harjono dalam Bank Aspac
9 November 1948 Aide Memoire Hatta
Perdana Menteri Mohammad Hatta bertemu dengan D.U. Stikker, menteri luar negeri Belanda. Dalam pertemuan, Hatta menyampaikan aide memoire yang memuat tiga masalah pokok: 1. RI bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda membentuk pemerintah federal sementara. 2. Pemilihan umum untuk membentuk konstituante yang kemudian menjadi parlemen, diadakan enam bulan setelah pemerintah federal terbentuk. Konstituante ini nanti akan memilih presiden. 3. Perwakilan RI di luar negeri ditampung oleh pemerintah federal sementara.
Hatta juga menyinggung masalah angkatan perang. Dalam aide memorie, Hatta mengusulkan agar angkatan perang pemerintah federal terdiri atas unsur TNI, KNIL, dan batalion keamanan di masing-masing negara bagian. Komando angkatan perang itu berada di tangan pemerintah federal sementara, sedangkan Wakil Tinggi Mahkota Belanda hanya memegang komando atas angkatan perang Belanda. Setelah Negara Indonesia Serikat (NIS) terbentuk, TNI secara keseluruhan melebur ke dalam Angkatan Perang NIS.
Stikker setuju dengan usul Hatta. Namun, Dr. L.J.M. Beel selaku Wakil Tinggi Mahkota Belanda menolak adanya dua komando dalam angkatan perang pemerintah federal sementara dan peleburan TNI secara keseluruhan dalam angkatan perang itu. Dia ingin komando tunggal dan pembubaran TNI.
Upaya Hatta untuk menembus jalan buntu Perundingan Renville gagal. Kesepakatan mengenai angkatan perang tak tercapai.
Baca juga: Ketika Hatta Menolak Papua
12 November 1945 Pemilihan Panglima Tentara
OERIP Soemohardjo, kepala Markas Besar Oemoem (MBO) TKR di Yogyakarta, mengadakan rapat antarperwira. Rapat ini melibatkan para perwira yang paling rendah berpangkat letnan kolonel atau menjabat sebagai komandan resimen. Mereka hendak memilih pemimpin besar TKR.
Rapat perwira itu berlangsung gaduh. Para peserta datang ke ruangan rapat dengan menyandang pistol di pinggang. Kesemrawutan semakin menjadi-jadi saat setiap orang yang tampil bicara di forum selalu diteriaki kata “jelek” lalu dipaksa turun dari mimbar. Tak terkecuali Menteri Keamanan Rakyat ad interim Suljodikusumo, bekas daidanco Peta, dipaksa turun dari mimbar walaupun dia belum selesai berpidato.
Begitu tiba pada sesi pemilihan panglima besar TKR, suasana semakin riuh dan kacau. Setiap orang memaksakan diri untuk bicara di forum itu. Karena situasi ini, proses pemilihan pun dilakukan lewat pemungutan suara. Calon yang harus dipilih para peserta yakni Oerip Soemohardjo dan Soedirman, komandan Divisi V TKR Banyumas.
Hasilnya, Kolonel Soedirman unggul dengan 23 suara, sedangkan Oerip hanya mendapatkan 21 suara. Dengan demikian, Soedirman menjadi panglima besar TKR, sedangkan Oerip Soemohardjo menjadi kepala staf TKR.
15 November 1908 Pendirian Perhimpunan Indonesia
Empat mahasiswa berembug di sebuah restoran “Oost en West” di Gravenhage (Den Haag), Belanda. Mereka antara lain Soetan Casajangan Soripada, Soemitro, Sosrokartono, dan Hoessein Djajadiningrat. Dipimpin Soetan Casangan, mereka membicarakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Pasal demi pasal dibahas. Pada pasal 1, memuat pergaulan antara anggota. Kemudian dijelaskan lagi teknis cara memajukan pergaulan dalam beberapa ayat. Mereka mengemukakan ada empat cara seperti mengadakan rapat, ceramah, pertemuan hiburan, dan memperingati hari nasional bersama.
Kemudian pasal lain pun menyusul dibahas dalam rapat. Yang menarik dalam pasal keanggotaan, yang diatur dalam pasal 5 sampai 8. Indische Vereeninging menerima anggota donatur, dengan syarat, anggota tersebut memberikan iuran tahunan minimal f3 atau iuran sekali seumur hidup sebesar f15.
Pada tanggal inilah secara resmi diumumkan berdirinya Indische Vereeniging. Menurut Abdul Rivai dalam Student Indonesia di Eropa, azas dan tujuan organisasi ini adalah membikin lezing-lezing dan dansa-dansa pada pesta. Sama sekali tak ada tujuan mementingkan tanah airnya. Kesadaran itu baru muncul setelah Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat masuk. Kelak, pada 1922 ia berubah nama jadi Indonesische Vereeniging dan dua tahun kemudian jadi Perhimpunan Indonesia.
28 November 1960 Gesekan Lembaga Pemberantasan Korupsi
Sesuai saran Presiden Sukarno, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan), dan A.H. Nasution, ketua Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), bertemu secara pribadi. Pertemuan menghasilkan rumusan pembagian tugas antara Bapekan dan Paran. Bapekan fokus mengawasi dan meneliti, sedangkan Paran meretul aparatur yang tak berdaya guna. Dalam pertemuan, Nasution juga mengatakan tak ada maksud meretul Bapekan, apalagi hingga mengubah susunan maupun personelnya.
Pertemuan itu adalah imbas dari gesekan antara Bapekan dan Paran. Keduanya dinilai memiliki tugas dan wewenang yang sama dalam ranah pengawasan terhadap lembaga aparatur negara. Keduanya hampir terlibat konflik ketika Paran mencantumkan Bapekan sebagai instansi yang akan terkena retul. Tak jelas apa alasannya. Padahal, jumlah kasus yang sudah ditangani Bapekan tidaklah kecil.
Dengan adanya pertemuan itu, yang hasilnya dilaporkan kepada Sukarno, gesekan kecil dua instansi pemberantasan korupsi ini pun berakhir.
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 26 Tahun III 2015
Baca juga: Jatuh Bangun Lembaga Pemberantasan Korupsi
Tambahkan komentar
Belum ada komentar