Selintas Hubungan Iran dan Israel
Iran merangkul Israel di masa lalu tetapi langsung jadi musuh pasca-revolusi yang menumbangkan Dinasti Pahlavi.
SIRINE meraung-raung di kota-kota di selatan Israel pada Minggu (15/4/2024) dini hari seiring sejumlah serangan misil dan drone (pesawat nirawak, red.) Iran gagal dihalau sistem pertahanan iron dome. Serangan frontal Iran terhadap Israel ini buntut dari serangan bom Israel ke konsulat Iran di Damaskus, Suriah pada dua pekan sebelumnya.
Pada 1 April 2024, Israel menyerang konsulat Iran di Damaskus hingga menewaskan 16 orang, termasuk dua jenderal dan beberapa pejabat diplomatik Iran. Sebagai balasannya, Iran meluncurkan lebih dari 120 misil balistik dan 170 drone ke selatan Israel dengan sasaran Pangkalan Udara (Lanud) Nevatim di Gurun Negev. Basis militer dan pangkalan pesawat-pesawat F-35 “Lightning” itu dianggap Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) menjadi basis untuk menyerang konsulat Iran di Damaskus.
“Operasi terbatas (serangan misil dan drone) mencapai sebuah level kesuksesan yang melampaui ekspetasi kami,” klaim Panglima IRGC Mayjen Hossein Salami, dilansir Al Jazeera, Minggu (14/4/2024).
Baca juga: Apa Arti Pengibaran Bendera Merah Iran?
Sebaliknya, militer Israel, IDF, mengklaim bahwa 99 persen serangan Iran itu berhasil dihalau dan dicegat. Tak hanya oleh sistem pertahanan Israel tapi juga Amerika Serikat dan Inggris yang pro aktif membantu melindungi Israel dengan jet-jet tempurnya.
Sementara, Yordania menutup ruang udaranya. Alhasil, pesawat-pesawat Angkatan Udara (AU) Yordania turut “membantu” mencegat sejumlah drone Iran karena dianggap melanggar kedaulatan udaranya. Menjadi ironi karena Amerika-Inggris dan Yordania sama sekali tak pro aktif melindungi penduduk sipil Palestina dari serangan-serangan udara Israel yang melakukan genosida sejak Oktober 2023 dan sudah mengakibatkan 33 ribu jiwa jadi korban, di mana 70 persen di antaranya anak-anak dan perempuan.
Terhadap serangan Iran, perwakilan Israel “mengadu” ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dan menuntut sanksi terhadap Iran. Ironisnya, Israel sendiri tak patuh pada Resolusi DK PBB 2728 yang disahkan pada 25 Maret 2024, yang menuntut gencatan senjata dan penghentian serangan-serangan Israel terhadap penduduk sipil di Jalur Gaza, Palestina.
Serangan Iran ini jadi serangan frontal pertama terhadap Israel. Sejak 1980-an, Iran-Israel sekadar terlibat berbagai konflik proxy, utamanya sejak pemutusan hubungan diplomatik dan kebijakan Iran yang acap memberikan bantuan persenjataan kepada milisi Hezbollah dan Hamas dalam beragam konflik dengan Israel.
Dari Kawan Jadi Lawan
Hubungan Iran dan Israel sejak berdirinya negara zionis itu bak kawan jadi lawan. Iran dan Israel menikmati relasi manis diplomatik di era Dinasti Shah Pahlavi (1925-1979). Namun keduanya menjadi bebuyutan usai Revolusi Islam pada 1979.
Pemerintah Iran di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi sendiri masuk ke dalam 13 negara anggota PBB yang menolak Resolusi 181 Majelis Umum PBB terkait Rencana Partisi tanah Palestina pada 1947. Akan tetapi pada 1950 atau dua tahun setelah Israel berdiri sebagai negara, Iran menjadi negara mayoritas muslim terbesar kedua setelah Republik Türkiye yang memberikan pengakuan secara de facto terhadap kedaulatan Israel.
“Pada 6 Maret 1950 Iran mengakui negara Yahudi (Israel, red.) dan sebagai bagian dari kebijakannya dalam mendukung Amerika Serikat, Reza Pahlavi membangun hubungan dekat dengan Israel dan bahkan ikut menyuplai minyak ke negara Yahudi,” ungkap sejarawan studi internasional Jawaharlal Nehru University, Prof. P.R. Kumaraswamy dalam The A to Z of the Arab-Israeli Conflict.
Baca juga: Mimpi Raja Faisal Memerdekakan Palestina
Di era 1950-an hingga 1960-an, Reza Pahlavi masih merasa terancam dengan negara-negara Arab tetangganya dan pengaruh komunis. Dengan merangkul Israel sebagai “sekutu”, Amerika juga akan berpihak pada Iran. Hasilnya, Iran mudah mendapatkan bantuan militer dari Amerika serta menjalin aliansi strategis secara militer dan intelijen dengan Israel.
Aliansi paling signifikan terlihat saat pecahnya Perang Enam Hari atau Perang Arab-Israel Ketiga (5-10 Juni 1967). Selain aktif menyuplai minyak ke Israel, Iran juga bekerjasama dengan Israel dalam mengamankan Jalur Pipa Eilat-Ashkelon untuk mengalirkan suplai minyak Iran ke pasar Eropa.
Namun kebijakan Dinasti Pahlavi terkait hubungan diplomatiknya dengan Israel bukan tanpa halangan. Kalangan komunitas Syiah sejak dipimpin Ayatollah Taleghani pada 1949 hingga Ayatollah Abol-Ghasem Kashani gencar memprotes dan mengecam rezim Pahlavi.
Relasi Iran-Israel pada akhirnya mencapai titik nadir seiring Revolusi Islam (1978-1979) yang menumbangkan Dinasti Pahlavi bergejolak. Terlepas dari perbedaan Syiah dan Sunni, pimpinan revolusi Ayatollah Khomeini memberikan dukungan terhadap perjuangan petinggi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat.
Arafat bahkan menjadi pemimpin asing pertama yang berkunjung ke Iran pasca-revolusi dalam agenda kunjungan pada 17-18 Februari 1979. Bersamaan itu juga para diplomat Israel diusir dan kedutaan Israel di Tehran resmi ditutup.
“Sentimen-sentimen anti-Israel menggema setelah kemenangan Revolusi Islam pada 1979. Tak hanya dalam lingkup para ulama Syiah, para politisi Iran yang lain mulai menyamakan Israel sebagai zulm (penindas). Sesudah Yasser Arafat menjadi tamu asing pertama pasca-revolusi, PLO membuka kantor perwakilannya di bekas Kedutaan Israel pada Maret yang diresmikan Arafat dan Hujjat al-Islam Sayyid Ahmad Khomeini, putra dari Ayatollah Khomeini,” tulis Aaron Koller dan Daniel Tsadik dalam Iran, Israel, and the Jews: Symbiosis and Conflict from the Archaemenids to the Islamic Republic.
Mulai 1980-an, Iran dan Israel terlibat konflik-konflik proxy, mengingat Iran membuka relasi tak hanya dengan PLO tapi juga Hamas dalam konflik Israel-Palestina dan Hezbollah dalam beragam konflik Israel-Lebanon. Sebaliknya, Arafat dengan PLO-nya juga kerap berupaya menjadi mediator saat terjadi Krisis Sandera Iran (1979-1981) dan Perang Iran-Irak (1980-1988).
“Pada permulaan Perang Iran-Irak, Arafat khawatir bahwa perang itu akan jadi pengalih perhatian dari tujuan perjuangan Palestina. Arafat pun secara personal berkunjung ke Baghdad dan Tehran pada 20 September 1980 meski upayanya belum berhasil. Arafat memang pada akhirnya memihak Irak walau para pemimpin Iran tetap pro terhadap perjuangan Palestina,” ungkap Ali Seyed Alavi dalam Iran and Palestine: Past, Present, Future.
Saat Perang Lebanon pecah (1982-1985), Iran belum mampu terlibat langsung karena masih bergulat dalam Perang Iran-Irak. Namun untuk mencegah hancurnya para gerilyawan milisi-milisi Lebanon terhadap invasi Israel, Ayatollah Khomenei mengirim menteri pertahanan dan sejumlah jenderalnya ke Suriah untuk melatih taktik-taktik militer dan persenjataan.
“Lalu pada 1987 seiring intifada di Palestina, Iran mulai mendukung Hamas. Hubungan keduanya makin dekat pada 1992 saat ratusan pemimpin Hamas mengungsi ke Lebanon akibat serangan-serangan Israel. Walau tidak dimungkiri ada peran Hezbollah yang ikut mengatur pertemuan-pertemuan antara Hamas dan IRGC di Beirut dan kemudian di Iran. Pada sebuah konferensi pada 1992 di Tehran, Iran menjanjikan sokongan (dana) 30 juta dolar per tahun serta komitmen melatih para pejuangnya di bawah pengawasan Hezbollah dan IRGC,” tukas Hadi Wahab dalam Hezbollah: A Regional Armed Non-State Actor.
Terlepas dari berbagai konflik proxy yang terjadi di Lebanon Selatan dan Jalur Gaza sepanjang 1990-an dan 2000-an, pada akhirnya Iran berkonflik langsung dengan Israel. Operasi serangan misil dan drone-nya secara terbatas sebagai balasan dari serangan bom Israel di konsulat Iran di Damaskus menandai dimulainya konflik langssung kedua negara untuk pertamakali.
Terhadap serangan itu, sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan kekhawatirannya akan eskalasi yang serius di Timur Tengah. Kendati begitu, Amerika sebagai pendukung terbesar Israel mengklaim takkan terlibat rencana apapun terkait pembalasan Israel terhadap Iran.
“Kami berkomitmen untuk melindungi Israel. (Tetapi) kami tidak akan menjadi bagian dari respons yang (akan) mereka lakukan. Ini kebijakan yang sangat konsisten. Tujuan kami adalah menurunkan eskalasi tensi di kawasan. Kami tidak menginginkan konflik kawasan yang lebih luas. Fokus kami tetap menangani krisis (Palestina) ini,” tukas seorang pejabat di pemerintahan Presiden Joe Biden yang tak disebutkan namanya, dikutip The Guardian, Minggu (14/4/2024).
Baca juga: Alarm Perang Dunia Ketiga
Tambahkan komentar
Belum ada komentar