Secuplik Kisah Walikota Bandung yang Terlibat G30S
Mulai terpengaruh PKI sejak mendaki karier perwira, R. Didi Djukardi dicopot dari jabatannya pasca-G30S.
TIDAK hanya semata sebagai ruang terbuka hijau nan asri, Taman Sejarah Bandung juga menyajikan wahana untuk merekam cerita-cerita edukatif. Taman yang berhimpitan dengan sisi selatan Balai Kota Bandung itu turut menghadirkan sejumlah ilustrasi potret para walikota Bandung dari masa ke masa, tak terkecuali sosok kontroversial Kolonel R. Didi Djukardi Sastradiwirja.
Sebagaimana yang ditampilkan di barisan ilustrasi potret beserta keterangan masa pemerintahannya, Didi Djukardi jadi walikota dengan masa jabatan tersingkat setelah Sjamsuridjal yang hanya menjabat 1 tahun 120 hari (1 November-1 Maret 1947. Adapun Djukardi hanya menjabat selama 2 tahun.
Djukardi yang menjabat dalam rentang waktu Juli 1966-Juli 1968, dicopot karena dugaan keterlibatannya dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S). Setelah ditahan dan diajukan ke pengadilan militer, jabatannya digantikan sementara oleh perwira Kodam VI/Siliwangi yang lain, Hidajat Sukarmadidjaja. Jabatan walikota baru diemban Hidajat sepenuhnya setelah dilantik DPRD Kotamadya Bandung pada 18 Maret 1969.
“Secara diam-diam DPRD Kotamadya Bandung tanggal 18 Maret yang lalu telah memutuskan mengukuhkan kedudukan Hidajat Sukarmadidjaja dari jabatan Pejabat Walikota menjadi Walikota penuh. Masyarakat tampaknya agak terkejut karena semula beranggapan untuk mengisi jabatan Walikota setelah Kol. Djukardi ditangkap akan diadakan pencalonan dan pemilihan Walikota yang tersendiri oleh DPRD secara demokratis,” tulis suratkabar Ampera edisi 29 Maret 1969.
Baca juga: Lima Walikota Jadi Gubernur dan Presiden
Dicopot Usai Terlibat G30S
Tidak banyak catatan mengenai kiprah Djukardi sebelum menjadi walikota. Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1965-1970 menyebut, Djukardi pernah terlibat dalam operasi pemberantasan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun 1948. Semasa era parlementer, tulis suratkabar Indonesia Raya edisi 22 Januari 1957, Djukardi yang masih berpangkat kapten turut dalam penegakan Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB) 1957 sebagai salah satu staf harian Penguasa Perang di Kalimantan.
Setelah itu, sebagaimana dimuat dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa, Djukardi mendapat kenaikan pangkat menjadi mayor. Pada kurun September 1957-September 1959, Djukardi memegang tongkat komando Batalyon Infanteri 326/10 Siliwangi yang bermarkas di Sumedang.
Lantas, sebelum ditunjuk jadi walikota, Djukardi yang sudah berpangkat letkol menjabat Asisten 6 Kepala Staf Kodam (Kasdam) VI/Siliwangi. Ia turut terlibat dalam pemindahan sejumlah benda bersejarah yang ada di Rumah Sejarah Rengasdengklok ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi.
“Benda-benda tersebut menurut keterangan Letkol R. Djukardi ialah sebuah meja yang dipakai menandatangani teks proklamasi dan 6 buah kursi yang dewasa ini keadaannya boleh dikatakan telah butut karena tuanya. Letkol R. Djukardi dalam keterangannya lebih jauh menjelaskan selain benda-benda bersejarah tadi juga pada Museum Perjuangan Jawa Barat ‘Mandala Wangsit Siliwangi’ akan disimpan sehelai bendera pertama yang dikibarkan di kantor Kotamadya Bandung,” tulis surakatbar Angkatan Bersendjata edisi 16 Mei 1966.
Baca juga: Sebelum Jenderal Soeprapto Pergi
Pasca-Peristiwa G30S yang disusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pada 18 Juli 1966 Letkol Djukardi ditunjuk jadi walikota. Ia dilantik Gubernur Jawa Barat Brigjen Mashudi untuk menggantikan Prijatnakusumah yang menjabat sebagai “Bandung 1” sejak 1957.
“Gubernur Mashudi dalam amanatnya selanjutnya mengemukakan bahwa diangkatnya Letkol R. Djukardi Sastradiwirja adalah tatkala Revolusi Pancasila tengah menghadapi tantangan-tantangan yang luar biasa hebatnya,” tulis harian Angkatan Bersendjata edisi 19 Juli 1966.
Beberapa hal yang direalisasikan Djukardi selama masa jabatannya antara lain mendorong kesenian daerah. Ia yang sudah jadi kolonel bekerjasama dengan seniman Maman Suryaatmadja dan Enoch Atmadibrata lewat beragam aktivitas sangar Konservatori Tari (TORI).
“Atmadibrata dan koreografer Maman Suryaatmadja ditunjuk Walikota Bandung, Didi Djukardi untuk memimpin TORI pada 1967. Djukardi sudah lama mengenal Atmadibrata sejak masa sekolah menengah (selama pendudukan Jepang) dan sebagai perwira di Divisi Siliwangi,” ungkap Laurie Margot Ross dalam artikel “The Artist Registri: Tracking itinerant artists before and after Suharto’s 1965 coup d’état in the Cirebon region, West Java” yang termaktub dalam Jurnal Indonesia and the Malay World, Volume 39 tahun 2011.
Walikota Djukardi juga memulai pembenahan Alun-Alun Kota Bandung. Menurut buku Kisah Bongkar Pasang Alun-Alun Bandung, pembenahan sudah beberapa kali dikerjakan sebagai proyek bongkar-pasang oleh pemerintah sejak era Djukardi hingga era Walikota Otje Djundjunan dan Utju Djunaedi pada 1970-an.
“Walikota Kolonel Djukardi yang kemudian ternyata seorang simpatisan komunis dan terlibat G30S/PKI itu meratakan alun-alun dengan menyemennya. Ini agaknya disesuaikan kebutuhan akan lapangan luas buat rapat raksasa yang sedang mode saat itu. Ketika Hidayat Sukarmadijaya mengisi kekosongan kursi walikota yang ditinggalkan Djukardi, langkah pertama pun merombak alun-alun itu. Langkah itulah yang disempurnakan Otje,” tulis buku tersebut.
Pada medio Juli 1968, Kolonel Djukardi ditahan seiring upaya pembersihan para terduga atau simpatisan komunis di Jawa Barat oleh Kodam VI/Siliwangi. Sesuai pernyataan Wakil Asisten I Kasdam VI/Siliwangi Letkol Hasan Sugandhi yang dikutip Kompas edisi 20 Juli 1968, penahanan itu sekaligus menetapkan penarikan dan pencopotan status Djukardi dari tugas kekaryaan TNI AD sebagai walikota dan untuk sementara pj walikotanya diemban Hidajat Sukarmadidjaja.
“Pangdam Siliwangi Mayjen (Hartono Rekso) Dharsono mengatakan, sekitar 50 perwira, termasuk seorang jenderal dan dua kolonel ikut ditahan karena terlibat kup Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Penahanan ini membongkar jaringan penetrasi komunis di Jawa Barat dan ibukota. Operasi pembersihan ini terjadi pasca-pengakuan Kolonel Pratomo, mantan komandan distrik militer Pandeglang yang ditangkap di Blitar, Jawa Timur,” tulis Justus M. van der Kroef dalam artikel “Indonesian Communism since the 1965 Coup” di Jurnal Pacific Affairs, Volume 43 tahun 1970.
Baca juga: Sebelum Jenderal S. Parman Pergi
Komunisme mempengaruhi Djukardi justru tak lama setelah dirinya ikut menumpas Madiun Affair. Menurut Helen-Louise Hunter dalam Sukarno and the Indonesian Coup: The Untold Story, itu terjadi sejurus komunikasinya dengan kepala Biro Khusus PKI Sjam Kamaruzaman kurun 1953-1954.
“Djukardi mengatakan bahwa Sjam adalah anggota ‘PKI Malam’ yang para anggotanya merupakan anggota-anggota rahasia yang saling terkotak-kotak dengan anggota biasa atau ‘PKI Siang’. Hingga 1958-1959 pun Djukardi masih rutin berkontak dengan Sjam. Lalu pada Agustus 1965, Djukardi mengaku diperkenalkan Sjam kepada seseorang bernama Rachmat yang menceritakan tentang (presiden) Sukarno yang sakit-satitan dan adanya rencana Dewan Jenderal untuk mengambil tampuk kekuasaan,” tulis Hunter.
Rachmat, lanjut Hunter, meminta Djukardi untuk melakukan persiapan militer di wilayah Kodam VI sebagai langkah antisipatif jika Dewan Jenderal bergerak. Maka bersama sejumlah perwira Siliwangi lain yang sudah terpengaruh paham kiri, Djukardi mendiskusikan kemungkinan rencana penculikan para perwira tinggi Kodam VI.
“Akan tetapi Djukardi mengaku bahwa ia menolak untuk memimpin pasukan untuk mengkudeta (para pimpinan) Kodam VI. Oleh karenanya pasukan itu akan dipimpin sendiri oleh Rachmat. Kemudian Djukardi memberi 16 nama perwira di internal Kodam VI yang ia kenal untuk berkontak dengan Rachmat,” tukas Hunter.
Pengakuan-pengakuan tersebut lantas dicatat dalam pemeriksaan. Sesudah itu, menurut buku Album Kenangan Kodam VI/Siliwangi, 1946-1977, Kolonel Djukardi diajukan ke pengadilan militer sebagai terdakwa. Karena dinyatakan terlibat dengan PKI yang menggelar G30S, Djukardi dinyatakan bersalah dan diganjar 19 tahun penjara atau setahun lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Baca juga: Peristiwa G30S di Kota Salatiga
Tambahkan komentar
Belum ada komentar