Peristiwa G30S di Kota Salatiga
Beberapa hari pasca-G30S, sebuah tank Kodam VII/Diponegoro bergerak untuk merebut Kota Salatiga. Walikotanya hilang.
Pada 1962, Mia Bustam, istri pelukis Sudjojono, diminta menjadi anggota penilai lomba kebersihan dan keindahan kota. Tugasnya keliling kota-kota di Jawa Tengah. Dalam bukunya Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan, Mia menceritakan tentang apa saja yang ia jumpai dalam tiap kunjungannya.
Ketika bercerita tentang Salatiga, Mia tak ingat apa saja yang ia nilai terkait perlombaan itu. Mia justru mengenang bahwa penduduk Salatiga dan sekitarnya banyak yang berpendirian kiri. Ia juga menyebut walikota Salatiga saat itu merupakan anggota PKI.
Walikota yang dimaksud Mia adalah Bakri Wahab, yang menjabat sejak 1961. Menurut laporan Majalah Lentera Nomor 3/2015, Bakri Wahab berasal dari Pekalongan. Badanya agak gemuk, rambutnya keriting, wajahnya seperti orang Arab. Ia menempati rumah tak jauh dari kantor CS PKI Salatiga.
Baca juga: Balada Patung Buruh Tani Pertama
Tak banyak cacatan mengenai Bakri Wahab. Ia bahkan absen dari narasi sejarah Kota Salatiga. Menurut Lentera, tak ada fotonya terpampang di antara foto mantan walikota di Kantor Walikota Salatiga. Namanya juga tak ditemukan dalam arsip kantor walikota.
Namun, dalam buku Nyuwito Pak Noto, biografi rektor pertama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), karya Sumbada, Bakri Wahab tampil dalam dua buah foto. Foto pertama menunjukkan Bakri Wahab tengah mendampingi D.N. Aidit ketika pemimpin PKI itu datang ke UKSW untuk mengisi ceramah “Etika Komunisme”. Foto kedua, Bakri Wahab mendampingi Mohammad Yamin meresmikan salah satu gedung baru di UKSW. Sayangnya, dalam buku itu Sumbada tak memberi banyak perhatian pada sang walikota.
Bakri Wahab memang walikota komunis. Namun, ia bukan satu-satunya tokoh PKI yang menempati jabatan penting. Menurut Nugroho dalam Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, tokoh-tokoh PKI menjabat sebagai pimpinan dan anggota DPRD. Ismail, ketua PKI Salatiga, menjabat sebagai Ketua DPRD. Kepala Staf Kodim, Ngarijo, juga seorang anggota PKI.
Sekitar Prahara
Kendati komunis, Bakri tak banyak ambil peran dalam urusan partai. John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menyebut bahwa meski anggota PKI, Bakri tidak menyatakan dukungan kepada G30S secara terbuka.
Baca juga: Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965
G30S sendiri di Salatiga berbeda dari daerah-daerah lain. Dalam A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia, Ben Anderson dan Ruth T. McVey menyebut bahwa rentetan peristiwa G30S yang terjadi di Salatiga murni urusan militer tanpa partisipasi sipil maupun partai.
Pada 1 Oktober pagi, Dan Korem 073 Kolonel Sukardi dan Letkol Sugiman ditangkap atas perintah Letkol Idris, kepala staf Sukardi. Batalyon 448 yang menjadi kekuatan utama kudeta ditempatkan di luar kota, tepatnya di jalan menuju Kopeng. Sementara, unit pertahanan sipil aktif dalam kapasitas tambahan. Situasi di Salatiga mencekam namun tetap tenang di bawah kendali Letkol Idris.
“Walikota Komunis, Bakri Wahab, tetap diam, dan tidak ada organisasi komunis yang bergerak,” tulis Ben dan Ruth.
Pada 4 Oktober dini hari, tank Pangdam Kodam VII/Diponegoro Mayjen Surjosumpeno yang sebelumnya ditempatkan di Bawen, persimpangan antara Yogyakarta-Semarang-Salatiga, meluncur ke Salatiga. Kolonel Sukardi dan Letkol Sugiman akhirnya diselamatkan. Sementara Letkol Idris bersama rekan terdekatnya telah kabur ke perbukitan. Sedangkan Batalyon 448 yang pro-G30S dilucuti seminggu kemudian. Tak ada pertumpahan darah dalam peristiwa ini.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
Menurut Suara Merdeka, 2 November 1965, Letkol Sugiman kemudian diangkat sebagai pejabat sementara walikota Salatiga. Pelantikannya dilaksanakan pada 1 November menyusul pelantikan pejabat sementara walikota Solo dan Magelang serta bupati Bayolali dan Karanganyar pada akhir Oktober.
Tak diketahui di mana Bakri Wahab selama sebulan terakhir pasca-G30S. Harian Suara Merdeka, 3 November 1965, melaporkan bahwa pada hari yang sama dengan pelantikan Letkol Sugiman, Bakri Wahab ternyata telah ditangkap. Kepala Humas Pemerintah Tk. I Jawa Tengah Sudarto mengatakan bahwa Bakri Wahab ditangkap untuk “mengadakan pengusutan.”
Nasib Bakri Wahab tak diketahu lagi sejak itu. Menurut Mia Bustam, sang walikota dibunuh bersama seorang dalang perempuan penggubah lagu “Blonjo Wurung”.
“Suaminya (suami sang dalang –red.) juga dibunuh,” tulis Mia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar