Anjing dalam Sejarah Indonesia
Selain sebagai binatang peliharaan, anjing juga menjadi istilah yang digunakan untuk merendahkan.
ANJING kerap dianggap sebagai binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayangi. Kebiasaan memelihara anjing sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara.
Di Aceh, Meurah Silu, pendiri kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. “Pasai” kemudian dipakai melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera menjadi Samudera Pasai. Menurut Ali Hasymy dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, asal nama Pasai, baik dalam Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai, menyebutkan “setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itu pun matilah pada tempat itu.”
Kebiasaan memelihara anjing juga dicatat Ma Huan, seorang Tionghoa muslim yang mengiringi Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada 1416. Dia mencatat rakyat biasa di Majapahit tinggal bersama anjing mereka.
Baca juga: KH Mas Mansyur Pelihara Anjing
Islam yang menyatakan jilatan anjing sebagai najis barangkali menyebabkan kaum Muslim enggan memeliharanya. Kendati demikian, K.H. Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah (1937-1941), memelihara anjing betina jenis Keeshond, hadiah dari pemilik restoran Molenkamp, langganan Sukarno di Pasar Baru Jakarta. Sukarno juga pernah memelihara anjing.
Mungkin karena anggapan najis dan sikapnya yang patuh pada tuannya itulah yang membuat anjing dipakai sebagai kata umpatan atau merendahkan. Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), misalnya, pernah menyamakan raja Mataram, Sultan Agung, dengan “seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara.”
Baca juga: Sukarno dan Anjingnya
Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis: Verboden voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk pribumi dan anjing).
Kata umpatan atau merendahkan itu kemudian dipakai siapa saja. Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerjasama dengan Belanda sebagai “anjing Belanda”.
Sutan Sjahrir pernah menyebut orang yang bekerja sama dengan Jepang, terutama Sukarno, sebagai “anjing-anjing Jepang”. Para politisi dan rakyat Belanda pun mencap Sukarno sebagai “anjing piaraan Jepang”.
Baca juga: Dihabisi Seperti Anjing Gila
“Cap tersebut merupakan momok yang terus mengganggu Sukarno dan Hatta pada masa sesudah Perang Dunia II,” tulis Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?
Sjahrir juga kena batunya ketika menjabat perdana menteri. Karena memilih berunding dengan Belanda, dia dan para pengikutnya diejek sebagai “anjing-anjing Belanda”.
Pada masa revolusi, para pejuang mengumpat orang pribumi yang membantu Belanda sebagai “anjing NICA” (Netherlands-Indies Civil Administration, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Andjing NICA juga sebutan untuk Batalion Infanteri V Brigade W KNIL dari Bandung. Sebaliknya, orang-orang Belanda menyebut kaum pejuang sebagai “anjing Sukarno”.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar