Ruang Kosong Historiografi Parlemen Indonesia
Historiografi Indonesia melupakan parlemen dalam panggung sejarah kemerdekaan Indonesia. Bahkan hingga Orde Baru, parlemen terkooptasi di antara dominasi Golkar dan militer.
Sejarah nasional telah mengabaikan peran penting parlemen dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Posisi parlemen yang strategis itu terlupakan dan tersingkirkan dari penulisan sejarah Indonesia. Padahal, parlemen menjadi tonggak penting dalam meletakan bentuk negara.
Museum DPR RI menggelar diskusi bertajuk “Posisi DPR RI dalam Historiografi Indonesia” pada Rabu, 17 November 2021, yang disiarkan secara langsung di channel Youtube Historia.id. Seminar ini bagian penutupan pameran sejarah parlemen Indonesia, yang diadakan oleh Museum DPR RI sejak Oktober 2021.
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang menjadi embrio dari sejarah parlemen Indonesia, dikupas tuntas oleh tiga pembicara: Susanto Zuhdi, Bambang Purwanto, dan Amelia Fauzia.
Baca juga: Membaca Ulang Sejarah Parlemen Indonesia
Bambang Purwanto, sejarawan Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan kenyataan yang ironi, bahwa parlemen tidak dianggap sebagai arus utama dalam sejarah politik Indonesia sejak awal kemerdekaan. Ia menyebut parlemen bukan hanya tidak mendapatkan tempat dalam historiografi Indonesia, tetapi memang dianggap tidak pernah ada.
“Kita tahu sejarah nasional dipenuhi oleh presiden, pemerintah, dan partai politik sebagai aktor. Sementara parlemen hanya hadir ketika membangun relasi dengan ketiga elemen dominan itu. Mirip historiografi kolonial, dalam belajar sejarah Indonesia, yang melihat seperti geladak. Geladaknya presiden, geladaknya pemerintah, geladaknya partai politik. Sehingga, kita kehilangan banyak sekali hal menarik,” kata Bambang.
Satu contoh menarik, seperti ditampilkan oleh sejarawan Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, ketika menerangkan penulisan buku Seabad Rakyat Indonesia Berparlemen: Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 1918–2018. Dalam buku yang terdiri dari lima jilid dengan lebih dari 2.000 halaman itu, Susanto menceritakan hal penting dan menarik yang luput dari historiografi, seperti tentang Mohammad Hatta yang dikabarkan “marah” kepada KNIP yang menolak meratifikasi Perjanjian Linggarjati.
Sisi menarik lain, diungkapkan Susanto, misalnya terkait Petisi Soetardjo, “Mosi Orang Seberang”, yang menunjukkan dikotomi antara Jawa dan luar Jawa, masih berlaku hingga saat ini. “Anggota Volksraad pertama bukan hanya orang Jawa, tapi juga ada orang Ambon, Sumatra dan sebagainya. Ada juga anggota dari kalangan perempuan,” kata Susanto.
Baca juga: Perempuan Pertama di Parlemen Bandung
Begitu juga dengan posisi perempuan dalam parlemen, seperti diungkapkan oleh Amelia Fauzia, Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa peran perempuan belum mendapatkan representasi dalam sejarah DPR. Menurut Amelia, sejarah ditulis lebih banyak ke pihak yang berkuasa. Kelompok minoritas jarang sekali mendapatkan tempat dalam penulisan sejarah, termasuk kelompok perempuan.
“Perempuan itu minoritas, walaupun kiprahnya di DPR ada perempuan,” kata Amelia. Meski kecil, peran perempuan mesti ditulis, agar perannya diakui oleh sejarah. Menurutnya, bila tidak ditulis, sekecil apa pun, peran perempuan akan absen dalam historiografi perlemen Indonesia.
Isu-isu penting lain yang terlewatkan dalam penulisan sejarah parlemen pada periode 1945, yaitu ketika parlemen berada dalam situasi darurat dan sementara. Sejak terbentuk, parlemen Indonesia berusia pendek. Parlemen Indonesia hasil Pemilu pertama tahun 1955 disahkan pada 25 Maret 1956, lalu keluar Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan parlemen. Lalu parlemen hadir lagi pada 28 Oktober 1971. Padahal, dinamika parlemen di masa darurat tersebut menjadi elemen sangat penting untuk memahami realitas keindonesiaan.
Baca juga: "Gentong Babi" di Parlemen
Pembentukan KNIP pada 29 Agustus 1945, yang oleh DPR RI ditetapkan sebagai hari jadi, sesungguhnya ada masalah. Menurut Bambang, dari dokumen-dokumen yang ia baca, parlemen Indonesia bukan seperti yang ditulis dalam buku-buku sejarah, dengan menyebut KNIP, namun ditulis Komite Nasional Pusat (KNP).
Bambang merujuk aturan peralihan UUD ’45 tentang KNP sebagai hasil rapat Badang Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP), yang salah satu fungsinya menjalankan tugas DPR dan MPR terkait garis-garis besar haluan negara.
Fungsi KNP inilah yang menarik untuk dilihat, menurut Bambang, karena saat KNP didirikan telah terjadi intervensi –walau direkomendasikan juga dari sidang KNP, dimulai sebuah Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, tentang pembentukan Badan Pekerja yang menjalankan pekerjaan sehari-hari KNP. Anggota Badan Pekerja sekitar 28 orang yang dipimpin Sutan Sjahrir.
“Kalau kita perhatikan di dalam keputusan itu, maklumat ini kemudian diikuti oleh penjelasan atas Maklumat Wakil Presiden yang ditandatangani Sutan Sjahrir, Badan Pekerja ini bersama presiden berhak dan wajib ikut serta dalam penetapan garis-garis besar haluan negara dan undang-undang yang berkaitan dengan urasan pemerintah. Di sinilah Badan Pekerja tak hanya menjalankan fungsi DPR, tapi juga MPR,” kata Bambang.
Baca juga: Riwayat Nama Ruang dan Gedung Parlemen
Realitas politik Indonesia yang menarik itu tidak dipahami dalam historiografi Indonesia, karena menurut Bambang, parlemen tidak dilihat langsung sebagai spotlight, fokus utama.
Bambang melanjutkan, jika parlemen menjadi fokus utama dalam historiografi, maka akan bisa mengungkap tentang dinamika sejarah dalam parlemen. Parlemen, lembaga yang sifatnya sementara, tetapi sangat dominan saat itu.
“Bayangkan sebuah Badan Pekerja, bukan badan utamanya, itu bisa mengubah praktik ketatanegaraan Indonesia, mengubah betuk pemerintahan negara. Padahal, konstitusi UUD ‘45 tidak mengenal Perdana Menteri, seharusnya menteri bertanggung jawab kepada presiden, tetapi kabinet harus bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat. Ini dinamika bukan biasa. Ini luar biasa,” kata Bambang.
Baca juga: Serangan Terhadap Anggota Parlemen
Sebuah negara, yang pernah dipimpin oleh Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan, semestinya pusat kegiatan politik ada di parlemen, namun historiografi Indonesia periode 1950-an hingga pertengahan 1960-an, lebih mengutamakan pembahasan presiden, pemerintah atau kabinet, dan partai politik. Inilah, kata Bambang, parlemen terus dieksklusi atau dikooptasi.
“Selama Orde Baru, ketika itu Golkar dominan, militer dominan, parlemen dikooptasi di dalamnya. Maka, saya melihat hal ini menimbulkan disorientasi historiografi. Praktik penyusunan undang-undang tidak pernah menjadi arus utama dalam penulisan sejarah. Akibatnya, sejarah fungsi DPR sebagai representasi wakil rakyat tidak menjadi cara berpikir metodologis dalam sejarah penulisan parlemen,” kata Bambang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar