Ratu Adil Memimpin Gerinda
Ini bukan Gerindra, juga bukan Gerindo. Ini Gerinda!
PADA Juni 1930, seorang pangeran tradisional dan kurang pendidikan dari Yogyakarta, paman dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Pangeran Suryodiningrat, mendirikan PKN (Pakempalan Kawula Ngayogyakarta atau Perkumpulan Warga Yogyakarta).
Hanya dalam waktu satu tahun, tepatnya pada Mei 1931, PKN mengklaim memiliki anggota hampir 260 ribu orang. Dengan demikian, jumlah anggotanya di wilayah Yogyakarta sama dengan jumlah anggota Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Menurut MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, perpaduan antara banyaknya keluhan petani selama depresi dan daya tarik seorang pemimpin kharismatik berdarah bangsawan telah memberi PKN kekuatan yang tidak dimiliki oleh gerakan-gerakan terpelajar perkotaan.
Karena aktif membela kepentingan petani, PKN mulai menjadi semacam pemerintahan bayangan dan banyak petani yang tertarik kepada organisasi tersebut, “Dengan keyakinan bahwa Suryodiningrat adalah Ratu Adil,” tulis Ricklefs.
Dalam hal ini, PKN lebih merupakan pengganti Sarekat Islam pada tahun-tahun pertamanya daripada partai kota yang manapun. Akan tetapi PKN juga membangkitkan dendam dari birokrasi dan Belanda. Setelah tahun 1934, tekanan dari pemerintah dan gangguan dari pihak kepolisian sehingga memaksa Suryodiningrat membatasi kegiatan PKN pada masalah sosial dan ekonomi, khususnya usaha memajukan koperasi-koperasi.
Kaum nasionalis kota juga tidak bersedia menjalin hubungan dengan PKN yang nyata-nyata bersifat feodal. PKN membuat mereka malu karena jauh lebih berhasil dalam menghimpun dukungan rakyat daripada usaha-usaha mereka sendiri. Meskipun demikian, PKN tak mampu bertahan hingga masa pendudukan Jepang. “Seperti organisasi-organisasi lainnya, secara resmi PKN dibubarkan selama zaman pendudukan Jepang,” tulis Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta.
Pada 1951 PKN bangkit lagi sebagai partai politik lokal di Yogyakarta dengan nama Gerinda (Gerakan Rakyat Indonesia), yang masih berada di bawah kepemimpinan mutlak Suryodiningrat. Menurut Soemardjan, Gerinda bersifat sentralistik. Suryodiningrat sebagai pemrakarsa dan ketua partai setiap tahun terpilih kembali. Dia mempunyai kekuasaan yang nyaris absolut dalam partai tersebut. Gerinda tidak mempunyai cabang-cabang partai di daerah. Tapi, hanya memiliki wakil-wakil penerangan partai di tiap kabupaten. Mereka bertindak sebagai juru bicara dewan pimpinan pusat –yang dikuasai oleh Suryodiningrat– untuk menyalurkan perintah ke wakil-wakilnya di kecamatan dan diteruskan ke desa-desa.
Pada mulanya, Gerinda adalah bayangan pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX sebelum revolusi. Para komisaris daerah serta badan-badan lain hanya untuk melaksanakan perintah-perintah dari pusat. Mereka harus melapor kepada Suryodiningrat tentang segala macam kejadian partai di dalam daerahnya.
Setiap hari Jumat Suryodiningrat mengadakan pertemuan dengan para anggota Gerinda di tempat kediamannya di kota Yogyakarta. Pada pertemuan itu, dia sendiri memberikan pengajaran. Anehnya, meski dia tradisional dan kurang pendidikan, dia mengajarkan tentang demokrasi di negeri Barat dan metode penyesuaiannya dengan cara hidup orang Jawa. Dia juga membicarakan berbagai masalah yang sedang hangat dan didiskusikan. Pengunjung yang biasanya 100 sampai 150 anggota partai mendengarkannya dengan saksama. Mereka adalah laki-laki dan perempuan yang datang dari segala penjuru daerah Yogyakarta. Banyak di antara mereka yang jalan kaki dengan menempuh perjalanan 11 sampai 13 jam. Mereka bukannya tidak mempunyai dana, tapi mereka lebih senang berjalan daripada naik kendaraan. Bahkan, anggota Gerinda yang lain di desa biasanya membantu secara kolektif dengan uang dan makanan untuk bekal di perjalanan. Ini menunjukan kekonservatifan mereka.
Pada umumnya mereka tidak banyak mengetahui apa yang diajarkan Suryodiningrat. Akan tetapi, mereka sangat bangga diterima di kediaman seorang pangeran dan duduk di tempat yang sama. “Kepuasan terbesar diperoleh para anggota Gerinda, yaitu sewaktu mereka diterima satu demi satu di kamar pribadi pangeran –setelah ceramah. Pangeran akan mendengarkan persoalan-persoalan mereka dan memberi saran pribadinya sebagai jalan keluar,” tulis Soemardjan.
Gerinda tidak mempunyai perangkat ideologi eksplisit sendiri. Akan tetapi, ia menarik kelompok-kelompok yang tak begitu berpendidikan dalam masyarakat Jawa, terutama kaum tani yang buta huruf dan berorientasi pada tradisi pedesaan. Oleh karena itu, Suryodiningrat berpandangan bahwa seseorang tak membutuhkan pendidikan formal untuk menjalankan pemerintahan. Yang dibutuhkan hanyalah kebijaksanaan dan pengertian akan keinginan-keinginan rakyat.
Mereka yang mempunyai pendidikan formal, yakni bisa membaca dan menulis, dapat ditempatkan pada pekerjaan kantor di bawah pengawasan seorang pemimpin yang bijaksana dan penuh pengertian. Pandangan yang agak ortodok ini memberikan harapan kepada kelompok-kelompok rakyat yang tak terdidik dan buta huruf –yang umumnya merasa juga bisa menduduki tempat yang layak dalam pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX.
Menurut Soemardjan, tujuan pertama para anggota Gerinda ialah untuk menjadi priyayi atau setidak-tidaknya pegawai pemerintahan desa. Selama itu, kedua status ini tertutup bagi mereka karena melek huruf menjadi syarat resmi. Meskipun demikian, mereka memiliki harapan terakhir pada Suryodiningrat sang Ratu Adil. Mereka percaya Ratu Adil akan muncul suatu waktu di Jawa. Dia akan menghidupkan kembali kerajaan-kerajaan Jawa dulu. Maka, hanya para anggota Gerinda yang bisa diakui sebagai warga negara penuh.
“Dalam pemikiran rasional, para anggota Gerinda tetap yakin bahwa dengan sistem demokrasi mayoritas –yaitu setengah jumlah suara tambah satu– kelompok-kelompok buta huruf di Yogyakarta akan mencapai kekuasaan. Hal ini disebabkan jumlah mereka mutlak melebihi jumlah orang melek huruf,” tulis Soemardjan.
Pemikiran rasional seperti ini baru berkembang setelah pemilihan umum parlemen pada 1955. Anggota Gerinda memiliki kecenderungan utama dalam memahami isu-isu partai, yakni masih tetap mengikuti cara-cara mistis, seperti persatuan manusia dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Persatuan di dunia ini terwujud dalam persatuan rakyat dengan raja. Gerinda melaksanakannya melalui persatuan anggota partai dengan ketua partai. Hal itu merupakan satu-satunya jalan bagi anggota Gerinda untuk mengatasi segala masalah di dunia ini.
Menurut keyakinan mistis di kalangan para anggota Gerinda, keanggotaan partai adalah suatu masalah keluarga. Seorang anggota yakin bahwa keanggotaannya adalah kunci satu-satunya untuk masuk negara di bawah Ratu Adil di kemudian hari. Dia tidak memasuki partai seorang diri, tetapi mengikutsertakan istri dan anak-anaknya. Akhirnya, nasib ayah dan ibunya yang sudah tua berada dalam tanggungjawabnya. Dengan kartu partai untuk dirinya beserta keluarganya sebagai warga Gerinda dan warga sejati negara di bawah Ratu Adil yang akan datang.
Pangeran Suryodiningrat, diterima dan dihormati oleh para anggota Gerinda tanpa propaganda artifisial (buatan). Dia dipandang mewakili kelas atas lama serta kaum bangsawan terkemuka dalam masyarakat Yogyakarta. Bahkan banyak anggota yang secara jujur –walaupun keliru– menganggap sebagai wakil Sultan, sumber seluruh kekuasaan. Para anggota memiliki kepercayaan dan loyalitas kepada pemimpin bangsawan itu yang telah berakar dalam kebudayaan mereka. Semua itu hanya bisa berubah jika kebudayaan mereka berubah. Kebudayaan Jawa di Yogyakarta itu sendiri adalah batu ujian bagi kepemimpinan Gerinda.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar