Golkar Perubahan dari Gerinda
Bagi kader Gerinda, Golkar adalah perubahan dari Gerinda.
PERSAINGAN partai di tingkat nasional tak selalu tercermin di tingkat lokal. Pada 1960-an, ketika kelompok komunis dan nasionalis bisa bekerjasama di tingkat nasional, di Gunung Kidul justru terjadi persaingan, terutama antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Persaingan itu menghapus cerita tentang Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda), partai berbasis massa tradisional yang cukup besar. Namanya jarang disebut-sebut. Padahal, di Gunung Kidul, Gerinda berada di urutan kedua dengan delapan kursi, setelah PKI dengan 18 kursi dalam pemilihan DPRD tahun 1958. Massa Gerinda yang “tetap” menyebabkan partai ini tak tampak dalam persaingan yang keras dengan partai lain.
Menurut A. Budi Susanto dalam Ingat(!)an: Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmat Masa Lalu Rakyat, Gerinda memiliki massa cukup militan, yang rela mengorbankan apa saja, tenaga maupun materi, untuk pemimpin. Mereka umumnya adalah orang-orang pinggiran desa yang tingkat pendidikannya rendah dan memiliki rasa Jawa yang tinggi. Terutama terkosentrasi di desa Kemadang dan Kemiri.
Baca juga: Ratu Adil Memimpin Gerinda
Sikap militan massa Gerinda dapat dilihat dari kadernya, Pawiro Paijan. Dalam wawancara dengan Budi pada Desember 2003, dia mengatakan dalam bahasa Jawa: “…kalau aku disuruh ikut orang seperti itu (aku) tidak mau. Asalkan yang saya ikuti, pimpinanku, itu benar, aku ikut pimpinanku… Aku ini programnya bagus. Kalau aku disuruh ikut (orang) nggak mau, tapi kalau orang mau ikut aku mau. Jadi sudah manunggal…”
Budi menangkap pernyataan Pawiro merujuk pada PKI, yang hancur di bawah pemerintahan Orde Baru. Terkesan ada kebanggaan atas “kemenangan” sebagai orang yang tak salah pilih partai, tidak menjadi bagian dari mereka yang dicap dan dinyatakan bersalah. “Ironisnya, pada masa Orde Baru, massa Gerinda mampu dibelokkan ke Partai Golkar,” tulisnya.
Baca juga: Gerinda Suka Diejek PKI
Sebelum menjadi partai –meski tak menyebut demikian– untuk ikut pemilihan umum 1971, Golkar adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang didirikan pada 20 Oktober 1964 oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat. Organisasi-organisasi yang berada di bawah Sekber Golkar kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaan ke dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi (Kino).
Menurut Budi, pemahaman kader Gerinda, Golkar adalah perubahan dari Gerinda sehingga mereka tak mau memilih partai lain. Ini terlihat dari pernyataan Pawiro Paijan: “Unsur dari PKN (Pakempalan Kawula Ngayogyakarta) itu sudah ganti. Sejak PKN itu yang memegang organisasi itu Gusti Suryodiningrat. Kemudian ganti menjadi karya tani, karya tani kemudian jadi Golkar, Gerinda itu. Lha karya tani itu warganya banyak sekali. Yang bisa dianut, yang bisa dilestarikan sampai sekarang yaitu Golkar, Gerinda itu,” kata Pawiro Paijan.
Baca juga: Golkar Sebagai Pengganti Partai
Ungkapan Pawiro Paijan tersebut, ujar Budi, dapat dilihat bagaimana pemahaman masyarakat tentang sebuah partai, yang tak jarang salah informasi. Yang diuntungkan tentu saja Golkar. Simpatisan Gerinda beralih ke Golkar, lengkap dengan struktur dan pranata sosial yang mereka miliki. Golkar, misalnya, bisa memanfaatkan perkumpulan penting di tingkat RT yang bernama dasa wisma.
“Dasa wisma pada mulanya merupakan jaringan sosial kaum lelaki yang dikembangkan para pamong desa simpatisan Partai Gerinda sebagai ajang penggalangan massa. Ketika para simpatisan Gerinda masuk Golkar, dasa wisma diubah menjadi semacam RT dengan anggota laki-laki. Birokrasinya disusun dengan menata struktur organisasi pemerintahan desa menjadi sentralistik di tangan Kades,” tulis Nick T. Wiratmoko, Pradjarta Dirdjosanjoto, dan Kutut Suwondo dalam Yang Pusat dan Yang Lokal.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar