Menjadi Gila Akibat Isolasi di Digul
Selain menderita karena beragam penyakit, para Digulis juga harus menghadapi gangguan psikis hingga menjadi gila.
Di Boven Digul, para tahanan politik memang tidak disiksa secara fisik oleh aparat kolonial. Mereka dibiarkan hidup dalam kamp yang terisolasi alam Papua. Serangan terhadap psikis sama bahayanya dengan malaria maupun diterkam buaya.
Menurut Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul menyusuri hutan bukan menjadi piihan yang menyenangkan bagi sebagian besar tahanan. Dari Tanah Merah misalnya, jika masuk hutan ke arah utara mereka akan sampai di Kamp Tanah Tinggi yang dihuni oleh orang-orang buangan yang tidak mau berdamai dengan penguasa. Tempat ini tentunya amat lebih buruk dari Tanah Merah.
“Begitupun kita boleh jalan ke arah timur melalui pos missi Ninati yang terletak di Sungai Muyu. Tapi juga perjalanan ini tidak memberi hiburan! Maka kebanyakan penghuni memilih tetap tinggal 'di rumah saja', daripada bertualang yang tidak menyenangkan,” kata Chalid Salim.
Akibat dari rasa terkepung oleh pagar alam yang mengerikan, muncul penyakit claustrophobia atau rasa cemas akan ruang. Orang-orang yang mengidap penyakit ini tema obrolannya makin menyempit hingga akhirnya hanya merenung dan termenung saja atau menggumam seorang diri.
Banyak juga dari para Digulis yang tiba-tiba tersentak karena melihat genderuwo muncul dari balik hutan. Orang-orang yang dulu begitu aktif badaniah dan rohaniah, semakin lama semain merosot mentalnya.
“Orang-orang yang sudah biasa tinggal di pedalaman Sumatera dan Kalimantan sekalipun, menderita dari isolemen (isolasi, red.) di Digul ini,” ungkap Chalid.
Koesalah Soebagyo Toer dalam Tanah Merah yang Merah menyebut bahwa penyakit gila ini termasuk penyakit paling mematikan bersama malaria hitam dan TBC. “Ketiga penyakit ini tidak terobati: begitu orang terjangkit, sukar harapan untuk sembuh kembali,” jelasnya.
Baca juga: Alkisah Foto Jenazah Aliarcham
Rusman, seorang tahanan asal Bojonegoro dikirim ke Digul pada 10 Oktober 1927. Ia sempat bekerja di Digoelsche Openbaar Werken dan Cooperative Verbruiks Vereeniging Digoel. Suatu ketika ia menjadi gila tanpa ada yang tahu sebabnya.
“Tidak jelas mengapa ia bisa sampai gila, namun ia sempat dibawa ke Ambon dan dirawat di sana untuk beberapa waktu. Sampai laporan dibuat, belum ada tanda-tanda membaik pada dirinya,” tulis Langgeng Sulistyo Budi dalam "Pendidikan bagi Tawanan di Boven Digul 1926-42", termuat di Jurnal Sejarah Vol. 6 No. 1 Agustus 2004.
Sementara itu, A. Soerjomiharjo dalam "Digul dalam Sejarah" yang termuat di Jurnal Prisma 1988, menyebut ada tahanan yang jika bertemu siapa saja akan diciumnya, baik laki-laki mapun perempuan. Ada pula tahanan yang tiba-tiba berpidato tanpa peduli apakah ada yang mendengarkannya atau tidak.
Ada yang sempat dirawat, ada yang dibiarkan, ada pula yang meninggal dunia. Salah satunya, Koesnin, seorang buangan asal Salatiga.
Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1
Suatu ketika Koesnin mengalami sakit panas. Pada 9 Juli 1929 malam hari, ia lari-lari dan teriak-teriak ke tangsi. Ia dikejar orang banyak lalu dihentikan penjaga di pos penjagaan. Koesnin berhasil lolos namun pagi harinya ia ditemukan sudah menjadi mayat di tepi kali Digul.
Sama halnya dengan Koesno Goenoko buangan asal Madiun yang oleh Koesalah disebut sebagai "kasus gila yang monumental". Berdasarkan wawancara Koesalah dengan Darman dan Riboet (anak tahanan yang lahir di Digul), Koesno menjadi gila lalu merantai dirinya sendiri dan terjun ke Sungai Digul. Mayatnya baru ditemukan tiga hari kemudian.
Penyait gila tampaknya benar-benar serius dan seringkali menjangkiti para Digulis. Mas Marco Kartodikromo mencatat, penyakit gila bahkan dimasukkan dalam Grond Reglement di Digoelsraad pasal 14 b. Yang bunyinya, "seorang yang mati atau kena penyakit gila atau yang meninggalkan Digul harus diganti oleh candidaat dari tahun itu yang mendapat suara terbanyak".
Baca juga: Tri Ramidjo Kecil di Digul Muda di Buru
Pihak pemerintah kolonial pun tak menafikan penyakit gila. Kaum militer dan sipil akan dipindahkan ke daerah lain setelah berdinas satu atau dua tahun di Digul agar tak menjadi gila. Hanya beberapa orang yang bertahan lebih lama.
“Bahwa kami, kaum buangan, lambat laun pasti kan punah sebagai akibat daripada kesepian dan rindu, tidak memusingkan mereka,” ungkap Chalid Salim.
Chalid menambahkan, pemerintah kolonial berencana, jika kaum buangan tidak sampai mati di Digul, sekurang-kurangnya mereka akan menjadi dungu atau sinting jika suatu ketika bebas dari Digul.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar