Alkisah Foto Jenazah Aliarcham
Setelah Aliarcham meninggal, foto jenazah dan pemakamannya diperjualbelikan. Tersebar ke seluruh penjuru tanah air.
Engkau tidak hilang bagi kami, tidak!/ Masa kini kami tumbuh dari masa lampaumu/ Tangan kami menganyam terus/ Karya suci dan perjoanganmu/ Kami meneruskan kata gairah/ Kehidupanmu dengan rasa bahagia/ Obor yang menyala di malam kelam anda/ Kami sampaikan kepada angkatan kemudian.
Sajak gubahan penyair Belanda Henriette Roland Holst itu (dalam bahasa Belanda) tertulis di sebuah papan tulis hitam yang diambil dari sebuah sekolah. Digambar pula simbol palu arit pada papan itu lalu ditempatkan di belakang kepala jenazah Aliarcham.
Pemimpin Digulis itu meninggal dunia karena penyakit TBC pada Juli 1933 di atas sebuah perahu motor. Di Tanah Merah, seruan “Aliarcham meninggal!” menjalar ke seluruh kamp ketika perahu dari Tanah Tinggi itu tiba. Kematian Aliarcham telah menimbulkan rasa kehilangan yang berat bagi para Digulis.
“Tidak ada orang lain yang pernah menerima penghormatan dari semua tapol seperti Aliarcham,” tulis Molly Bondan dalam Spanning a Revolution.
Baca juga: Aliarcham, Buangan Paling Dihormati
Hampir seluruh penghuni Tanah Merah berkumpul. Jenazah Aliarcham kemudian dikebumikan di pemakaman Tanah Merah. Kuburannya penuh bunga-bunga dan tak lama dipagari kayu dengan ukiran Jepara.
Tak lama berselang setelah kepergian Aliarcham, foto jenazah, pemakaman dan makamnya tersebar. Hal ini bermula ketika foto-foto itu mulai dijual di kompleks pemerintah sipil oleh beberapa interniran. Dari sebuah kamp di tengah belantara Papua itu, foto Aliarcham tersebar ke penjuru negeri.
“Karena ada juga foto-foto yang dijual kepada pelaut-pelaut yang singgah di Tanah Merah, foto-foto itu akhirnya tersebar di seluruh tanah air,” tulis Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul.
Foto-foto Aliarcham kemudian sampai ke tangan H.C. Zentgraaff, seorang wartawan senior di Hindia Belanda. Zentgraaff lalu menulis tajuk rencana tentang Aliarcham di surat kabar De Java Bode.
Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1
“Dalam karangan itu wartawan tersebut bertanya-tanya bagaimanakah mungkin, bahwa potret dari orang Digulis yang meninggal, dan pemakamannya dapat tersebar ke seluruh Nusantara?” sebut Chalid Salim.
Namun, menurut Salim, Zentgraaff juga memberi hormat kepada Aliarcham yang terkenal fanatik menentang kekuasaan Belanda. Memang, meskipun dianggap musuh, orang-orang kolonial justru menghormatinya.
Foto-foto Aliarcham tak hanya beredar di masa perjuangan perintis kemerdekaan. 25 tahun setelah kematiannya, foto makam Aliarcham juga sampai ke tangan Sukarno. Roeslan Abdulgani yang menunjukannya kepada Bung Besar.
“Pada tahun 1957 dan 1958, sebelum lahirnya Manipol, foto ini pernah saya tunjukkan kepada Bung Karno. Beliau sangat tertarik akan syair itu dan tidaklah heran, jika dalam salah satu pidato beliau kemudian terdapat kata-kata syair itu diucapkan,” ungkap Roeslan dalam Membina Mental Rakjat Kearah Kesatuan Bangsa.
Foto-foto tersebut sepertinya diabadikan oleh L.J.A. Schoonheyt, dokter yang bertugas di Tanah Merah. Namun, ia merasa kecewa atas tersebarnya foto-foto itu. Kehebohan yang dibuat foto-foto itu membuatnya mendapat celaan.
“Rupanya dokter mendapat celaan karena hal itu, padahal yang demikian sama sekali bukan maksud kami. Maka ia kecewa tentang peristiwa itu,” kata Chalid Salim.
Selain tersebarnya foto-foto Aliarcham, muncul rumor bahwa bekas rumah Aliarcham berhantu. Menurut salah seorang sersan di Tanah Tinggi, rumah Aliarcham terlihat bersih dan rapi. Padahal tidak pernah ada yang berani masuk. Ketika malam, beberapa kali juga terdengar suara mengerang dan berseru.
Ketika Schoonheyt dan sersan masuk ke rumah Aliarcham, mereka mendapati barang-barang Aliarcham begitu rapi. Bahkan ada mangkuk bekas minum teh di dapur. Schoonheyt menyarankan agar barang-barang Aliarcham dijemur di luar dan rumahnya dibersihkan untuk membasmi kuman.
“Selanjutnya saya tak ingin mencampuri urusannya. Sudah cukup pusing kepalaku karena persoalan foto-foto pemakamannya, yang diperjualbelikan di sembarang tempat,” ujar Schoonheyt.
Seperti sajak Holst, obor perjuangan Aliarcham nampaknya diteruskan meskipun hanya melalui foto-fotonya. Obor yang lain dinyalakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Akademi Ilmu Sosial Aliarcham pada awal dekade 1960-an. Nyalanya dimatikan Orde Baru pasca tragedi 1965.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar