Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa
Sejak era Reformasi, bermunculan aneka buku tentang etnik Tionghoa. Bagaimana memasukkannya dalam kurikulum dan buku ajar sejarah masih jadi persoalan.
DARI zaman ke zaman, masyarakat etnis Tionghoa senantiasa mengalami dilema. Dari zaman kolonial sampai era Reformasi, aneka stigma negatif masih mengikuti mereka. Oleh karenanya, menjadi penting untuk memulai mencari ruang yang setara untuk mengakui peran etnis Tionghoa dalam “Rumah Indonesia” lewat pendidikan.
Menurut akademisi cum koordinator Program Studi S2 Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr. Abrar, jika Indonesia ingin menyongsong masa depan sebagai bangsa yang modern, mestinya sudah bisa menempatkan setiap suku bangsa pada posisi yang sama tanpa perbedaan perlakuan. Utamanya dalam melihat konteks sejarah dengan narasi peran yang setara.
“Kenyataannya masih tetap saja terjadi (ketidaksetaraan). Sudah menjadi tugas kita semua, terutama guru-guru yang menjadi ujung tombak, untuk meng-clear-kan persoalan (peran etnik) Tionghoa,” tutur Abrar saat membuka kuliah umum dan workshop bertajuk “Membangun Kesetaraan bagi Etnik Tionghoa melalui Pendidikan Sejarah”, di Gedung Pascasarjana UNJ, Jumat (13/10/2023).
Baca juga: Rasisme Sejak dalam Pikiran
Kuliah umum dan workshop itu digelar Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Program Studi Magister Pendidikan Sejarah FIS UNJ sebagai kelanjutan dalam rangkaian penelitian “Penguatan Demokrasi dan Identitas Kebangsaan bagi Etnik Tionghoa melalui Sektor Pendidikan”. Penelitian itu digulirkan Mei-Agustus 2023 dengan konsep ingatan kolektif yang dilakukan terhadap 25 guru mata pelajaran sejarah jenjang SMA negeri dan swasta secara acak.
“Salah satu poin hasil riset tersebut, semua guru yang kami datangi sepakat bahwa etnik Tionghoa belum setara dalam ‘Rumah Indonesia’. Stigma-stigma etnik Tionghoa masih sangat melekat di masyarakat Indonesia. Dari temuan terakhir juga, guru-guru itu sepakat bahwa penting untuk memasukkan informasi mengenai narasi peran etnik Tionghoa dalam sejarah bangsa di bahan ajar. Apakah itu bahan ajar yang disediakan sendiri oleh guru atau dalam buku ajar,” timpal Nina Andriana, koordinator Tim Kajian Etnik Tionghoa BRIN.
Namun itu sama sekali bukan perkara gampang. Terlebih kebijakan-kebijakan diskriminatif rezim Orba berdampak kuat pada absennya narasi peran etnis Tionghoa di buku-buku mata pelajaran sejarah.
“Kita tahu bahwa buku pegangan untuk pengajaran sejarah pada masa Orba, Sejarah Nasional Indonesia (SNI), tidak ada topik Tionghoa. Buku yang diterbitkan oleh Setneg (Sekretariat Negara) juga itu dihilangkan etnik Tionghoa ini,” ungkap sejarawan-peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof. Asvi Warman Adam.
Baca juga: Menjaga Marwah Pendidikan Sejarah
Faktor penting yang membuat etnis Tionghoa terdiskriminasi salah satunya adalah stigma yang menganggap mereka orang asing adalah antek kolonial. Juga anggapan mereka tak punya peran dalam membidani lahirnya Republik Indonesia serta tak punya peran dalam revolusi kemerdekaan. Hal itu diperunyam oleh situasi-politik pasca-Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
“Narasi tentang Tionghoa di Indonesia ini penting karena menurut penelitian Benny Setiono tentang asal-usul kekerasan yang menimpa etnik Tionghoa di seputar (Kerusuhan Mei) 1998, salah satunya bahwa etnis Tionghoa tidak ikut dalam perjuangan Indonesia. Bahwa mereka yang dianggap orang luar itu tidak hadir menjadi alasan untuk memusuhi mereka,” tambahnya.
Hal itu diamini aktivis 1998 yang juga pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar. Absennya narasi peran etnik Tionghoa itu, kata Azmi, menjadikan mereka kambing hitam dalam lembaran hitam kekerasan dalam Kerusuhan Mei 1998.
“Tak kenal maka tak sayang. Semestinya peristiwa (kekerasan Mei 1998) itu tidak perlu terjadi seandainya kita memiliki informasi yang cukup tentang saudara kita dari etnis Tionghoa,” ujar Azmi.
Lembaran-lembaran sejarah tentang peran etnik Tionghoa baru “dibangkitkan dari kubur” setelah era Reformasi. Buku-buku yang mengulas tentang para tokoh Tionghoa dan peran mereka pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Tak hanya tokoh-tokoh yang dianggap pahlawan dalam bidang olahraga tapi juga seni, budaya, serta militer.
Peran perwira TNI AL John Lie, misalnya. Pria etnis Tionghoa asal Minahasa itu sanggup menembus blokade laut Belanda di masa revolusi untuk mendapatkan senjata bagi perjuangan fisik.
John Lie pada 2009 memang diberi gelar “Pahlawan Nasional”, namun menurut Azmi, masih banyak tokoh lain yang juga patut diberi ruang untuk mengisi kekosongan narasi peran etnik Tionghoa warisan rezim Orba. Yang perlu diperhatikan adalah, warisan rezim Orba itu berefek “dua arah”.
“Orang Tionghoa juga tidak mengerti sejarah dirinya karena selama 30 tahun lebih rezim Orba tidak hanya menyembunyikan sejarah itu tapi juga fitnah yang luar biasa berdampak buruk pada etnis Tionghoa. Akibatnya di antara orang-orang Tionghoa ada rasa rendah diri, kemudian di non-etnis Tionghoa sebagian merasa superior. Satu merasa rendah, satu lagi merasa lebih hebat. Ini kombinasi pandangan yang mematikan,” imbuh Azmi.
Baca juga: Bandul Stigma yang Berbahaya
Harapan di Tangan Guru
Sebagaimana diungkapkan Asvi, sejak era Reformasi buku-buku mengenai narasi itu memang sudah tak lagi sulit ditemukan. Persoalannya tinggal bagaimana narasi peran etnik Tionghoa itu masuk ke pengajaran sejarah di beragam jenjang pendidikan.
Tantangannya kian hari makin besar pula untuk para guru sejarah sebagai ujung tombaknya. Terutama sejak Kemendikbudristek mengeluarkan Kurikulum Merdeka yang berdampak pada drastisnya pengurangan alokasi jam ajar pelajaran sejarah.
“Kadang repot. Materi segudang dari periode manusia purba sampai Reformasi harus kita jejalkan ke kepala anak (didik). Di kelas XI kurang lebih cuma ada delapan pertemuan dikali 90 menit (per pertemuan),” terang Zia Ulhaq, sekretaris Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah DKI Jakarta.
Baca juga: Perlukah Materi Sejarah Diperbarui?
Zia sendiri mengajar sejarah di SMA 42 Jakarta yang menjadi salah satu sekolah penggerak. Kondisi yang ada mengharuskannya lebih inovatif dan kreatif –terlepas dari beban tugas pokok mengajar dan beban administratif. Dia mesti “mengakali” minimnya jam pelajarannya dibanding pada kurikulum-kurikulum sebelumnya dengan bagaimana caranya menyisipkan narasi peran etnik Tionghoa.
“Di kurikulum baru itupun saya belum temukan peran orang Tionghoa di dalam proses kemerdekaan Indonesia di kelas XI dan XII. Lalu bagaimana memasukkan materi peran etnis Tionghoa? Anak-anak (didik) kalau kita kasih narasi baru, maaf-maaf, yang sudah ada (narasi sejarah) saja kadang enggak mereka baca,” lanjutnya.
Di tangan gurulah harapan mengenalkan narasi peran etnis Tionghoa itu tetap menyala. Kandati materinya tidak ada di buku ajar, bukan berarti guru tidak bisa bebas berinovasi dalam Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) atau silabus, Tujuan Pembelajaran (TP), Capaian Pembelajaran (CP), serta Program Tahunan (Prota) dan Program Semester (Prosem).
Sebagai guru, lanjut Zia, tiap orang harus bisa prepare perencanaan, strategi, metode penyampaian. Ia sendiri membedah berbagai fase pembelajaran dengan lebih dulu menganalisis ATP, TP-CP, Prosem-Prota untuk mencari celah memasukkan materinya.
“Di kelas XI ada fase pergerakan kebangsaan Indonesia. Di ATP (fase) ini kita bisa masukkan peran tentang peran Partai Tionghoa Indonesia yang ternyata pernah berjuang bersama Ki Hadjar Dewantara melawan kebijakan kolonial tentang ordinantie (1932). Di kelas XII, peran John Lie bisa masuk di ATP fase mengidentifikasi tokoh-tokoh Perang Kemerdekaan RI. Jadi analisis ATP, TP-CP, Prota-Prosem, karena itu ‘amunisi’ kita. Tuangkan dalam modul, masukkan ke dalam pembahasan dan masukkan ke dalam refleksi,” urai Zia.
Untuk bisa memasukkan narasi-narasi yang akan disampaikan ke anak didik, guru tentu harus punya modal informasi-informasi sejarah yang uptodate dan valid. Peran itulah yang juga diemban Tim Kajian Etnik Tionghoa BRIN lewat risetnya di atas.
“Guru punya hak. Kekuasaan guru di ruang pikir anak (didik). Mereka punya kemampuan, punya ruang dan kebebasan untuk memasukkan apa saja informasi yang valid untuk anak (didik). Makanya tujuan riset ini juga menyemangati dan membantu guru dengan menyuplai informasinya,” sambung Nina.
Baca juga: Sejarah sebagai Ilmu Berbangsa
Itu jadi tujuan jangka pendeknya. Pasalnya ada banyak variabel yang menyulitkan banyak pendidik untuk sanggup ikut berinovasi dan berkreasi seperti Zia. Mulai dari tidak meratanya tenaga pendidik hingga realitas saat ini di mana tidak semua guru sejarah adalah lulusan sarjana ilmu sejarah atau pendidikan sejarah.
Oleh karenanya, riset Tim Kajian Etnik Tionghoa BRIN juga punya tujuan jangka panjang: agar bisa masuk kurikulum dan buku ajar. Kendati diakui Nina, upaya ke arah itu perjalanannya masih sangat panjang.
“Kalau masuk ke kurikulum, mengubah isi buku ajar, itu akan panjang sekali perjalanannya. Tapi tujuan akhirnya tentu kami ingin masuk buku ajar. Kalau enggak masuk buku ajar, seperti tidak ada sebuah tanggungjawab menyampaikan info (narasi Tionghoa) itu. Kalau sudah terlihat di buku ajar, itu kan menjadi kewajiban untuk disampaikan kepada murid,” tandasnya.
Baca juga: Perbarui Kurikulum Itu Tidak Mudah
Tambahkan komentar
Belum ada komentar