Medan Prijaji, Medan Laga Tirto Adhi Soerjo
Mengusung nama Priyayi, tapi membela kepentingan bersama. Tutup riwayat karena persekongkolan pejabat kolonial dan kaum feodal.
Plang nama bangunan itu terbaca jelas. “Yayasan Pusat Kebudayaan”. Hurufnya keperakan, timbul di atas kayu cokelat. Pintu dan jendela besarnya tertutup rapat. Bangunan di Jalan Naripan No 7—9, Bandung, Jawa Barat, ini peninggalan kolonial. Langgamnya arsitektur modern 1930-an. Sekarang menjadi tempat pertunjukan seni tari, lukis, dan teater.
“Bangunan ini sempat mengalami perubahan bentuk. Awalnya tidak seperti ini. Tapi saya tidak tahu bahwa bangunan ini dulunya berfungsi sebagai percetakan Medan Prijaji,” kata Lenny Muliawati, salahsatu pengurus Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK).
Buku informasi terbitan YPK berjudul Yayasan Pusat Kebudayaan Dari Masa ke Masa juga tidak memuat keterangan penggunaan bangunan ini sebagai percetakan Medan Prijaji. Buku ini langsung menginjak masa 1930-an saat bangunan ini digunakan untuk kongkow oleh kelompok Indo (anak hasil nikah orang Eropa dan orang tempatan).
Bagian Medan Prijaji (MP) terlupakan. Begitu pula dengan sosok penggeraknya, Tirto Adhi Soerjo (TAS). Mungkin karena TAS sempat hilang dalam semesta sejarah Indonesia. Bahkan keturunan TAS pun mengenalnya melalui buku lebih dulu.
“Baru kemudian diceritakan oleh orangtua,” kata R.M. Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto, cicit TAS dari garis istri pertama.
MP merupakan pers buah karya TAS. Dalam novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer dan film Bumi Manusia garapan Hanung Brahmantyo, TAS menjelma sebagai Minke. Seorang putus sekolah dari STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia di Batavia. Dia lebih senang dengan dunia pers dan dagang.
Baca juga: Bumi Manusia Rasa Milenial
MP terbit kali pertama pada 1 Januari 1907 dalam format mingguan. Banyak orang yakin bahwa tempat terbit awalnya di Bandung. Keterangan ini diperoleh dari Parada Harahap, pewarta tenar 1930-an.
“Seorang journalist toean R.M. Tirtohadisoerjo mengemudikan s.k. Medan Prijaji di Bandoeng,” kata Parada Harahap dikutip oleh Soebagio I.N. dalam Sebelas Perintis Pers Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan sekaligus sosok paling berjasa dalam mengembalikan TAS ke semesta sejarah Indonesia, tidak menyebut secara gamblang tempat terbit awal MP. Baik dalam novel Jejak Langkah (bagian ketiga dari Tetralogi Buru yang mengisahkan Minke mengembangkan bisnis dan gagasan medianya) maupun Sang Pemula (biografi TAS).
Mendekati Priyayi
Tapi apa yang jelas dari MP jauh lebih banyak. Antara lain peran, visi, pengaruh MP selama terbit, dan warisannya setelah kandas.
Muhidin M. Dahlan, penulis sekaligus arsiparis, dan Iswara Raditya, sejarawan merangkap jurnalis, menyebut peran MP berbeda dari Soenda Berita (SB), pers lain buatan TAS di Cianjur pada 7 Februari 1903.
“Lebih dari Soenda Berita yang cenderung berperan sebagai luapan otak dan pemikiran Tirto dengan sesekali memberikan cubitan kepada aparat kolonial, Medan Prijaji lebih meresapi lakonnya sebagai medan bertarung Tirto untuk membela rakyatnya dari penindasan, dan tujuan ini tidak main-main,” tulis Muhidin dan Iswara dalam Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo : Pers Pergerakan dan Kebangsaan.
Baca juga: Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan
Ada juga kesamaan SB dengan MP. Keduanya bertumpu sekuatnya pada keyakinan bahwa kemajuan bangsa dapat tercapai melalui paduan pers dan dagang. TAS mengibaratkan pers sebagai matahari dunia dan memaklumatkan dagang menjadi laku kemandirian. Keduanya saling menyokong. Dia ikhtiarkan keduanya pada tiap pers bikinannya.
Gagasan TAS tentang paduan pers dan dagang kian matang seiring tempo. Ini tampak dalam pembiayaan dan pemilihan isi MP.
TAS mencari modal dari kantong anak negeri. Maka dia kunjungi sejumlah priyayi dan bangsawan di pelosok negeri. Hingga terpikirlah ide membentuk Sarikat Prijaji pada 1906
Sarikat Prijaji bertujuan memperbaiki pengajaran di kalangan anak negeri. Caranya dengan menghimpun dana dari priyayi dan bangsawan. Dana itu juga untuk penerbitan media berkala milik organisasi.
TAS menyeleksi priyayi dan bangsawan. Mana yang sejalan dengan gagasannya, mana yang tidak. Banyak priyayi dan bangsawan terpikat dengan gagasan, kepribadian, dan tulisan TAS di pers sebelum SB dan MP. Mereka memutuskan ikut mendukung Sarikat Prijaji dan penerbitannya.
Dari pembentukan Sarikat Prijaji, TAS menerima bantuan dua orang besar untuk memodali MP. Mereka adalah R.A.A Prawiradiredja, Bupati Cianjur dan Oesman Sjah, Sultan Bacan, sebuah negeri di wilayah timur Hindia.
Selain dari priyayi dan bangsawan, TAS memperoleh dana dari calon pelanggan MP. Target pasar MP jelas : kalangan terdidik, priyayi, dan bangsawan. Mereka berpenghasilan lebih dari cukup untuk hidup enak selama satu bulan. Jika mereka ingin berlangganan MP, TAS mensyaratkan pembayaran di muka untuk masa per kwartal, semester, atau tahun.
Kebijakan TAS tadi tak lazim dalam segi niaga pers sezaman di Hindia Belanda. “Pada masanya, dalam kehidupan perniagaan Pribumi, langkah yang diambilnya dengan berani itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru,” ungkap Pramoedya dalam Sang Pemula. Dengan begitu, selesailah urusan pembiayaan.
Berikutnya mengenai isi MP. TAS telah punya gambarannya sebelum MP terbit. “Memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangunkan bangsanya, dan memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan,” catat Pram dalam Sang Pemula.
Gambaran itu benar-benar diejawantahkan oleh TAS dalam tiap terbitan MP. Karena itu, MP telah menarik garis pemisah dari pers semasa. Ia tak hanya pers niaga, melainkan juga pers kebangsaan.
Bangsa Terprentah
Melalui MP, TAS mengajukan konsep kebangsaan. Itu terpampang jelas dalam jargon halaman muka MP terbitan tahun-tahun awal. “Swara oentoeq sekalian radja-radja, bangsawan asali, bangsawan fikiran, prijaji-prijaji, dan kaoem moeda dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh Hindia Olanda”.
Jargon ini bersulih bunyi kala MP mulai terbit harian sejak 1910. Masa itu pula percetakannya mengambil lokasi di Jalan Naripan, Bandung.
TAS menambahkan konsep ‘bangsa jang terprentah’ dalam jargon MP. Maksudnya, “Bahwa suatu bangsa tidak didasarkan pada status sosial, kasta, terlebih ras,” terang Okky Tirto. Bangsa harus didasarkan pada satu simpul bersama yang melampaui hal-hal termaksud. TAS melihat ikatan tersebut berupa keadaan terperintah oleh kolonialisme asing dan feodalisme lokal.
‘Terprentah’, inilah simpul pertemuan beragam golongan di Hindia. Tidak peduli dia Bumiputera, Indo, Tionghoa, Arab, saudagar, priyayi, atau jelata. “Selama dia memiliki perhatian dan keterlibatan bersama dengan orang-orang ‘terprentah’, selama itulah dia termasuk bangsa kami,” lanjut Okky.
Baca juga: Membedah Silsilah Tirto Adhi Soerjo
Dari kredo itulah MP bergerak membela golongan ‘Terprentah’. Mulai penjual ikan pindang dan kering di pasar, bupati, sultan-sultan di luar Jawa dan Madura, sampai pejuang Aceh terbuang di Bandung.
TAS sangat menikmati masa-masa ini. Dia begitu leluasa menggebuk kuasa kolonial dan feodal tersebab punya cukup pengaruh di pucuk pemerintahan dan massa arus bawah.
TAS membangun hubungan baik dengan Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz (1904—1909). Dia angkat topi untuk kebijakan van Heutsz. “Karena ketegasannya dalam melakukan perombakan besar dalam kebijaksanaan pemerintahan, pembukaan mata pencarian baru bagi penduduk, kekerasan dan ketanganbesiannya dalam mempersatukan seluruh Hindia,” catat Pramoedya.
Sri Baginda Ratu Belanda mengetahui perubahan kebijakan di negeri koloni. Dia mempercayakan semua halnya kepada van Heutsz. Berbekal kepercayaan inilah van Heutsz juga merombak cara menyensor pers. Dari sensor preventif ke sensor represif. Ini membuat hidup pers lebih bebas.
TAS pernah lolos dari sengketa dengan pejabat pemerintah Hindia Belanda semasa van Heutsz berkuasa. Kasus itu berpangkal dari tulisan TAS tentang penyelewengan wewenang pejabat Eropa dan anak negeri.
Pejabat termaksud merasa terhina dan mengadukan TAS ke pengadilan atas delik umpatan. Untuk kasus ini, warga desa pun turut menjadi pembela TAS dan MP. Mereka semua sebarisan, melawan laku lancung pejabat pemerintah.
Dalam masa pemerintahan van Heutsz pula MP bisa tumbuh dan menyebar luas dengan kritik tajamnya terhadap ketidakberesan pemerintahan. Badan hukum, kantor cabang, dan percetakan MP berdiri di sejumlah wilayah : Buitenzorg (Bogor), Batavia, Bandung, Jawa Tengah, dan Negeri Belanda. Tirasnya sempat mencapai 2.000 eksemplar. Cukup besar untuk pers semasa.
Sebagai bentuk terimakasih kepada sikap longgar Sri Baginda Ratu dan van Heutsz, TAS menulis seperti berikut di MP Tahun III, 1909. “Saya akan memanah hingga mati pengrusak-pengrusak kepercayaan Sri Baginda Ratu.”
Pailit dan Dibuang ke Ambon
Tapi kekuasaan tidak pernah abadi. Masa van Heutzs berakhir. Dan TAS ternyata tak pernah menyadari ikhtiarnya menuai dua hal berlawanan : buah simpati sekaligus benih permusuhan.
Pada masa setelah van Heutsz, benih-benih dendam dan perlawanan balik pejabat kolonial dan feodal tumbuh lebih cepat dan besar daripada MP. Pertumbuhannya turut dipupuk oleh Gubernur Jenderal A.W.F Idenburgh (1909—1916). Dia lebih keras kepada pers. Kloplah formasi ini. Pertama-tama, mereka melepaskan anak panah balasan ke arah TAS.
TAS mengalami pembuangan selama dua bulan ke Teluk Betung, Lampung, pada 18 Maret 1910. “Saya telah dibuang karena mengusik kelakuan seorang aspirant controleur (calon pengawas atau pejabat Hindia Belanda-Red.) dengan menggunakan kalimat menghinakan,” kata Tirto, seperti dikutip oleh Muhidin dan Iswara. Kasus ini pada masa van Heutsz sebenarnya sudah masuk peti es, tetapi dibuka lagi pada masa Gubernur Jenderal Idenburgh.
Anak panah berikutnya melesat ke MP pada 1911. Tertancap tepat sasaran ke jantung MP, yaitu organ finansialnya. Mereka kelimpungan setelah banyak perusahaan besar batal pasang iklan di MP. Beberapa priyayi dan bangsawan sengaja menunggak pembayaran uang langganan MP. Sirkulasi uang perusahaan penaung MP pun terhambat.
Keuangan perusahaan menipis sehingga terpaksa berutang. Sedikit-sedikit, lalu menjadi bukit. MP tak sanggup membayarnya. Terbitan MP pun terhenti sejak Januari 1912. Pengadilan lalu memutus perusahaan penaung MP telah pailit. Kantor cabang MP di beberapa wilayah dan percetakannya disita. MP habis riwayat pada 22 Agustus 1912.
Bagaimana nasib TAS?
Dia turut terseret gugatan pengadilan lantaran perkara tunggakan utang. Hukumannya lagi-lagi pembuangan. Dia berangkat ke pembuangannya di Ambon pada akhir 1913. “Semua yang telah dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya,” tulis Pram.
Bahkan percetakan MP di Jalan Naripan, Bandung, pun tak kelihatan lagi. Berganti bangunan baru. Tapi Pram mengingatkan bahwa sejatinya TAS dan MP masih bersemayam. “Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar