Membedah Silsilah Tirto Adhi Soerjo
Sang pemula ternyata keturunan Pangeran Sambernyawa. Kabarnya ada darah Arab mengalir dalam tubuhnya.
SEBEGITU lamanya nama Tirto Adhi Soerjo terkubur, hingga tidak sedikit kepingan riwayatnya yang hilang. Ambil contoh, Tirto sebagai tokoh pahlawan nasional sejak 2006, tak seperti figur-figur lainnya, di mana sampai hari ini belum diketemukan dari rahim perempuan mana ia dilahirkan.
Ada sedikit keserupaan antara tokoh Minke – diperankan oleh Iqbaal Ramadhan dalam film Bumi Manusia yang diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer dengan judul sama, dengan Tirto. Toh memang Pram menghadirkan Tirto dengan alter ego Minke dalam tetralogi Pulau Buru-nya.
Dalam roman Pram yang difilmkan sineas Hanung Bramantyo itu, Minke merupakan putra seorang Bupati Bojonegoro yang diperankan Donny Damara. Hampir bisa dipastikan sosok yang diperankan Donny adalah Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipuro. Namun di film juga dihadirkan sosok ibu Minke yang dimainkan aktris Ayu Laksmi yang tentunya entah merujuk pada wanita mana. Hingga kini nama ibu asli Tirto masih misterius.
“Saya saja sebagai cicitnya, sampai saat ini belum tahu dan belum menemukan siapa ibunya Tirto Adhi Soerjo,” tutur RM Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto kepada Historia.
Baca juga: Bumi Manusia Rasa Milenial
Okky salah satu cicit dari garis silsilah istri pertama Tirto Adhi Soerjo. Yang dimaksud istri pertama Tirto bukan Siti Habibah, putri Bupati Cianjur R.A.A. Prawiradiredja. Melainkan seorang bangsawan Sunda lainnya, Raden Siti Suhaerah. Ia jadi yang pertama dinikahi Tirto sebelum ia memperistri Siti Habibah dan Fatima, putri Sultan Bacan (1862-1889) Muhammad Sadik Syah.
“Di berbagai referensi kebanyakan hanya menyebutkan dua istri. Habibah anak bupati Cianjur yang kemudian ikut mendirikan (suratkabar) Soenda Berita dan Poetri Hindia, kemudian princess Fatima anak Sultan Bacan. Tapi ada istri pertama yang sebetulnya jarang mendapatkan sorotan yang kemudian kita tahu bernama Siti Suhaerah,” sambung Okky.
Tidak seperti Siti Habibah ataupun Fatima yang turut aktif dalam pergerakan nasional lewat jurnalistik di suratkabar Poetri Hindia, Siti Suhaerah lebih kepada istri yang memainkan peran sebagai ibu rumah tangga.
Dua Versi Kelahiran Tirto
Jangankan soal misteri siapa ibunda Tirto, toh terkait tahun kelahiran Tirto saja masih mengundang tanya. Penyair Priatman dalam puisinya, “Di Indonesia 1875-1917” yang pernah dimuat buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah pada 1962, menyebut Tirto lahir pada 1872 dan wafat 1917. Pram turut menyantumkan keterangan ini dalam biografi Tirto, Sang Pemula dan menyebutnya kurang akurat.
“Syair sederhana tersebut – dengan sejumlah kekurangannya, a.l. (antara lain, red) tahun lahir dan meninggalnya tidak akurat, mencerminkan pengetahuan umum tentang R.M. Tirto Adhi Soerjo mulai penggal kedua dasawarsa kedua sampai dasawarsa keenam, yaitu terbatas pada tahun lahir dan meninggal, pendidikan, keturunan, karier jurnalistik, pembuangannya ke Lampung dan kuburannya. Itupun sudah dapat dinilai lumayan,” sebut Pram.
Pram menilai ketidakakuratan itu merupakan buah dari “suksesnya” para musuh Tirto yang acap menyudutkannya semasa hidup, untuk mengacaukan asal-usulnya sejak 1920-an. Sebut saja para pejabat Penasihat Urusan Pribumi Hindia Belanda: Snouck Hurgronje, G.A.Z. Hazeu hingga D.A. Rinkes.
Baca juga: Pram Menemukan Minke
Namun Pram lebih mempercayai temuan sejumlah dokumen biasa dan sangat rahasia oleh S.L. van der Wal pada 1954, De Opkomst van de Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië, di mana disebutkan Tirto lahir pada 1880 dan wafat pada 7 Desember 1918. Menariknya lagi, di batu nisan Tirto di TPU Blender, Bogor, terpahat tahun lahir 1875 namun wafat 1918.
“(Diambil) titik tengahnya ya. Zaman itu, tradisi penanggalan memang belum cukup serapi sekarang ya,” papar Okky Tirto.
Tirto lahir dengan nama Raden Mas Djokomono di Blora. Ia anak kesembilan dari 11 bersaudara. Ayahnya, Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan (EYD: Khan) Tirtodhipoero. Saat Tirto lahir ia masih berkarier sebagai pegawai kantor pajak, di mana kelak ia juga akan jadi bupati. Sebagaimana diuraikan di atas, sampai kini belum diketahui siapa nama ibunya.
“Tak banyak yang dapat dihimpun tentang masa kecilnya. Seakan ia langsung menjadi dewasa. Semi-otobiografinya, Busono, juga tak pernah menggambarkan masa bocahnya. Samar-samar saja ia tampilkan dua orangtuanya. Timbul dugaan, ia tak pernah mengenal orangtuanya,” sebut Pram.
Hanya diketahui kemudian ia berganti nama sejak masa muda, di mana lazim dilakukan priyayi zaman itu menjadi RM Tirto Adhi Soerjo. Sisanya, riwayatnya hanya diketahui ia merupakan cucu Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Rajegwesi, Karesidenan Rembang. Sebelum 1827, Rajegwesi merupakan sebutan Bojonegoro.
Ia juga diketahui sangat dekat dengan neneknya, Raden Ayu Tirtonoto yang masih keturunan (cucu) Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa. Masa belia dihabiskan Tirto bak nomaden. Mulanya ia diasuh neneknya semasa bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) di Bojonegoro. Lantas sepeninggal sang nenek, Tirto ikut sepupunya, RMA Brotodiningrat ke Madiun.
Baca juga: Asal-usul Pangeran Samber Nyawa
Belum juga ia tamat ELS, sudah pindah lagi ke Rembang diasuh salah satu kakaknya, RM Tirto Adhi Koesoemo yang jadi kepala jaksa di sana. Baru pada usia 14 tahun selepas lulus ELS di Rembang, ia merantau ke Batavia untuk melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen).
Meski tak sampai lulus di STOVIA, benih-benih gagasan Tirto soal perlawanan penindasan mulai merekah lewat media. Alhasil ia juga mesti menghadapi tuntutan jaksa di pengadilan. Namun berkat statusnya sebagai bangsawan yang ternyata masih ada hubungan kekerabatan dengan priyayi di Kasunanan Surakart dan Panembahan Madura, ia berlindung di balik Forum Privilegiatum, di mana setidaknya ia tak bisa divonis hukuman fisik. Sepahit-pahitnya ia diasingkan.
“Dari situ dapat diketahui, ia berada di derajat keempat dari Kraton Solo, derajat keempat dari Panembahan Madura terakhir dan derajat keempat dari RMAA Tjokronegoro, Bupati Blora yang memerintah sampai 1912,” lanjut Pram.
Tirto dan Ketiga Istrinya
Sebagaimana juga disebutkan Okky, istri pertama Tirto Adhi Soerjo adalah Siti Suhaerah. Sayang, Okky belum sampai menemukan detail kapan Tirto pertamakali melepas masa lajang dengan Suhaerah. Hanya disebutkan ketika Tirto mulai berkiprah di dunia jurnalistik di Cianjur selepas keluar dari STOVIA. Okky juga lantas berbagi data para istri dan keturunannya, termasuk dari garisnya.
“Yang disebutkan Pram di Sang Pemula sebagai penyair Priatman, itu sebenarnya kakek saya, RM Priatman yang juga putra Tirto dengan Siti Suhaerah. Saya sendiri garisnya dari anak ke-12, RM Dicky Permadi, dari pasangan RM Priatman dengan Siti Halimah,” sambung Okky yang merujuk Tirto punya 16 cucu dari RM Priatman.
Artis lawas Dewi Yull alias RA Dewi Pujiati juga cicit Tirto dari garis yang sama dengan Okky. “Mbak Dewi dari putra tertua, RM Soendarjo. Jadi termasuk cicitnya TAS juga dari garis RM Priatman,” tambahnya.
Kemungkinan besar Tirto menikahi Siti Suhaerah setelah mendirikan suratkabar mingguan Soenda Berita di Cianjur, 1903, di mana pers pribumi yang berkantor di sebuah desa itu terbit perdana 7 Februari 1903. Suratkabar itu beredar hingga ditutupnya pada 1906.
Di antara tahun-tahun itu, Tirto menikah lagi dengan Siti Habibah, putri Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja, bangsawan yang urun dana dalam operasional Soenda Berita. Dari garis istri Siti Habibah, Tirto tercatat punya dua anak: RA Julia dan RM Hasan Busono, serta sembilan cucu.
Pram juga mencatat bahwa dalam kurun 1905-1906, Tirto berkelana sampai ke timur Nusantara, tepatnya Pulau Bacan di Kepulauan Maluku. Di pulau ini dan sekiranya dalam kurun itupula ia mempersunting Fatima. Ia adik dari Sultan Oesman Sjah, Sultan Bacan yang baru dinobatkan pada 1900 menggantikan ayahnya, Sultan Mohammad Sadik Sjah. Dari Fatima, ia punya satu anak, RM Sadaralam dan lima cucu.
Tirto Berdarah Arab?
Dari yang coba digali Okky, sedikitnya ia menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan dalam diri Tirto turut mengalir darah Arab. Okky pun lahir dari ibu seorang keturunan Hadrami.
“Makanya saya juga punya nama lain, Muhammad Fikry. Ibu saya keturunan Hadrami, Fathiya Shahab,” imbuh Okky.
Ia pernah mencoba ingin menggali lebih dalam ke Kawedanan Satrio di Mangkunegara. Sayangnya saat itu ia menjelang kembali ke Jakarta dan sudah terlampau petang hingga akhirnya batal mengulik arsip-arsip di Mangkunegaran.
“Sampai sekarang masih jadi pertanyaan siapa ibu Tirto Adhi Soerjo? Terus kenapa nama ayahnya itu Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero. Istri ketiga, Putri Fatimah anak Sultan Sadik Sjah juga konon keturunan Arab,” katanya lagi.
Baca juga: Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan
Kedekatan Tirto dengan peranakan Arab juga berkaitan dengan kegiatan pergerakannya, di mana ia turut mendirikan Syarikat Dagang Islamiyah dengan sejumlah tokoh berdarah Arab. Tirto juga dekat dengan tokoh-tokoh Jamiat Kheir Tanah Abang semasa di Batavia. Di sisi lain, Tirto tak kalah dekat dengan golongan terpelajar Tionghoa kala aktif di bidang jurnalistik di Batavia sebelum mendirikan Soenda Berita di Cianjur.
“Makanya kenapa hari ini banyak sentimen anti-Arab yang berlebihan? Di sisi lain juga ada sentimen berlebihan yang anti-Cina. Padahal orang-orang Indonesia ya banyak yang setengah Arab, setengah Cina. Ini kan seperti mundur jauh ke belakang. Padahal dulu Tirto sudah menarik garis tegas antara yang ‘Terprentah dan Memerentah’. Golongan yang ‘Terprentah’ ya semua etnis yang ditindas sistem kolonial, termasuk Arab dan Tionghoa,” tandas Okky.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar