Makanan para Tahanan
Kurang dan buruknya jatah makan membuat para tapol sakit dan banyak yang meninggal. Mereka putar otak untuk bertahan, sampai makan bekicot.
MIA Bustam, perempuan pelukis anggota Lekra, merasakan jatah makan yang diterima tahanan politik (tapol) 1965 masih manusiawi pada awal ditahan di Vredeburg. Selain diberikan dua kali setiap hari, jam 10 pagi dan 3 sore, menunya pun berupa nasi ditambah oseng-oseng buncis atau kacang panjang, labu siam, dan lauk berupa tempe atau tahu bacem. Lain waktu, menunya berupa gudeg dengan sambal goreng krecek dan tolo.
“Memadailah, yang mengurus ransum itu restoran di Danurejan,” kata Mia dalam memoarnya, Dari Kamp ke Kamp.
Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Pihak restoran mogok mengirim makanan lantaran Tim Pemeriksa Daerah (Taperda) sama sekali tidak membayar katering itu sejak awal. Jatah makan para tapol pun dikirim dari Penjara Wirogunan sejak itu.
Baca juga: Berlebaran di Tahanan
Makanan diangkut menggunakan truk. Begitu truk tiba di Vredeburg, para tapol berbaris mengantri sambil membawa besek-besek bekas. Mereka menunggu jatah dari dua narapidana yang ditugaskan membagikan. Menunya jelas jauh lebih buruk dari menu sebelumnya.
Grontol, nasi jagung, dan sayur kubis menu mereka setiap hari. Porsi grotolnya pun amat sedikit. Mia dan rekan-rekannya pernah iseng menghitung jumlah butir grontol jatah makan itu: 250 butir jatah untuk tapol perempuan dan 150 butir untuk tapol lelaki.
Baca juga: Makanan Sederhana Presiden Pertama
Suasana tahanan biasanya jadi sepi setelah pembagian makan. Semua tapol khusuk mengupas kulit grontol yang tebal lantaran dibuat dari jagung metro yang kulitnya tak bisa dicerna. Setelah itu, akan terdengar bunyi ‘tik-tik’, suara para tapol lelaki menumbuk jagung.
Mereka menumbuk dengan cobek buatan. Lumpang dibuat dari tegel batu di halaman kamp yang mereka bongkar. Batu bulat yang ada di sekitar kamp dijadikan penumbuknya. “Maklum, di antara mereka banyak orang tua yang giginya tak lengkap lagi. Ada juga anak muda yang giginya rontok disebabkan penganiayaan pada waktu penangkapan dan pemeriksaan, sehingga sulit mengunyah grontol yang super keras itu,” kata Mia.
Lantaran jatah makan yang tersedia cuma kubis busuk dan grontol apek, para tahanan politik (tapol) mulai masak-masak di dalam tahanan. Tapi karena para tapol tak punya bahan makanan lain, yang dimasak pun cuma kubis busuk yang dicuci lantas dimasak lagi untuk dijadikan oseng-oseng, urap, atau pecel. Hanya untuk menambah variasi menu.
“Yang dimasak ya sayur kubis tua itu, setelah kuahnya yang asin sekali itu dibuang. Kami tak ingin kena hipertensi,” kata Mia.
Para tapol juga mengubah menu grontol. Setelah menumbuk grontol, mereka menjadikannya bubur atau gethuk yang ditambah gula jawa. Bumbunya didapat dari kiriman keluarga.
Baca juga: Alkisah Beras Sintetis dari Zaman Orde Baru
Kompor yang mereka gunakan untuk memasak bahan bakarnya macam-macam. Tapol perempuan membuatnya dari besek bekas yang anyamannya sudah dilolosi, kulit-kulit grontol, atau daun pisang bekas pembungkus kiriman. Daun pisang itu disobek kecil-kecil, dikepang, lantas dijemur agar kering sehingga mudah terbakar.
Sementara, tapol lelaki lebih nekat dalam membuat bahan bakar. Selain menggunakan bahan bakar seperti tapol perempuan, mereka mencopoti kolom-kolom atap tahanan. Tentu saja, mereka memilah bagian yang aman kalau dicopot. Kegiatan masak-masak dalam kamp itu jelas sepengetahuan petugas lantaran asap dan bau masakan pasti tercium dari tempat kerja mereka.
Baca juga: Ramadan Para Tahanan
Saking sedikitnya jumlah makanan, beberapa tapol menderita kelaparan hingga meninggal dunia. Tiap hari jumlahnya makin naik, dari dua, delapan, belasan, hingga puluhan orang. Ketika menginterogasi Mia, Hardjono, dosen yang ikut menginterogasi tapol, bercerita bahwa Taperda bingung bagaimana harus memberi makan tapol yang jumlahnya amat banyak padahal dana untuk konsumsi hampir tak ada.
“Suruh saja mereka pulang semua, kecuali yang benar-benar terlibat, maka problem akan terpecahkan dengan sendirinya,” kata Mia.
Masalah jatah makan juga terjadi di Kamp Plantungan. Meskipun sudah dibentuk unit-unit produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup para tapol, jatah makan sering kurang. Mulanya, ransum berisi nasi dan sayur dengan sepotong tempe atau ikan asin. Ransum ini dibagikan tiga kali sehari. Lama-lama jatah makan berkurang jadi dua kali sehari, dibagikan siang dan malam hari.
Baca juga: Sejarah Tempe
Karena terus-menerus kurang, menu sarapan diganti jadi tiga potong singkong. Para tapol yang punya uang bisa membeli telur di koperasi, tapi yang kantongnya kering, memilih makan bekicot yang ditemukan di ladang.
“Coba bayangkan, dapat jatah nasi tempenya seruas jari, malam tidak ada lauk. Makanya bekicot pun dimakan, dibikin sambel goreng. Itu katanya juga bisa untuk obat bisul. Kalau sekarang suruh makan saya nggak mau,” kata Sumarni, mantan anggota Gerwani yang ditahan di Plantungan, sebagaimana ditulis Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan.
Jika dibandingkan, makanan tapol Plantungan lebih buruk dibanding makanan narapidana. Makanan tapol berasal dari Kodam dan dikelola petugas jaga militer, sedangkan menu narapidana dikelola Direktorat Pemasyarakatan. Jika para narapidana mendapat nasi dari beras kualitas bagus dan bisa makan daging dua kali seminggu, para tapol hanya mendapat sedikit beras dan lauk tempe, ikan asin, atau telur yang diberikan bergantian.
Dari penuturan Sugiharto, mantan wakil Komandan Kamp Plantungan, jatah beras di Plantungan sebanyak 300 gram per hari. Namun dari penuturan dr. Sumiyarsi Siwirni Carapobeka, yang dikenal sebagai dokter lubang buaya, jatah beras hanya 100 gram. Jatah ini kemudian berkurang menjadi 75 gram per hari. Lantaran terus bekurang, pemerintah memberikan bantuan beras yang dikenal dengan beras Erwin.
Baca juga: Balada Ikan Asin dari Zaman Jawa Kuno
“Beras bantuan itu baunya tajam dan tidak enak,” kata Sumiyarsi. Beberapa tapol muntah-muntah setelah memakannya. Sumiyarsi dan beberapa tahanan lain lantas meminta agar beras itu tak lagi dibagikan, namun apa daya usulnya malah dianggap pemberontakan. Ia dipindahkan ke blok C yang disebut “kandang babi”. Jatah beras pun kembali jadi 75 gram per hari.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar