Ramadan Para Tahanan
Ramadan dalam keseharian tahanan politik. Mematahkan stigma tapol ateis.
SAMBIL duduk di teras sel tempat tahanannya dan menghirup udara segar, Mia Bustam bergantian memandangi langit malam dan menyaksikan rekan-rekan sesama penghuni kamp shalat tarawih di kamar F1. Selama Ramadan, pintu sel dibuka untuk lalu-lalang tapol perempuan yang ingin shalat tawarih. Para penghuni yang tidak tarawih menunggu di luar, termasuk Mia yang memutuskan masuk Katolik setelah jadi tahanan politik (tapol).
“Pada bulan-bulan lain kami tidak pernah melihat bulan atau bintang-bintang karena langit tidak tampak, terhalang oleh atap emper. Selama bulan puasa kami nikmati benar pemandangan indah itu,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp.
Sepulang tarawih, kawan-kawan Mia membawa pulang jaburan, snack yang dibagikan selepas tarawih untuk dinikmati sambil menyimak pengajian. Jaburan itu lantas dibagi rata dengan para penghuni kamp lain, biasanya setup jambu biji. Menu ini terbilang mendingan, pasalnya makanan di dalam kamp amat buruk. Kol dan ikan asin busuk atau grontol (jagung rebus dengan parutan kelapa) yang jagungnya amat keras (jenis metro) menjadi menu rutin mereka.
Baca juga: Tak Ada Lauk untuk Tapol Moncongloe
Waktu makan normal para tapol ialah pukul 10 pagi dan 3 sore. Kala bulan puasa, mereka sebetulnya cuma memindahkan jam makan saja, lantaran jatah makannya dipakai untuk sahur dan berbuka. Hidangan untuk para tapol ketika puasa pun tak ada yang spesial, tetap kol busuk, ikan asin buduk, atau grontol super keras. Pernah suatu kali di Ramadan tahun 1966, ketika Mia masih ditahan di Beteng Vredeburg, terdengar suara orang muntah dari dalam sel pria lantaran berbuka puasa dengan makanan kadaluarsa.
Sore itu jatah makan yang dikirim dari Wirogunan berupa gathot (singkong hitam yang diberi parutan kelapa). Rupanya, gathot itu sudah apek dan beracun. “Tahanan perempuan tidak memakan gathot itu, malah banyak yang menangis, nelangsa,” kata Sumiati pada Josepha Sukartiningsih yang menulis “Ketika Perempuan Menjadi Tapol”.
Namun, namun beberapa tahanan pria yang kelaparan langsung memakannya. Tak lama setelah itu, beberapa di antaranya pun tumbang jalaran gathot beracun. Suasana jadi panik, para sipir mondar-mandir bingung. Para tahanan berusaha menolong teman satu selnya yang keracunan. Di tengah kekacauan itu, Pak Parman Jenthut, tapol asal Kricak yang disegani, berteriak, “Yang masih sehat, jangan makan gathot itu!”
Baca juga: Yati Aruji Menjembatani Gerwani dan Islam
Salah seorang tapol ingat kalau daun papaya mentah bisa jadi penawar keracunan. Kebetulan, di halaman depan kamar petugas ada pohon pepaya yang belum berbuah. Maka, habislah daun-daunnya diambil untuk mengobati para tapol hingga tinggal pokoknya saja.
Jatah makan tak layak terulang lagi pada Ramadan 1967. Mia kala itu sudah dipindahkan ke Wirogunan. Makanan yang dibagikan menjelang buka puasa ialah oyek apek dan berkutu. Tapol perempuan di blok F dan tapol pria di blok E sepakat tidak menyentuh oyek itu. Mereka lebih pilih lanjut puasa sampai esok hari tanpa makan sedikitpun.
Tapi pada akhirnya pihak pengurus dapur mengalah. Jam 9 malam mereka memberikan grontol yang masih hangat beruap. Jagungnya pun bukan metro seperti biasanya, melainkan jagung manis. Namun lantaran para petugas memasaknya dengan terburu-buru, alhasil jagung pun kurang matang dan jadi biang gas di perut. Tak lama kemudian keluar “tembakan-tembakan” dari dalam sel. “Dat-dut-dat-dut itu bisa terjadi kalau jagung dimasak tak matang benar,” kata Mia.
Baca juga: Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa
Meski sudah rajin ibadah sejak sebelum masuk tahanan, para tapol yang digolongkan sebagai orang komunis (meski tidak semuanya demikian) diangggap tidak beragama. Mereka mendapat pembinaan mental. Mulanya para tapol diminta memilih agama yang akan dipelajari, kemudian tiap minggu akan ada rohaniawan yang datang berkunjung. Mereka sering merasa bosan dengan pengulangan materi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Kami semua ya beragama. Meski selalu dituduh PKI ateis, kami semua beribadah… nyatanya di dalam kamp ngajinya sudah bagus-bagus,” kata Indrasih, penghuni kamp Plantungan dalam Gerwani: Kisah Tepol Wanita di Kamp Plantungan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar