Komunitas Armenia di Indonesia, Minoritas yang Punah
Armenia, sebuah komunitas kecil tapi kuat pernah mewarnai sejarah Indonesia. Jejaknya seolah terkubur.
Pada 5 Mei 1852, sebuah rapat umum dihelat di Batavia. Tujuannya membentuk lembaga amal demi membantu para janda miskin, anak yatim-piatu, dan rekan mereka yang melarat di Jawa. Dalam pertemuan itu, “Haikian Miabanuthiun” atau Komunitas Armenia terbentuk.
Enam bulan kemudian, dalam sebuah pertemuan, mereka memutuskan membangun sebuah gereja baru di lokasi yang sama dengan kapel kayu tua Gang Scott –kini Jalan Budi Kemuliaan No. 1, Jakarta. Pembangunan selesai dua tahun kemudian dan dinamai Gereja St. John. Menyusul kemudian dibangun sekolah dan lembaga-lembaga yang mendukung aktivitas mereka.
Keberadaan gereja mengukuhkan eksistensi komunitas Armenia di Hindia Belanda (Indonesia). Namun jejak komunitas ini nyaris terkubur karena minimnya catatan yang mereka tinggalkan.
“Tampaknya para pemukim awal Armenia di Indonesia sangat serius dan terserap dalam kegiatan komersial sehingga mereka tak meninggalkan catatan tertulis dari kegiatan komersial mereka atau peristiwa penting dalam kehidupan keagamaan, sosial, atau budaya masyarakat yang punya nilai sejarah,” tulis Ellias Hyrapiet Elliasian atau E.H. Ellis, dalam “Concise History of the Armenians in Indonesia”, manuskrip dalam bahasa Inggris tahun 1961 yang tak diterbitkan.
Ellis, kelahiran New Julfa, Isfahan, tahun 1889, pernah tinggal di Indonesia dan meninggal dunia di Surabaya tahun 1963. Catatannya praktis yang terlengkap menggambarkan komunitas Armenia di Indonesia. Sebagian manuskripnya kemudian dimuat www.armenian-history.com.
Faktor lainnya, komunitas Armenia di Indonesia sendiri sudah punah. Menyusul pendudukan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, orang-orang Armenia memilih pindah ke negara-negara lain. Gereja St. John juga lenyap, tergusur perluasan dan pembangunan gedung Bank Indonesia. Penanda yang tersisa hanyalah beberapa bangunan yang sudah berganti pemilik dan makam-makam.
Hubungan Armenia dengan Nusantara
Diaspora Armenia di Indonesia mulai marak sejak abad ke-18. Namun sejatinya keberadaan orang Armenia di Nusantara sudah terjejaki jauh lebih awal.
Orang Armenia dikenal sebagai pedagang yang tangguh. Pada awal abad masehi mereka sudah menjelajahi daratan dan lautan untuk berdagang barang-barang mewah, kemenyan, dan kamper. Salah satu kota yang mereka kunjungi adalah Barus atau juga dikenal dengan nama Pancur atau Fansur, yang terkenal di Asia sejak sekira abad ke-6 berkat kamper, kemenyan, dan emasnya.
Kehadiran para pedagang Armenia dibuktikan dengan adanya sebuah teks dalam bahasa Armenia yang ditulis sekira tahun 1112. Menurut Keram Kevonian pengajar di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales), Paris, dalam “Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia”, termuat dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus yang disunting Claude Guillot, teks tersebut dikutip dari sebuah buku kumpulan catatan perjalanan berjudul “Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia”. Tak jelas siapa penulisnya. Teks itu menunjukkan orang Armenia sudah familiar dengan pelabuhan-pelabuhan di utara Sumatra. Setidaknya empat toponim disebutkan dalam buku tersebut: Lamrin (merujuk pada Aceh, Sumatra Utara), Panchur (Barus), Krut (Lho’ Kruet, Aceh, Sumatra Utara), dan Samavi (tampaknya pendahulu Samudra Pasai).
Eksistensi orang Armenia kian kentara pada abad ke-17, yang berdagang di tengah pesaingan kongsi dagang Inggris dan Belanda. Beberapa di antaranya memiliki pengaruh kuat, sehingga diminta bertindak sebagai konsultan atau penterjemah dalam mendukung perdagangan. Chodja Soliman diajak VOC dalam pembicaraan damai untuk menyelesaikan sengketa antara VOC dan pangeran Makassar pada 28 Desember 1655.
Pada paruh kedua abad ke-17, Chodja Murad melayani Ethiopia dalam sejumlah misi diplomatik, termasuk ke Batavia untuk berhubungan dengan Belanda pada tiga kesempatan berbeda antara 1674 dan 1697. “Perjalanan-perjalanan ini dilaporkan secara detail, dan jelas bahwa Khoja Murad adalah seorang pedagang profesional yang mengambil pekerjaan diplomatik demi kepentingan jangka panjang,” tulis Phillip D. Curtin dalam Cross-Cultural Trade in World History.
Baca juga: Ridwan Saidi dan Bahasa Armenia
Pedagang Armenia lainnya, Queralos Albertos de Crus, menjalin korespondensi dengan VOC. Sebagaimana dikutip Margaret Sarkissian dalam “Armenians in South-East Asia” yang dimuat Crossroads: An Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies Vol. 3 No. 2/3 (1987), dia membuat perjalanan bisnis ke Amsterdam pada 1662 dan kembali dengan membawa hadiah untuk raja Persia dari Holland, Hamburg, Glenn Danzig, dan Inggris. Dia kemudian bertindak sebagai wakil raja Persia di Belanda. Pada Februari 1675 kapalnya tiba di Batavia dari Surat, India.
Para pedagang Armenia datang dan pergi mengikuti kegiatan perdagangan mereka. Beberapa menetap sementara waktu. Pola ini berubah setelah terjadi gelombang migrasi orang-orang Armenia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar